Muhammad bin Abdul Wahhab dan Arab Saudi
DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB DAN ARAB SAUDI
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dilahirkan di Uyainah dekat Riyadh, pada tahun 1703 M. Dakwahnya adalah penyebaran prinsip-prinsip reformasi dan “purifikasi” (tashfiyah) ajaran Islam. Dia berusaha menghapuskan pengaruh perkembangan zaman pertengahan Islam yang mundur menuju keyakinan yang murni dan kembali kepada prinsip-prinsip fundamental yang terkandung dalam dua sumber utama agama Islam. Oleh karena itu ia menentang keras kebiasaan praktek Islam bangsa Arab waktu itu dalam ritual magis, keyakinan terhadap orang suci dan pemujaan terhadap para wali, dan menolak model theologi pantheistic kaum sufi. Seruan-seruannya yang reformatif tersebut kemudian menyebar dan berkembang sampai ke kaum muslimin India, Indonesia, dan Afrika Utara.[1]
Secara pasti perkembangan dakwahnya berhasil menyatukan berbagai suku di tanah Arab, memasukan mereka kepada Islam reformatif, purifikasi ajaran Islam. Dakwah ini terus bertahan dan mencapai momentumnya kembali ketika dipimpin oleh Raja Abdul-Aziz Alu Saud; ia berhasil menyatukan kembali suku-suku di Arabia, serta mengembangkan Negara Saudi Arabia yang kita kenal sekarang. Penerapan syariah dan hukum-hukum Islam dilaksanakan secara konsisten oleh negara. Semboyan dakwah tauhid dan kembali meneladani kehidupan Rasûlullâhi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat benar-benar diperhatikan pelaksanaannya. Barakah Allâh datang karenanya.
Penemuan-penemuan sumber kekayaan minyak dan eksplorasinya kemudian menjadikan negara Islam ini menjadi negeri yang barokah. Pembangunan negeri ini mengantarkan pada meluasnya kesempatan meraih pendidikan bagi warganya. Jutaan rakyatnya bisa mengenyam pendidikan tinggi dengan gratis, termasuk perempuan. Meluasnya lapangan kerja, bahkan pada tahun 1975 sebanyak 43% jumlah penduduk adalah para pekerja asing dari berbagai negara. Warga negara dididik untuk mengisi pekerjaan teknik dalam industri perminyakan, perdagangan, pertanian, keuangan, komunikasi dan militer yang berkembang pesat. Di tengah perubahan sosial yang sangat pesat ini Negara Saudi tetap mempertahankan otoritas politik dan keagamaan yang diwariskan dari kolaborasi dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Raja Saud, komitmen dengan manhaj Salaf, ajaran Islam yang dijalankan Nabi dan para sahabatnya; masyarakat Saudi nyaris tidak terpengaruh oleh paham nasionalisme dan sekularisme yang berkembang di hampir seluruh Negara-negara Arab waktu itu. Dalam skala internasional Arab Saudi berhasil mengembangkan satu identitas Islam daripada identitas nasionalisme Arab.[2]
Arab Saudi mendanai perguruan tinggi Islam di berbagai negeri muslim, beasiswa, membangun masjid-masjid dan kegiatan sosial Islam di negara-negara Islam ataupun di Negara Barat[3]. Arab Saudi juga mendukung perjuangan bangsa Kosovo, Bosnia, Checnya, Kashmir, Afghanistan dan menentang pendudukan Yahudi atas Palestina, dan membela tujuan bangsa Palestina. Berbagai publikasi dan konferensi Islam yang diprakarsai Arab Saudi berusaha untuk memperlihatkan superioritas Islam dan mempromosikan kebangkitan dan penyatuan sejumlah negeri[4]. Sebutlah, misalnya OKI, Rabithah Alam Islami, Majma Fiqh al-Islami, WAMY, Haiah Ighatsah, dan lain-lain.[5]
Sangat jelas, segala usaha dan kemajuan yang dicapai negara baru ini diraih dalam atmosfir pemikiran keagamaan yang dianggap oleh musuh-musuh Islam sebagai pemikiran Islam ortodoks, jumud, kolot, badui, dan julukan julukan negatif yang lain. Orang dengan sedikit akalpun akan mengatakan tidaklah mungkin segala kemajuan ini diraih dari masyarakat yang jumud, kolot, dan badui. Kemajuan ini diraih semata-semata karena barakah Allâh Azza wa Jalla yang turun bagi bangsa yang berkomitmen menjalankan ajaran agamanya selurus-lurusnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. [al-A’raf/7:96]
Menjalankan agama selurus-lurusnya, berarti keharusan mengikuti manhaj Salafush-Shalih, jalan hidup Rasûlullâh, para sahabatnya, para tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Kita bisa bandingkan kemajuan ekonomi, pendidikan, kesempatan kerja, ketentraman hidup yang diraih Saudi Arabia pada tahun delapan puluhan, misalnya, dengan negara-negara Islam yang mengadopsi sistem Barat dalam mengelola negerinya, seperti Mesir, Suriah, Indonesia, Turki dan lain-lain. Fenomena kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, sempitnya kesempatan kerja, inflasi yang tak terkendali, bahkan kelaparan melanda sebagian negara Islam. Mereka berkiblat ke Barat dalam usaha memajukan negaranya dengan mengadopsi system yang bertentangan dengan Islam, yaitu sekularisme, kapitalisme, filsafat empirisisme materialisme, bahkan komunisme. “Kemajuan” Barat menyilaukan mata dan hati mereka. Kata “kemajuan” Barat tersebut bukanlah kemajuan hakiki yang dicita-citakan fitrah manusia, tapi kemajuan yang bersifat semu, tanpa moral, kemajuan dengan kolonialisme, penindasan, penjajahan, dan penjarahan kekayaan bangsa lain. Juga “kemajuan” dalam bidang kebebasan seksual, pornografi, narkotika, dekadensi moral, tingginya kriminalitas dan segudang kebobrokan lainnya, yang kemudian segala hal yang disebut kemajuan di ataspun berpindah ke negeri-negeri Islam tersebut. Na’udzubillah.
وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. [al-A’raf/7:96].
Nyatalah dalam lintasan sejarah umat Islam jika berpegang teguh dengan ajaran Islam yang telah dipahami dan dipraktekan generasi awal Islam maka hanya kesudahan yang baiklah hasilnya di dunia maupun di akhirat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur`ân surat an-Nûr/24 ayat 55,
وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًاۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـًٔاۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Dan benarlah yang dikatakan Imam Malik rahimahullah : “Tidaklah akan baik kesudahan umat ini kecuali jika mereka kembali kepada kebaikan generasi awal umat ini“. Itulah semboyan Imam Malik dan juga semboyan kita.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Shalih bin Abdullâh al-Abud, Aqidatu Muhammad bin Abdulwahhab as-Salafiyah wa Atsaruha fi al-Alam al-Islami, Madinah, Jam’iah Islamiyah, 2004, juz 2, hlm.763. Lihat juga Ira Marvin Lapidus, A History of Islamic Societies, Cambridge, Cambridge University Press, 2002, hlm. 572.
[2] Shalih bin Abdullâh al-Abud, Aqidatu Muhammad bin Abdulwahhab as-Salafiyah wa Atsaruha fi al-Alam al-Islami, Madinah, Jam’iah Islamiyah, 2004, juz 2, hlm.763. Lihat juga Ira Marvin Lapidus, A History of Islamic Societies, Cambridge, Cambridge University Press, 2002, hlm. 573
[3] Shalih bin Abdullâh al-Abud, Aqidatu Muhammad bin Abdulwahhab as-Salafiyah wa Atsaruha fi al-Alam al-Islami, Madinah, Jam’iah Islamiyah, 2004, juz 2, hlm.1029-1030
[4] Shalih bin Abdullâh al-Abud, Aqidatu Muhammad bin Abdulwahhab as-Salafiyah wa Atsaruha fi al-Alam al-Islami, Madinah, Jam’iah Islamiyah, 2004, juz 2, hlm.575
[5] Jamil Abdullâh al Mishri, Hadhir Alam al-Islam, Riyadh, al-Obaikan, 2007, hlm. 276-289.
- Home
- /
- A8. Politik Pemikiran Wahhabi
- /
- Muhammad bin Abdul Wahhab...