Syubhat Nilah Mut’ah Dan Nikah ‘Urfi

SYUBHAT  NIKAH MUT’AH DAN NIKAH ‘URFI.

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Syaikh Ibnu Jibrin hafizhahullah ditanya bahwa nikah mut’ah itu halal, dan dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).” [An-Nisaa’/: 24]

Nikah ini hanyalah diharamkan setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada dugaan kuat bahwa ‘Umar yang mengharamkannya. Khalifah keempat, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengatakan: “Seandainya ‘Umar tidak mengharamkan mut’ah, niscaya tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka.” Bagaimana kebenaran informasi ini?

Syaikh Ibnu Jibrin menjawab: “Nikah mut’ah dihalalkan pada awal Islam, karena mereka belum lama meninggalkan kekafiran. Jadi, ia diperbolehkan untuk menjinakkan mereka kemudian mengharamkannya pada saat penaklukan Makkah hingga hari Kiamat. Bukan ‘Umar yang mengharamkannya, tapi ‘Umar hanyalah melarang menunaikan haji Tamattu’. Sebagian kalangan keliru menilainya. Adapun yang dinukil dari ‘Ali, maka itu hanyalah informasi dusta yang disebarkan oleh kaum Rafidhah. Adapun ayat tersebut mengenai pernikahan, dan al-ujuur ialah al-muhuur (mahar) sebagai-mana firman-Nya:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ

Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” [An-Nisaa’/4: 4]

Wallaahu a’lam.[1]

Nikah ‘Urfi.
Apa nikah ‘Urfi? Apakah ada suatu perbedaan dengan pernikahan biasa yang sudah dikenal?

Syaikh Ibnu Jibrin menjawab: “Nikah ‘Urfi oleh sebagian kalangan disebut pernikahan sementara, yaitu nikah mut’ah. Dan ini tidak dibolehkan. Itu terjadi ketika mereka menentukan batas waktunya pada saat akad, misalnya wali mengatakan: ‘Kami menikahkannya kepadamu untuk masa setahun atau setengah tahun. Setelah itu, kami mencabutnya darimu atau mengambilnya.’ Ini adalah nikah mut’ah, dan ini tidak boleh. Perbuatan ini hanyalah dilakukan oleh Rafidhah karena berlandaskan kepada hadits-hadits terdahulu yang telah dihapuskan. Hukumnya bahwa pernikahan ini diharamkan dan telah dihapuskan; oleh karenanya tidak boleh dilakukan. Adapun pernikahan biasa adalah laki-laki menikahi wanita karena menginginkannya, lalu dia menyerahkan maharnya kepadanya secara sempurna, walaupun dia menceraikannya setelah itu secara langsung, maka tidak ada larangan terhadap hal itu.”[2]

Baca Juga  Suami Terkena Penyakit Menular, Bolehkan Meminta Cerai?

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya: “Mengapa Allah mengharamkan nikah mut’ah?”

Beliau menjawab: “Allah mengharamkan nikah mut’ah karena tujuan pernikahan adalah keutuhan, keharmonisan, serta mem-bangun rumah tangga dan keluarga, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…” [Ar-Ruum/30: 21]

Sebab lainnya, karena nikah mut’ah dapat menyebabkan ter-luntanya anak-anak yang lahir melalui jima’ dalam pernikahan ini, dan juga karena pernikahan ini akan membawa banyak kerusakan di tengah umat. Karena inilah Allah Azza wa Jalla mengharamkannya.

Diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Nikah mut’ah adalah haram hingga hari Kiamat.” Ini menunjukkan bahwa tidak mungkin menghapuskan pengharaman ini sampai kapan pun. Karena seandainya bisa dihapuskan, niscaya ada kemungkinan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdusta, dan ini adalah suatu hal yang mustahil.”[3]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
______
Footnote
[1] Fataawaa Islaamiyyah (III/234), dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid
[2] Fataawaa Islaamiyyah (III/232), dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid.
[3] Fataawaa Islaamiyyah (III/233), dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid