Tanggapan dan Bantahan Bagi Para Penentang As-Sunnah

BAB V. TANGGAPAN DAN BANTAHAN BAGI PARA PENENTANG AS-SUNNAH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

A. Bantahan dan Tanggapan Dalil Pertama
Tiga ayat yang dijadikan dalil oleh Inkaarus Sunnah (penentang As-Sunnah) tidak dapat dijadikan hujjah atau dasar untuk menolak As-Sunnah. Menurut Imam al-Au-za’i rahimahullah bahwa yang dimaksud Al-Qur-an menerangkan segala sesuatu, yakni menerangkan dengan penjelasan yang terdapat dalam As-Sunnah. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan kewenangan oleh Allah untuk menerangkan Al-Qur-anul Karim kepada umat manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Kami turunkan Al-Qur-an kepadamu agar engkau jelaskan kepada manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir.” [An-Nahl/16: 44]

Kata Imam asy-Syafi’i, “Istilah al-Bayan (tibyan) yang disebut dalam Al-Qur-an mengandung berbagai makna yang mencakup pengertian pokok sebagai sumber yang dijabarkan dalam berbagai cabang hukum (furu’). Hal ini diterangkan dalam Al-Qur-an oleh Allah kepada makhluk-makhlukNya yang mengandung berbagai segi:

  1. Ketentuan fardhu yang dicantumkan sebagai nash secara global, yaitu wudhu’, shalat, zakat, puasa, dan haji. Juga terdapat larangan berbuat keji secara terang-terangan atau tersembunyi, seperti larangan zina, minum-minuman keras, makan bangkai, makan darah, dan daging babi. Demikian pula disebutkan tata cara wudhu’ dan sebagainya.
  2. Ketentuan yang tegas dari firman Allah dalam Al-Qur-an dijelaskan melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya jumlah raka’at shalat, nishab dan waktu zakat, serta ketentuan lainnya yang belum dijabarkan dalam Al-Qur-an.
  3. Ketentuan yang diundangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur-an wajib diikuti, karena Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta selalu berpedoman kepada hukumnya. Barangsiapa yang telah melaksanakan ketentuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti ia menerima ketentuan Allah.
  4. Kewajiban yang dikenakan kepada hamba-hamba-Nya ini bertujuan agar bersungguh-sungguh mencari keterangan itu, dan Allah menguji ketaatan mereka dalam berijtihad sebagaimana ujian dalam hal-hal yang difardukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Selanjutnya Imam asy-Syafi’i menjelaskan bahwa barangsiapa yang menjadikan firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur-an sebagai sumber hukum, pasti akan menjadikan As-Sunnah sebagai hujjah, karena Allah telah menjadikan makhluk-Nya untuk mentaati Rasul-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“…Apa yang diberikan Rasul kapadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [Al-Hasyr/59: 7]

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa’/4: 65]

Orang-orang yang ingkar kepada As-Sunnah dengan menggunakan beberapa dalil dari ayat yang mengingkari ayat-ayat lain yang memerintahkan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adalah seperti orang-orang yang disinyalir Allah dalam firman-Nya:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat besar. Dan Allah tidak lengah dari apa kamu perbuat.” [Al-Baqarah/2: 85]

B. Bantahan dan Tanggapan Dalil Kedua
Adapun yang dimaksud dengan istilah hifzhudz dzikir dalam ayat 9 surat al-Hijr:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikra dan Kami pasti memeliharanya.” [Al-Hijr/15: 9]

Tidaklah terbatas pada perlindungan terhadap Al-Qur-an saja, melainkan mencakup peraturan Allah serta peraturan yang diundangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah menetapkan arti dzikr itu lebih umum dari hanya al-Qur-an saja.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Tanyakanlah kepada ahli dzikir sekiranya kalian tidak mengetahui.” [An-Nahl/16: 43]

Yang dimaksud dzikir dalam ayat ini ialah orang yang memahami Dinullah dan syari’at-Nya. Tidaklah diragukan lagi bahwa Allah menjamin Sunnah Rasul-Nya sebagaimana Dia menjamin Kitab-Nya. Hal ini terbukti dari perjuangan ulama yang telah menghabiskan usianya dalam menghafal, menyalin, mempelajari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Di samping itu mereka juga tidak lupa mengadakan seleksi yang ketat terhadap As-Sunnah.

Imam Muhammad bin ‘Ali bin Hazm yang terkenal dengan Ibnu Hazm berkata, “Di antara para ahli bahasa dan syari’at tidak terdapat perbedaan faham bahwa wahyu dari Allah merupakan ajaran yang diturunkan. Wahyu ini seluruhnya dijamin oleh Allah Ta’ala. Segala yang termasuk dalam jaminan Allah pasti tidak akan hilang atau menyimpang sedikit pun selama-lamanya, dan tidak akan pernah muncul keterangan yang membatalkan wahyu tersebut”.

Kemudian Ibnu Hazm menolak penafsiran kata dzikr dalam Al-Qur-an (Al-Hijr/15: 9) yang hanya diartikan sebagai Al-Qur-an saja. Ia berkata, “Pandangan tersebut hanyalah dusta yang jauh dari pembuktian, dan bermaksud mempersempit arti dzikr tanpa suatu dalil pun. Kata dzikr dalam ayat tersebut ialah suatu nama yang berkaitan dengan segala yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, baik itu Al-Qur-an maupun As-Sunnah, dan As-Sunnah merupakan wahyu sebagai penjelasan Al-Qur-an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“…Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an agar engkau menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir.” [An-Nahl/16: 44]

Jadi, nyatalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menjelaskan kepada ummat manusia, karena banyak ayat-ayat dalam Al-Qur-an yang hanya dicantumkan secara garis besarnya saja, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Dari bunyi lafazhnya, tidak dapat kita ketahui apa sebenarnya yang dikehendaki Allah kepada kita selaku hamba-Nya. Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan penjelasan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekiranya penjelasan tersebut tidak ada atau diabaikan begitu saja, maka sebagian besar syari’at yang difardhukan kepada kita akan gugur, dan kita tidak mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ayat-ayat tersebut (bila As-Sunnah tidak dijamin).

Baca Juga  Khatimah

Al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, setelah membaca ayat di atas (Al-Hijr/15: 9), ia berkata: “Konsekuensi dari ayat ini ialah bahwa syari’at Rasu-lullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap terpelihara dan Sunnahnya tetap dijaga Allah.”

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terpelihara ialah Allah menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi, dan syari’atnya sebagai penutup segala syari’at. Ummat manusia diperintahkan Allah agar beriman dan mengikuti syari’atnya sampai hari Kiamat, dengan demikian batallah syari’at yang menyalahi syari’at beliau. Allah tetapkan syari’at beliau serta memeliharanya, karena suatu hal yang mustahil bila Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya mengikuti syari’at yang telah lenyap, atau tidak terpelihara. Dan ingat, ummat Islam telah sepakat bahwa rujukan asasi bagi syari’at Islam adalah Al-Qur-an dan As-Sunnah. Karena kita tidak bisa memahami Al-Qur-an dan menegakkan hujjah Allah dalam mengadili hamba-hamba-Nya melainkan dengan risalah dan syari’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini sebagai pertanda bahwa pemeliharaan Al-Qur-an tidak sempurna melainkan dengan dipeliharanya As-Sunnah. Ada satu di antara kaidah ushul yang perlu kita ketahui, Syaikh Jamaluddin al-Qasimy menjelaskannya bahwa hadits tersebut dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala

C. Bantahan dan Tanggapan Dalil Ketiga
Dalam beberapa hadits shahih diungkapkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai penulisan hadits, di antaranya hadits Abu Sa’id al-Khudri yang dipakai hujjah oleh Inkarus Sunnah. Hadits tersebut memang shahih, tetapi kita harus melihat hadits-hadits lain yang berkenaan dengan masalah ini dan penjelasan dari para ulama. Imam an-Nawawi menjelaskan hadits Abu Sa’id dengan membawakan beberapa pendapat, di antaranya :

  1. Larangan penulisan yang dimaksud ialah menuliskan hadits dengan Al-Qur-an dalam satu lembaran, karena dikhawatirkan akan tercampur dengan Al-Qur-an.
  2. Larangan yang dimaksud khusus bagi orang yang kuat hafalannya supaya tidak mengandalkan tulisan. Adapun orang yang tidak kuat hafalannya, maka ia menulis.
  3. Hadits Abu Sa’id yang melarang menulis hadits sudah mansukh dengan hadits yang menyuruh untuk menulis.

Menurut Syaikh Ahmad Muhammad Syakir: “Jawaban yang benar adalah larangan penulisan sudah dihapuskan (dimansukh) dengan hadits lain yang menyuruh menulis hadits.

Hadits-hadits yang memerintahkan untuk menulis hadits (As-Sunnah):
1. Pada waktu Fat-hu Makkah (tahun 8 H.) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, kemudian seseorang dari Yaman yang biasa dipanggil Abu Syah berkata, “Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Lalu beliau bersabda: “Tuliskanlah untuk Abu Syah.”[1]

Yang dimaksud, “Tuliskanlah untukku,” kata Imam al-Auza’i ialah: “Ia minta dituliskan khutbah yang ia dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Dan kata Abu ‘Abdirrahman, “Tidak ada satu hadits pun yang paling sah tentang penulisan hadits selain hadits ini, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (Shahabat) menuliskan khutbah yang ia dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

2. Kata ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, “Aku pernah menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena aku ingin menghafalnya, kemudian orang-orang Quraisy melarangku sambil berkata, ‘Apakah engkau tulis semua yang kau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang bersabda di kala senang dan marah?’ Lalu aku berhenti menulis, kemudian aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau mengisyaratkan ke mulut beliau seraya bersabda:

أُكْتُبْ، فَوَالَّذِى نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ

Tulislah, demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, tidaklah keluar dari mulutku ini melainkan yang haq.”[2]

3. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Tidak seorang pun dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak hafalan haditsnya selain aku, dan yang hampir sama banyaknya denganku adalah ‘Abdullah bin ‘Amr, karena ia menulis.”[3]

Hadits-hadits di atas telah diamalkan oleh para Shahabat, Tabi’in, dan juga ummat yang telah sepakat sesudah itu tentang bolehnya menuliskan hadits. Semua itu menunjukkan bahwa hadits Abu Sa’id telah mansukh dan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu terjadi pada awal Islam, karena dikhawatirkan tercampur antara Al-Qur-an dan As-Sunnah dalam penulisannya. Sedangkan hadits Abu Syah terjadi pada Fat-hul Makkah (di akhir-akhir hayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), demikian juga hadits Abu Hurairah, beliau masuk Islam pada tahun ke-7 H, kemudian terjadi ijma’ tentang penulisan dan khabar yang demikian berupa khabar mutawatir ‘amali dari Salafush Shalih yang mudah-mudahan Allah meridhai mereka semua.

Riwayat-riwayat yang dibawakan oleh Inkarus Sunnah bahwa para Shahabat tidak menyukai penulisan hadits, riwayat itu tidak sah, bahkan sebaliknya mereka memerintahkan untuk menuliskan hadits.

Ada yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar Radhiyallahu anhu, melarang penulisan hadits, menurut Imam adz-Dzahabi tidak sah riwayatnya, karena dalam kenyataannya Abu Bakar Radhiyallahu anhu menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian pula ‘Umar, ‘Ali, dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhum yang diriwayatkan bahwa mereka melarang orang menuliskan hadits, riwayatnya sangat lemah derajatnya. Jika pun seandainya ada riwayat yang sah dari mereka akan larangan menuliskan hadits, justru dari mereka pula banyak riwayat yang memerintahkan menuliskan hadits.

Penulisan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh para Shahabat dapat kita lihat dari nukilan riwayat-riwayat berikut ini :

1. Abu Bakar ash-Shiddiqz pernah menulis surat kepada Anas bin Malik yang isinya memuat hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Anas menjabat sebagai Amil di Bahrain.

2. ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam surat-surat resmi agar kaum muslimin mengamalkannya. Dari Abu ‘Utsman, ia berkata, “Kami bersama ‘Utbah bin Farqad (di Azarbaizan), lalu ‘Umar mengirim surat kepadanya yang berisikan beberapa hadits yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara surat-surat yang dikirimkan isinya ialah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Baca Juga  Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at

مَنْ لَبِسَ الْحَرِيْرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِي اْلآخِرَةِ

Orang-orang yang memakai sutera, maka ia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat.”[4]

3. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menganjurkan orang-orang menuliskan hadits, dan terkadang mendiktekannya kepada mereka.

4. Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, penulis wahyu, adalah juga Shahabat yang pertama kali menulis tentang hadits-hadits fara-idh.

Abu Ja’far bin Barqan berkata, “Seandainya Zaid bin Tsabit tidak menulis hadits-hadits fara-idh, sungguh yang demikian ini (ilmu fara-idh) akan hilang dari ummat ini.

5. Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu menulis surat kepada keponakannya yang berisikan dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahui ‘alaihi a sallam[5].

6. Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu membolehkan untuk menuliskan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[6].

7. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu adalah seorang Shahabat yang kepadanya banyak para Shahabat dan Tabi’in menulis sari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi was allam, karena beliau pernah dido’akan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dapat menghafal hadits-hadits, dan setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi was allam mendo’akannya ia tidak pernah lupa[7].

8. Anas bin Malik Abu Hamzah al-Anshari Radhiyallahu anhu adalah seorang Shahabat yang bagus sekali dalam menulis hadits, sehingga Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengutusnya ke Bahrain. Dan Anas menganjurkan anak-anaknya untuk menulis hadits.

Tsumamah bin ‘Abdullah berkata, “Anas berwasiat kepada anak-anaknya, ‘Wahai anak-anakku ikatlah ilmu itu dengan tulisan.’”

9. ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu adalah termasuk Shahabat yang banyak menulis hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah memerintahkan kepadanya agar menulis hadits-hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang sudah disebutkan riwayatnya. Hingga hadits-hadits yang ditulisnya terkumpul dalam satu Shahifah ash-Shadiqah.

10. ‘Abdullah bin az-Zubair Radhiyallahu anhuma pernah menulis surat kepada Qadhi ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud yang isinya memuat hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[8].

11. Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu anhuma juga pernah mengirim surat kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma agar ia menuliskan apa-apa yang didengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ‘Aisyah pun menuliskannya.

As-Sya’bi berkata, “Telah menceritakan kepadaku juru tulis Mughirah bin Syu’bah, ia berkata, ‘Mu’awiyah menulis surat kepadaku yang isinya: ‘Hendaklah engkau tuliskan untukku hadits-hadits yang pernah engkau dengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka aku pun menuliskannya.’”

Di antara para Shahabat lainnya yang menulis hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam adalah:

12. Abu Rafi’.
13. Abu Sa’id al-Khudri.
14. Ubay bin Ka’ab al-Anshari.
15. Abu Musa al-Asy’ari.
16. Asma’ binti Unais.
17. ‘Usaid bin Hudhair al-Anshari.
18. Al-Barra’ bin ‘Azib.
19. Jabir bin Samurah.
20. Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali.
21. Jabir bin ‘Abdillah bin ‘Amr.
22. Hasan bin ‘Ali.
23. Rafi’ bin Khadij.
24. Zaid bin Arqam.
25. Subai’ah al-Aslamiyyah.
26. Sa’ad bin Ubadah al-Anshari.
27. Salman al-Farisi.
28. As-Saib bin Yazid.
29. Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi al-Anshari.
30. Syaddad bin Aus bin Tsabit al-Anshari.
31. Samurah bin Jundub.
32. Syamghun al-Azdi al-Anshari.
33. Dhahhak bin Sufyan al-Kilaabi.
34. Dhahhak bin Qais al-Kilaabi.
35. ‘Abdullah bin Abi Aufa.
36. ‘Abdullah bin ‘Abbas.
37. ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab.
38. ‘Abdullah bin Mas’ud al-Hudzali.
39. ‘Itban bin Malik al-Anshari.
40. Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
41. Fathimah binti Qais.
42. Muhammad bin Maslamah al-Anshari.
43. Mu’adz bin Jabal.
44. Ummul Mukminin Maimunah binti Harits al-Hi-lalliyyah.
45. ‘Amr bin Hazm al-Anshari.
46. An-Nu’man bin Basyir.
47. Abu Bakar ats-Tsaqafi Nufa’i bin Masruh.
48. Abu Syah.
49. Abu Hindin ad-Daari.[9]

Dari kalangan Tabi’in yang menuliskan hadits-ha-dits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagi berikut:
1. Aban bin ‘Utsman bin ‘Affan.
2. Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i al-Awar.
3. Abu Aliyah ar-Riyahi.
4. Amir bin Sharaahil bin ‘Amr asy-Sya’bi al-Hamdani.
5. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
6. ‘Urwah bin az-Zubair.
7. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shidiq.
8. Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib.
9. ‘Ubaidah bin ‘Amr as-Salmani al-Muradi.
10. Ayyub bin Abi Tamimah as-Sikhtiyaani.
11. Ma’imun bin Mihran.
12. Nafi’ maula Ibnu ‘Umar.
13. Manshur bin Mu’tamir[10].

Dan masih banyak lagi para Tabi’in yang menulis hadits-hadits Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam langsung dari para Shahabat, dan untuk kemudian mereka pun menganjurkan kepada para Tabi’ut Tabi’in untuk menuliskannya, dan begitulah seterusnya sehingga membentuk suatu mata rantai sampainya hadits-hadits itu kepada kita saat ini.

D. Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______
Footnote
[1] Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 2434), Muslim (no. 1355), Ahmad (II/238) dan Abu Dawud (no. 3649), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[2] Hadits shahih riwayat ad-Darimi (I/125), Ahmad (II/162, 192) dan al-Hakim (I/105-106) dan Abu Dawud (no. 3646).
[3] Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 113) dan ad-Darimi (I/125 no. 487).
[4] Hadits shahih riwayat Ahmad (I/26), al-Bukhari (no. 5832) dan Muslim (no. 2073).
[5] HR. Ahmad (V/413)
[6] HR. Ad-Darimi (I/127).
[7] HR. Al-Bukhari (no. 119).
[8] HR. Ahmad (IV/4).
[9] Dirasaat fil Hadits an-Nabawy (I/92-142).
[10] Dirasaat fil Hadits an-Nabawy (I/143-215).

  1. Home
  2. /
  3. A4. Kedudukan As-Sunnah Dalam...
  4. /
  5. Tanggapan dan Bantahan Bagi...