Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hizbiyah?
APAKAH DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB MERUPAKAN DAKWAH ISLAMIYAH YANG BERSIFAT PARTAI (HIZBIYAH)?
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Apakah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah Islamiyah yang bersifat partai (hizbiyah) seperti Ikhwanul Muslimin dan Tabligh ? Apa nasihat anda kepada orang yang mengatakan hal demikian dan menyebarkannya dalam kitab-kitabnya ?
Jawaban
Saya katakan, “Sesungguhnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di atas manhaj salaf. Baik dalam usul (pokok-pokok) maupun furu’ (cabang-cabang)[1]
Adapun jama’ah Ikhwanul Muslimin dan Tabligh dan jama’ah-jama’ah yang sama [2], saya serukan kepada mereka, supaya mengembalikan manhaj-manhaj mereka kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam –dan kepada petunjuk dan pemahaman salafus ash-shalih supaya manhaj-manhaj itu ditimbang di atas itu semua sehingga apabila mencocoki alhamdulillah, sedangkan apabila menyelisihi, maka haruslah diluruskan dengan jalan-jalan tersebut. Inilah seruan kami kepada mereka.
_______
Footnote
[1] Inilah tulisan-tulisan beliau rahimahullah yang ada, yakni berisi tentang akidah yang shahih, dan menjelaskan tauhid yang menjadi hak Allah atas hambanya serta menjelaskan syirik yang menjadi lawan tauhid. Sejarahnya yang harum dalam menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah saja dan mencabut tuhan selain Dia. Inilah dakwah Rasul seluruhnya –Shalatullah wa Salamuhu ‘Alaihim-.
Maka kami (Abu Abdillah) berkata: “Inilah dakwah Imam Mujaddid, yang lantarannya Allah hidupkan hamba-hamba dan negara ini. Dan alhamdulillah, kita terus hidup di bawah naungan dakwah yang berkah”.
[2] Adapun dakwah Ikhwanul Muslimin, kami bertanya, “Apakah pendirinya telah menulis sebuah kitab yang berisi tauhid, dan menjelaskan akidah yang benar kepada pengikutnya sampai saat kita sekarang ? Apakah Hasan Al-Banna menyeru manusia agar meluruskan ibadah hanya untuk Allah semata, dan mencabut kesyirikan dengan berbagai macam jenisnya ? Apakah dia telah memberantas kubah-kubah? Apakah di telah meratakan kuburan-kuburan yang tinggi bangunannya dan melarang thawaf kepada kuburan-kuburan orang-orang yang shalih dan para wali ? sebagaimana yang mereka duga ? Apakah dia telah menegakkan sunnah ?
Semua pertanyaan ini tidak ada jawabannya, bahkan jawaban itu terdapat pada orang yang telah mengenal akidah salafiyah dan terpengaruh dengan dakwah Ikhwanul Muslimin. Yang mengikuti pendiriannya dan membaca kitab-kitabnya. Bahwasanya dia tidak mempunyai dakwah yang jelas dan sungguh-sungguh dalam memerangi syirik dan bid’ah.
Dalam kitabnya yang berjudul Mudzakkiratu Ad-Da’wah Wada’iyah, Hasan Al-Banna berkata : “Saya bersama saudara thariqah Hishafiyah di Damanhur, dan saya tetap mengkaji di masjid At-Taubah setiap malam” (hal. 24), cetakan Darut Tauzi. Kemudian dia berkata : “Sayyid Abdul Wahhab datang seorang pemberi izin di thariqat Hisyfiyah saya menerima thariqat Hishafiyah As-Syadzliyah dari dia. Dan dia telah memberi izin kepadaku untuk mengikuti gerakan-gerakan dan tugas-tugas dalam thariqat tersebut” (hal.24). Katanya juga, “Hari-hari di Damanhur .. yang dihabiskan dengan segala perasaan dalam amalan tasawuf dan ibadah … sepanjang waktu dihabiskan untuk peribadahan dan gerakan-gerakan tasawuf”. (hal. 28). Di tempat lain dia berkata : “Saya sebutkan bahwa bagian dari adat kami adalah kami keluar pada waktu peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan arak-arakan sambil mendendangkan qashidh-qashidah (sya’ir) yang sudah biasa dibaca pada saat-saat seperti itu, dengan kesenangan dan kegembiraan yang sempurna”. Al-Mudzakkirat (hal.52). Diantara sya’ir yang dibaca adalah : “Kekasih ini bersama kekasih-kekasih lain yang hadir semua saling memaafkan terhadap kesalahan-kesalahan yang telah lalu dan telah terjadi”.
Dalam Majmu’ Rasa’il Hasan Al-Banna, pada bagian Risalah Tentang Ta’lim dibawah judul Al-Ushulul ‘Isrun, dia menyatakan dalam pokok (ushul) kelima belas : “Berdo’a kepada Allah disertai tawassul dengan seorang makhluknya adalah perselsiihan dalam masalah akidah” (hal. 392).
Dalam Risalah aqa’id dari kitab itu juga, dia berkata : “Pembahasan dalam masalah ini –asma wa shifat- meskipun dibicarakan panjang lebar tidak akan sampai kepada titik penyelesaian, kecuali hasil yang satu yakni menyerahkan (tafwidh) maknanya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala”. Tulisan ini dibawah judul Madzhab Salaf wa Al-Khalaf Fi Al-Asma wa Shifat” (hal. 452).
Aku (Abu Abdillah) berkata : “Saya menemukan pembicaraan ulama Salaf yang sangat berharga, yakni Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang menjelaskan perihal orang-orang yang menyerahkan ilmu tentang makna asma wa shifat kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, bahwa mereka adalah ahlu bid’ah yang sangat jahat. Hal itu terdapat dalam Dar’u Ta’arudhi Al-Aql wa An-Naql, juz pertama bagian ke 16 (hal. 201-205). Beliau berkata : “Adapun masalah tafwidh (penyerahan makna kepada Allah), sesungguhnya telah diketahui bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk memahami Al-Qur’an dan mendorong kita untuk memikirkan dan memahaminya. Maka bagaimana kita dibolehkan berpaling dari mengenal, memahami dan memikirkannya?” Sampai beliau rahimahullah mengatakan tentang ketercelaan orang-orang tercela yang menyerahkan asma wa shifat kepada Allah (Al-Muwafidah) : “Maka jelas bahwa ahlu tafwidh yang menyangka bahwa dirinya mengikuti As-Sunnah dan As-Salaf, adalah mereka seburuk-buruk perkataan ahlul bid’ah dan ‘Ilhad (menyimpang)”.
[Disalin dari kitab Al-Ajwibatu Al-Mufidah ‘An-As-ilah Al-Manahij Al-Jadidah, Edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, Penulis (Pengumpul Risalah) Abu Abdullah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Penerjemah Muhaimin, Penerbit Yayasan Al-Madinah]
- Home
- /
- A8. Politik Pemikiran Wahhabi
- /
- Dakwah Syaikh Muhammad bin...