Hujjah Orang yang Melakukan Maksiat

HUJJAH ORANG YANG MELAKUKAN MAKSIAT

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Fadhilatusy Syaikh ditanya tentang berhujjahnya orang yang melakukan maksiat. Apabila dilarang berbuat maksiat dengan firman Allah : “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Jawaban
Apabila ia berhujjah dengan ayat tadi, maka hujjah kita adalah dengan firman Allah Ta’ala :

نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيم ُ وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ

Beritahukan kepada hamba-hambaKu bahwa Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa siksaKu adalah siksa yang pedih” [Al-Hijr/15 : 49-50]

Dan dengan firmanNya

اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ وَأَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksanya. Dan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ma’idah/5 : 98].

Jadi apabila didatangkan ayat-ayat yang mengandung pengharapan, datangkan saja ayat-ayat yang mengandung ancaman.

Jawaban seperti itu sebenarnya bukan jawaban dari dia, melainkan jawaban orang-orang yang menganggap remeh/ringan. Maka kiapun mengatakan kepadanya ; Bertakwalah kamu kepada Allah dan laksanakanlah apa-apa yang diwajibkan Allah kepadamu serta mintalah ampun kepadaNya, karena tidak setiap orang yang menunaikan sesuatu yang diwajibkan Allah dapat melakukannya dengan sempurna.

TENTANG PERDEBATAN ADAM DAN MUSA

Pertanyaan
Fadhilatusy Syaikh ditanya : Apakah dalam perdebatan Adam dan Musa terdapat kebolehan berhujjah dengan qadar mengingat Adam dan Musa sama-sama berhujjah dengan itu. Musa berkata kepada Adam : Engkau bapak kami, Engkau mengecewakan kami, Engkau telah mengeluarkan kami dan dirimu sendiri dari Jannah. Adam menjawab : Mengapakah kamu mencelaku tentang sesuatu yang telah ditetapkan Allah kepadaku sebelum Dia menciptakanku?. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Maka Adam membantah Musa, yakni Adam mengalahkan hujjahnya Musa dan Adam berhujjah dengan qadha Allah dan qadar-Nya.

Baca Juga  Apakah Perbedaan Antara Qadha dan Qadar ?

Jawaban
Ini bukan beralasan dengan qadha dan qadar atas perbuatan hamba dan kemaksiatannya, akan tetapi berhujjah dengan qadar atas musibah yang diakibatkan oleh perbuatannya. Ini termasuk berhujjah dengan qadar atas musibah, bukan maksiat. Oleh karena itu, Musa berkata; Anda mengecewakan kami serta mengeluarkan kami dan dirimu dari Surga. la tidak mengatakan: Anda mendurhakai Rabb-mu sehingga Dia mengeluarkan anda dari Jannah. Kemudian Adam berhujjah dengan qadar atas pengusiran dirinya dari Jannah yang dianggapnya sebagai musibah. Berhujjah dengan qadar atas musibah hukumnya boleh (tidak mengapa). Bagaimana pendapatmu seandainya kamu bepergian lalu sesuatu terjadi pada dirimu dan orang lain berkata: Mengapa kamu bepergian, andai saja kamu tetap di rumah, niscaya kamu tidak kena musibah. Tentu kamu akan menjawab : Ini adalah qadha dan qadamya Allah. Saya keluar bukan karena ingin mendatangi musibah, akan tetapi aku keluar karena keperluan (yang baik), lalu musibah menimpaku.

Demikian pula Adam Alaihissallam, apakah ia mendurhakai Allah agar Dia mengeluarkannya dari janah? Tidak. Dengan demikian musibah yang menimpanya semata-mata qadha dan qadar Allah dan ketika itu, berhujjahnya dengan qadar atas musibah yang menimpanya merupakan cara berhujjah yang benar. Dalam konteks ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

حَجَّ آدَمُ مُوسَى، حَجَّ آدَمُ مُوسَى

Adam mengalahkan alasan Musa, Adam mengalahkan alasan Musa.

Dan dalam riwayat Imam Ahmad:

فَحَجَّ آدَمُ

Adam mengalahkan hujjahnya.

Contoh yang lain : Seseorang melakukan satu perbuatan dosa lalu ia menyesali dosa ini dan ia pun bertaubat. Satu dari saudaranya datang dan berkata kepadanya; wahai fulan, kenapa kamu melakukan dosa ini. la menjawab; ini adalah qadha Allah dan qadarnya. Apakah berhujjah seperti ini dibenarkan atau tidak? Ya, alasan ini dapat dibenarkan karena ia telah bertaubat. la tidak berhujjah dengan qadar agar dapat terus melakukan kemaksiatan sebab ia telah menyesalinya. Berbeda halnya dengan riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam menemui Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Radhiyallahu ‘anhuma, lalu Nabi bertanya; Tidakkah kalian melakukan shalat? Ali menjawab; Ya Rasulullah, sesungguhnya jiwa kami di tangan Allah, maka jika Allah berkehendak membangkitkan kami, niscaya Dia membangkitkan kami. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berbalik seraya memukul pahanya dan berkata: وَكَانَ الْاِنْسَانُ اَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا   Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.

Di sini Nabi tidak menerima hujjahnya dan beliau memelaskan bahwa ini termasuk jadal, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa allam mengetahui bahwa semua iiwa berada di tangan Allah, tetapi Dia menghendaki agar manusia berusaha sehingga ia mau bangun dan melakukan shalat.

Baca Juga  Kesaksian Yang Benar Dari Kalangan Non Muslim Terhadap Qadha Dan Qadar

Dari uraian tersebut jelaslah bagi kita bahwa berhujjah dengan qadar atas musibah hukumnya boleh. Demikian pula berhujjah dengan qadar atas kemaksiatan setelah bertaubat hukumnya boleh. Adapun berhujjah dengan qadar atas kemaksiatan karena ingin terbebas dari sikap (opini) manusia dan agar dapat terus-menerus melakukannya, hukumnya tidak boleh.

[Disalin kitab Al-Qadha’ wal Qadar edisi Indonesia Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin’, terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Abu Idris]

  1. Home
  2. /
  3. A4. Buah Keimanan Kepada...
  4. /
  5. Hujjah Orang yang Melakukan...