Hadd Zina

HADD ZINA

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Zina adalah perbuatan haram dan termasuk salah satu dari dosa-dosa besar.
Allah berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” [Al-Israa’: 32]

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dosa apa yang paling besar?’ Kemudian beliau bersabda:

أَنْ تَجْعَلَ ِللهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ مَخَافَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ.

Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.’ Aku katakan, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Engkau membunuh anakmu karena takut, ia akan makan bersamamu.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Engkau berzina dengan isteri tetanggamu•.’”[1]

Allah berfirman:

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ

Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya ia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipatgandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan ia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan…” [Al-Furqaan/25: 68-70]

Di dalam hadits Samurah bin Jundab yang panjang, tentang mimpi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ قَالَ فَأَحْسِبُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ قَالَ فَاطَّلَعْنَا فِيهِ فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ فَإِذَا أَتَاهُمْ ذلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا قَالَ قُلْتُ لَهُمَا: مَا هَؤُلاءِ؟… قَالاَ أَمَّا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ الْعُرَاةُ الَّذِيْنَ فِي مِثْلِ التَّنُّورِ فَإِنَّهُمْ اَلزُّنَاةُ وَالزَّوَانِي.

Kemudian kami berlalu, lalu sampai pada sebuah bangunan seperti tungku pembakaran.” -Auf, perawi hadits- berkata, “Sepertinya beliau juga bersabda, ‘Tiba-tiba aku mendengar suara gaduh dan teriakan.’” Beliau melanjutkan, “Kemudian aku menengoknya, lalu aku dapati di dalamnya laki-laki dan perempuan yang telanjang. Tiba-tiba mereka didatangi nyala api dari bawah mereka, mereka pun berteriak-teriak.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku bertanya (pada Jibril dan Mika-il), ‘Siapa mereka?’ Keduanya menjawab, ‘Adapun laki-laki dan perem-puan yang berada di tempat seperti tungku pembakaran, me-reka adalah para pezina.’[2]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزْنِي الْعَبْدُ حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ حِيْنَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَقْتُلُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ.

Tidaklah berzina seorang hamba, ketika ia berzina dalam keadaan beriman, tidak pula ketika ia mencuri, pada saat mencuri ia beriman, tidak pula ketika ia meminum (khamr), ketika ia meminumnya ia beriman, dan tidaklah ia membunuh dalam keadaan beriman.’”

Berkata ‘Ikrimah, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Bagaimanakah iman dicabut dari seseorang?’ Beliau menjawab sambil memasukkan (menganyamkan) jari-jemarinya kemudian mengeluarkannya, ‘Demikianlah, dan apabila ia bertaubat, imannya pun akan kembali seperti ini.’ Beliau memasukkan kembali jari-jemarinya.”[3]

Macam-Macam Pezina
Seorang pezina, bisa jadi seorang yang belum menikah (ghair muhshan) atau yang sudah menikah (muhshan).

Apabila seorang yang merdeka, muhshan[4], mukallaf, tidak di-paksa berzina, maka haddnya adalah dirajam sampai meninggal dunia.

Dari Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, ia menerangkan bahwasanya telah datang seorang laki-laki ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah masuk Islam, lalu ia menceritakan kepada beliau bahwa ia telah berzina, dan ia pun bersaksi atas dirinya sendiri empat kali. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk merajam dan ia adalah laki-laki yang sudah menikah.[5]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya pada suatu hari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkhutbah di hadapan masyarakat, ia berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar dan menurunkan al-Qur-an kepada beliau, dan di antara apa yang Allah turunkan adalah ayat tentang rajam. Kami telah membaca, memahami, dan menyadarinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerapkan hukum rajam, kami pun demikian. Namun aku khawatir, apabila waktu telah berjalan, ada seseorang yang berkata, ‘Demi Allah, kami tidak mendapati ayat rajam dalam Kitabullah.’ Maka manusia pun menjadi sesat karena meninggalkan kewajiban yang diturunkan oleh Allah. Rajam di dalam Kitabullah adalah hak bagi orang yang berzina apabila telah menikah, baik itu laki-laki maupun wanita, apabila telah ada bukti (saksi), kehamilan, atau pengakuan.”[6]

Hukum Hadd Bagi Budak
Apabila seorang budak -baik laki-laki maupun wanita- berzina, maka tidak ada hukuman rajam baginya. Akan tetapi dicambuk dengan 50 cambukan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ

“… Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami...” [An-Nisaa’/4: 25]

Dari ‘Abdullah bin ‘Ayyas al-Makhzumi, ia berkata, “‘Umar bin al-Khaththab menyuruhku memanggil beberapa anak muda dari Quraisy, kemudian kami mencambuk budak-budak wanita Imarah karena zina, masing-masing 50 kali.”[7]

Orang Yang Dipaksa Berzina, Maka Tidak Ada Hadd Atasnya
Dari Abu ‘Abdirrahman as-Sulami, ia berkata, “Dihadapkan kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu seorang wanita (yang dipaksa berzina). Pada suatu hari wanita tersebut sangat kehausan, lalu ia mendatangi seorang penggembala untuk meminta air. Namun penggembala itu enggan memberinya, kecuali jika ia mau berzina dengannya, maka wanita itu pun terpaksa melakukannya. Lalu orang-orang berunding untuk merajamnya. Kemudian ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Ia dalam keadaan terpaksa, pendapatku hendaknya kalian membebaskannya.’ Maka beliau (‘Umar Radhiyallahu ‘anhu) pun melepaskannya.”[8]

Baca Juga  Hadd Qadzaf

Hadd Bagi Orang Yang Belum Menikah
Allah berfirman:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegahmu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” [An-Nuur/24: 2]

Dari Zaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar pezina yang belum menikah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun.”[9]

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خُذُوْا عَنِّي خُذُوْا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ.

Ambillah dariku, ambillah dariku! Allah telah menjadikan bagi mereka jalan keluar. (Apabila berzina) jejaka dengan gadis (maka haddnya) dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun. (Apabila berzina) dua orang yang sudah menikah (maka hadd-nya) dicambuk seratus kali dan dirajam.”[10]

Dengan Apa Hukum Hadd Ditetapkan?
Hukum hadd ditetapkan dengan salah satu dari dua hal; yaitu (1) pengakuan dan (2) adanya saksi.[11]

Adapun pengakuan, hal ini berdasarkan pelaksanaan hukum rajam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ma’iz dan wanita al-Ghamidiyyah, dengan pengakuan mereka sendiri.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ketika Ma’iz bin Malik mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menegaskan:

لَعَلَّكَ قَبَّلْتَ أَوْ غَمَزْتَ أَوْ نَظَرْتَ، قَالَ: لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: أَنِكْتَهَا؟ -لاَ يَكْنِي-.

Mungkin engkau hanya mencium, meraba atau melihatnya.’ Ma’iz menjawab, ‘Tidak Wahai Rasulullah.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau menyetubuhinya?’ -Tanpa pakai kata kiasan.– ”

Ibnu ‘Abbas berkata, “Pada saat demikianlah, beliau meme-rintahkan untuk merajamnya.”

Dari Sulaiman bin Baridah dari ayahnya, ia menerangkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang wanita dari suku Ghamid dari daerah Azd, lalu wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَيْحَكِ اِرْجِعِي فَاسْتَغْفِرِيْ اللهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ! فَقَالَتْ: أَرَاكَ تُرِيْدُ أَنْ تُرَدِّدَنِي كَمَا رَدَّدْتَ مَاعِزَ بْنَ مَالِكٍ، قَالَ: وَمَا ذَاكِ؟ قَالَتْ: إِنَّهَا حُبْلَى مِنَ الزِّنَى، فَقَالَ: أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهَا حَتَّى تَضَعِي مَا فِي بَطْنِكِ، قَالَ: فَكَفَلَهَا رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ حَتَّى وَضَعَتْ، قَالَ: فَأَتَى النَّبِيَّ j، فَقَالَ: قَدْ وَضَعَتِ الْغَامِدِيَّةُ، فَقَالَ: إِذًا لاَ نَرْجُمُهَا وَنَدَعُ وَلَدَهَا صَغِيْرًا لَيْسَ لَهُ مَنْ يُرْضِعُهُ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ: إِلَيَّ رَضَاعُهُ يَا نَبِيَّ اللهِ، قَالَ: فَرَجَمَهَا.

Celaka engkau! Pulanglah dan mintalah ampun kepada Allah serta bertaubatlah!” Kemudian wanita itu menjawab, “Aku melihat engkau menolak (pengakuan)ku sebagaimana engkau menolak (pengakuan) Ma’iz bin Malik.” Beliau bersabda, “Apa yang terjadi padamu?” Wanita itu menjawab, “Ini adalah ke-hamilan dari perzinaan.” Beliau meyakinkan, “Apakah engkau melakukannya?” Ia menjawab, “Benar.” Lalu beliau bersabda kepadanya, “Sampai engkau melahirkan apa yang engkau kandung.” (Perawi) berkata, “Lalu wanita itu ditanggung kesehari-annya oleh seorang laki-laki dari Anshar sampai melahirkan.” (Perawi) melanjutkan, “Kemudian ia (laki-laki Anshar) men-datangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Perempuan Ghamidiyyah itu sudah melahirkan.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kalau begitu, kita tidak akan merajamnya dan membiarkan anaknya yang masih kecil tanpa ada yang menyusui.’ Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, ‘Aku yang akan bertanggung jawab atas penyusuannya, wahai Nabi Allah.’” (Perawi) berkata, “Maka Nabi pun merajam wanita tersebut.[12]

Apabila yang mengaku berzina mencabut pengakuannya, maka ia dibebaskan. Hal ini berdasarkan hadits Nu’aim bin Hazzal:

Dahulu Ma’iz bin Malik adalah seorang anak yatim dalam pengasuhan ayahku, lalu ia berzina dengan seorang budak wanita dari suatu kabilah (al-hadits), sampai perkataan perawi, “Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia dirajam, lalu ia dibawa ke-luar menuju padang pasir. Pada saat ia dirajam dan merasakan sakitnya lemparan batu, ia tidak sabar menahan sakit dan akhir-nya berontak. Lalu ia lari keluar dan terkejar oleh ‘Abdullah bin Unais sementara para sahabatnya telah kepayahan. Kemudian ia mengambil wadzifu ba’iir• dan dilemparkan kepadanya sehingga membunuhnya. Kemudian ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

هَلاَّ تَرَكْتُمُوْهُ لَعَلَّهُ أَنْ يَتُوْبَ فَيَتُوْبَ اللهُ عَلَيْهِ.

Kenapa tidak kalian biarkan ia pergi, bisa jadi ia bertaubat dan Allah menerima taubatnya.[13]

Hukum Orang Yang Mengaku Berzina Dengan Seorang Wanita
Apabila seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita, maka ia dijatuhi hukum hadd. Kemudian apabila si wanita pun mengaku, maka ia dijatuhi hukum hadd pula. Namun apabila ia tidak mengaku, maka ia tidak dihukum.

Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid, keduanya menceritakan bahwa ada dua orang yang bertengkar menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seseorang dari mereka berkata, “Putuskanlah perkara kami dengan Kitabullah.” Dan berkata yang satunya -dan ia yang lebih mengerti hukum-, “Benar wahai Rasulullah, putuskanlah perkara kami dengan Kitabullah dan izinkan aku berbicara.” Beliau bersabda, “Bicaralah!” Ia berkata, “Sesungguhnya anakku bekerja untuk orang ini, kemudian ia (anakku) berzina dengan isterinya. Lalu orang-orang memberitahu bahwa anakku harus dirajam. Kemudian aku menebusnya dengan seratus kambing dan seorang budak wanitaku. Setelah itu aku bertanya kepada ahli ilmu dan mereka memberitahukan kepadaku bahwa anakku harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Adapun rajam hanya bagi isteri orang ini.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku -demi Rabb yang jiwaku berada pada-Nya, aku akan memutuskan perkara kalian dengan Kitabullah, adapun kambing dan budak wanitamu, maka akan dikembalikan kepadamu.” Kemudian beliau mencambuk anaknya seratus kali dan mengasingkannya setahun. Lalu menyuruh Unais al-Aslami untuk mendatangi isteri pihak yang bertengkar. Apabila ia mengaku, ia akan merajamnya. Maka wanita itu pun mengaku dan ia pun dirajam.”[14]

Penetapan Zina Dengan Para Saksi
Allah berfirman:

Baca Juga  Syarat Diwajibkannya Qishash

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian yang mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” [An-Nuur/24: 4]

Apabila ada empat orang laki-laki dari kaum muslimin yang merdeka (bukan budak) dan adil memberikan persaksian bahwa mereka melihat dzakar (kemaluan) laki-laki pada faraj (kemaluan) wanita sebagaimana alat pencelak pada botolnya, dan timba pada sebuah sumur, maka tegakkanlah hukum hadd atas laki-laki dan wanita tersebut.

Namun apabila ada tiga orang memberikan persaksian sedang-kan orang keempat mengingkarinya, maka ketiga orang tersebut dihukum dengan hukum hadd qadzaf (penuduhan perbuatan zina) berdasarkan ayat yang mulia di atas.

Juga berdasarkan riwayat dari Qusamah bin Zuhair, ia berkata, “Ketika terjadi masalah antara Abi Bakrah dengan al-Mughirah -lalu menyebutkan kelanjutannya-.” (Perawi) berkata, “Kemudian ia memanggil para saksi. Kemudian Abu Bakrah, Syibl bin Ma’bad, dan Abu ‘Abdillah Nafi’ memberikan persaksian. Tatkala mereka bertiga telah bersaksi, ‘Umar berkata, ‘Urusannya membuat ‘Umar merasa berat.’ Tatkala Ziyad datang ia berkata, ‘Insya Allah, eng-kau tidak bersaksi melainkan dengan kebenaran.’ Ziyad berkata, ‘Adapun zina, aku tidak bersaksi atasnya, namun aku telah melihat perkara yang menjijikkan.’ ‘Umar berkata, ‘Allahu Akbar, laksanakan hukum hadd terhadap mereka dan cambuklah mereka!’ Perawi mengatakan, “Berkata Abu Bakrah setelah ia dipukul, ‘Aku bersaksi bahwa ia seorang pezina.’ Kemudian ‘Umar bermaksud mengulangi hukuman cambuk atasnya, maka ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu melarangnya seraya berkata, ‘Jika engkau mencambuknya, maka rajamlah temanmu.’ Maka ‘Umar meninggalkannya dan beliau tidak men-cambuknya lagi.”[15]

Hukum Orang yang Berzina Dengan Mahramnya
Barangsiapa berzina dengan mahramnya, maka hukuman hadd atasnya adalah dibunuh, baik ia seorang yang sudah menikah maupun belum menikah. Apabila ia menikahinya, maka ia dibunuh dan diambil hartanya.

Dari al-Barra’ Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku bertemu pamanku yang sedang membawa bendera. Aku pun bertanya kepadanya, ‘Hendak ke mana engkau?’ Ia menjawab, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk mendatangi seorang laki-laki yang menikahi isteri ayahnya setelah kematiannya, agar aku memenggal lehernya dan mengambil hartanya.’”[16]

Hukum Orang Yang Menyetubuhi Binatang
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

مَنْ وَقَعَ عَلَى بَهِيْمَةٍ فَاقْتُلُوْهُ، وَاقْتُلُوا الْبَهِيْمَةَ.

Siapa saja yang menyetubuhi binatang, maka bunuhlah ia, dan bunuh pula binatang tersebut.’”[17]

Hukuman Bagi Pelaku Sodomi
Apabila seorang laki-laki menyodomi dubur laki-laki lain, maka hukum hadd keduanya adalah dibunuh, baik keduanya muhshan (sudah pernah menikah) ataupun bukan.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ.

Siapa saja yang kalian melakukan perbuatan kaum Luth (sodomi), maka bunuhlah orang yang menyodomi dan orang yang disodomi.[18]

Hadd Qadzaf

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
• Maksud halilatul jar, yaitu yang halal untuk disetubuhi dan ada yang menga-takan yang halal untuk seranjang dengannya
[1] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XII/114, no. 6811), Shahiih Muslim (I/ 90, no. 86), Sunan Abi Dawud (VI/422, no. 2293), Sunan at-Tirmidzi (V/17, no. 3232)
[2] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3462)], Shahiih al-Bukhari (XII/438, no. 7047)
[3] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7708)], Shahiih al-Bukhari (XII/114, no. 6809), Sunan an-Nasa-i (VIII/63), tanpa perkataan ‘Ikrimah
[4] Muhshan yaitu orang yang telah merasakan hubungan suami isteri melalui nikah yang sah. Adapun mukallaf, yaitu orang yang baligh lagi berakal. Maka, tidak ada hukum hadd bagi anak kecil dan orang gila, berdasarkan hadits yang telah masyhur,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ.
Diangkat catatan amal dari tiga kelompok orang.”
[5] Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3725)], Sunan at-Tirmidzi (II/441, no. 1454), Sunan Abi Dawud (XII/112, no. 4407).
[6] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XII/144, no. 6830), Shahiih Muslim (III/ 1317, no. 1691), Sunan Abi Dawud (XII/97, no. 4395), Sunan at-Tirmidzi (II/442, no. 1456).
[7] Hasan: [Al-Irwaa’ (no. 2345)], Muwaththa’ Imam Malik (594/1508), al-Baihaqi (VIII/242).
[8] Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 2313)], al-Baihaqi (VIII/236).
[9] Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 2347)], Shahiih al-Bukhari (XII/156, no. 6831).
[10] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1036)], Shahiih Muslim (III/1316, no. 1690), Sunan Abi Dawud (XII/93, no. 4392), Sunan at-Tirmidzi (II/445, no. 1461), Sunan Ibni Majah (II/852, no. 2550).
[11] Fiq-hus Sunnah (III/352).
[12] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1039)], Shahiih Muslim (III/1321, no. 1695).
• Yang dimaksud wadzifu ba’iir adalah tulang siku dan kaki kuda atau unta.
[13] Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3716)], Sunan Abi Dawud (XII/99, no. 4397).
[14] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XII/136, no. 6828, 27), Shahiih Muslim (III/1324, no. 1698, 97), Sunan Abi Dawud (XII/128, no. 4421), Sunan at-Tirmidzi (II/443, no. 1458), Sunan Ibni Majah (II/…)
[15] Sanadnya shahih: [Al-Irwaa’ (VIII/29)], al-Baihaqi (VIII/334)
[16] Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 2351)], [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2111)], Sunan Abi Dawud (XII/147, no. 4433), Sunan an-Nasa-i (VI/110), hadits ini pada riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah tidak memakai lafazh, “Dan aku ambil hartanya.” Sunan at-Tirmidzi (II/407, no. 1373), Sunan Ibni Majah (II/869, no. 2607).
[17] Hasan shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 1176)], Sunan at-Tirmidzi (III/8, no. 1479), Sunan Abi Dawud (XII/157, no. 4440), Sunan Ibni Majah (II/856, no. 2546).
[18] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2075)], Sunan at-Tirmidzi (III/8, no. 1481), Sunan Abi Dawud (XII/153, no. 4438), Sunan Ibni Majah (II/856, no. 2561).