Memberi Fatwa Tanpa Berdasarkan Ilmu
JANGAN MEMBERI FATWA KECUALI BERDASARKAN ILMU
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya seorang penuntut ilmu, sering ditujukan kepada saya berbagai pertanyaan tentang macam-macam perkara, baik itu berupa ibadah ataupun lainnya. Saya tahu jawabannya dengan pasti, baik itu saya pernah mendengarnya dari seorang Syaikh atau dari fatwa-fatwa, tapi saya kesulitan menemukan dalilnya yang shahih, saya kesulitan mentarjihnya. Apa saran Syaikh untuk para penuntut ilmu dalam masalah ini ?
Jawaban
Jangan memberi fatwa kecuali berdasarkan ilmu, alihkan mereka kepada selain anda, yaitu kepada yang anda perkirakan lebih baik dari anda di negeri ini dan lebih mengetahui al-haq. Jika tidak, maka katakanlah, “Beri saya waktu untuk mengkaji dalil-dalilnya dan menganalisa masalahnya”. Setelah anda merasa mantap dengan kebenaran dalil-dalilnya, barulah anda beri mereka fatwa yang anda pandang benar.
Saya juga sarankan kepada para pengajar, sehubungan dengan pertanyaan ini dan lainnya ; Hendaknya mereka peduli dengan membimbing pada mahasiswa dalam masalah yang besar ini, mengarahkan mereka untuk jeli dalam masalah yang besar ini, mengarahkan mereka untuk jeli dalam berbagai perkara dan tidak terburu-buru dalam memberi fatwa serta tidak memastikan suatu perkara kecuali berdasarkan ilmu. Hendaknya para pengajar menjadi teladan bagi mereka dalam sikap tawaqquf (tidak berkomentar) dalam masalah yang sulit dan janji untuk mengkajinya dalam satu atau dua hari atau pada waktu pelajaran berikutnya, sehingga dengan begitu para mahasiswa terbiasa dari ustadznya dengan sikap tidak tergesa-gesa dalam memberi fatwa dan menetapkan hukum, kecuali setelah memastikan dan menganalisa dalilnya serta merasa mantap bahwa yang benar adalah yang diucapkan ustadznya. Tidak ada salahnya untuk menangguhkan pada waktu lain sehingga punya kesempatan untuk mengkaji dalilnya dan menganalisa ucapan-ucapan para ahlul ilmi dalam masalah yang bersangkutan.
Adalah Imam Malik, beliau hanya memberi fatwa tentang sedikit permasalahan dan menolak banyak pertanyaan, beliau mengatakan, ‘Saya tidak tahu’. Demikian juga para ahlul ilmi lainnya.
Seorang penuntut ilmu, di antara etikanya adalah tidak tergesa-gesa dan hendaknya mengatakan. ‘Saya tidak tahu’ tentang masalah yang memang tidak diketahuinya.
Sementara para pengajar, mereka mempunyai kewajiban besar, yaitu menjadi teladan yang baik bagi para muridnya, baik dalam segi akhlak maupun perbuatan. Di antara ahlak yang mulia adalah membiasakan murid mengatakan, ‘saya tidak tahu’ dan menangguhkan pertanyaan hingga memahami dalilnya dan mengetahui hukumnya yang disertai dengan kewaspadaan memberi fatwa tanpa ilmu dan menggampangkannya.
Wallahu a’lam
(Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, edisi 47, hal.173-174, Syaikh Ibnu Baz)
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]
MEMBERI FATWA TANPA BERDASARKAN ILMU
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian guru ada yang memberi fatwa kepada murid-muridnya mengenai masalah syari’at tanpa berdasarkan ilmu. Bagaimana hukumnya?
Jawaban
Kami tujukan jawaban ini kepada para peminta dan pemberi fatwa. Untuk para peminta fatwa; Tidak boleh meminta fatwa, baik kepada perempuan maupun laki-laki, kecuali yang diduga berkompeten untuk memberi fatwa, yaitu yang dikenal keilmuannya, karena ini adalah perkara agama, dan agama itu harus dijaga. Jika seseorang ingin bepergian ke suatu negara, hendaknya tidak menanyakan jalannya kepada sembarang orang, tapi mencari orang yang bisa menunjukkan, yaitu yang mengetahuinya. Demikian juga jalan menuju Allah, yaitu syari’atNya, hendaknya tidak meminta fatwa dalam perkara syari’at kecuali kepada orang yang diketahuinya atau diduganya berkompeten untuk memberikan fatwa.
Kemudian untuk para pemberi fatwa ; Tidak boleh memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui”[Al-A’raf/7 : 33]
Allah menyebutkan perbuatan mempersekutukan Allah pada pembicaraan dalam hal ini yang tidak didasari ilmu. Dalam ayat lain disebutkan.
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim “[Al-An’am/6:144]
Dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النّاَرِ
“Barangsiapa yang berdusta dengan mengatasnamakan diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka”[1]
Maka hendaklah orang yang ditanya tidak begitu saja memberikan jawabannya kecuali berdasarkan ilmu, yaitu mengetahui masalahnya, baik itu dari dirinya sendiri, jika ia memang mampu mengkaji dan menimbang dalil-dalilnya, atau dari orang alim yang dipercayainya. Karena ini adalah perkara agama. Pemberi fatwa itu adalah yang memberi tahu tentang agama Allah dan tentang hukum Allah serta syari’at-syari’atNya, maka hendaknya ia sangat berhati-hati.
(Dalilut Thaubah Al-Mu’minah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 38)
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini,Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhari dalam Al-‘Ilm (110), Muslim dalam Al-Muqaddimah (3) dari hadits Abu Hurairah. Diriwayatkan pula selain ini lebih dari seorang sahabat
- Home
- /
- A9. Fiqih Dakwah Masail...
- /
- Memberi Fatwa Tanpa Berdasarkan...