Hubungan As-Sunnah Dengan Al-Qur’an

BAB III. HUBUNGAN AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR-AN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ditinjau dari hukum yang ada maka hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an, sebagai berikut:

1. As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur-an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati perintah dan larangan. Ada perintah mentauhidkan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, serta banyak lagi yang lainnya.

2. Terkadang As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur-an, atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dan ayat-ayat Al-Qur-an yang muthlaq dan ‘aam (umum). Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur-an.

Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur-an dengan firman-Nya :

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl/16: 44]

Di antara contoh As-Sunnah mentakhshish Al-Qur-an adalah:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ

Allah berwasiat kepada kamu tentang anak-anak kamu, bagi laki-laki bagiannya sama dengan dua orang perempuan…” [An-Nisaa’/4: 11]

Ayat ini ditakhshish oleh As-Sunnah sebagai berikut:

  • Para Nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai shadaqah,
  • Tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau sebaliknya, dan
  • Pembunuh tidak mewariskan apa-apa[1].

As-Sunnah mentaqyid kemutlakan al-Qur-an:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا

Pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong kedua tangannya…” [Al-Maa-idah/5: 38]

Baca Juga  Tanggapan dan Bantahan Atas Penolakan Khabar Ahad

Ayat ini tidak menjelaskan sampai di manakah batas tangan yang akan dipotong. Maka dari as-Sunnah lah didapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan[2].

As-Sunnah sebagai bayan dari mujmal Al-Qur-an:

  • Menjelaskan tentang cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي

Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.”[3]

  • Menjelaskan tentang cara ibadah haji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:

لِتَأْخُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ

Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu sekalian.”[4]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang perlu penjelasan dari As-Sunnah karena masih mujmal.

3. Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an. Di antara hukum-hukum itu ialah tentang haramnya memakan daging keledai negeri, daging binatang buas yang mempunyai taring, burung yang mempunyai kuku tajam, juga tentang haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi kaum laki-laki. Semua ini disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.

Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur-an dengan As-Sunnah selama-lamanya.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apa-apa yang telah disunnahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana Allah mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ َ صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ أَلَا إِلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ

“…Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” [Asy-Syura/42: 52-53]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam telah menerangkan hukum yang terdapat dalam Kitabullah, dan beliau menerangkan atau menetapkan pula hukum yang tidak terdapat dalam Kitabullah. Dan segala yang beliau tetapkan pasti Allah mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah menjelaskan barangsiapa yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan barangsiapa yang tidak mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat kepada-Nya, yang demikian itu tidak boleh bagi seorang makhluk pun untuk melakukannya. Dan Allah tidak memberikan kelonggaran kepada siapa pun untuk tidak mengikuti Sunnah-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[5]

Baca Juga  Sunnah Dan Bid'ah

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an ada 3 macam, sebagai berikut:

  1. Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an.
  2. Terkadang As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal di dalam Al-Qur-an.
  3. Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an, apakah itu hukumnya wajib atau haram yang tidak disebut haramnya dalam Al-Qur-an. Dan tidak pernah keluar dari ketiga pembagian ini. Maka As-Sunnah tidak bertentangan dengan Al-Qur-an sama sekali.

Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam Al-Qur-an, maka hal itu merupakan tasyri’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib bagi kita mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah agar kita mentaati Rasul-Nya. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ditaati, maka ketaatan kita kepada Allah tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap apa-apa yang sesuai dengan Al-Qur-an dan terhadap apa-apa yang beliau tetapkan hukumnya yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah…’” [An-Nisaa’/4: 80][6]

BAB IV. AS-SUNNAH DAN PARA PENENTANGNYA DI MASA LALU DAN MASA SEKARANG

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______
Footnote
[1] HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
[2] Subulus Salam (IV/151-152).
[3] HR. Al-Bukhari (no. 631), dari Shahabat Malik bin al-Khuwairits Radhiyallahu anhu
[4] HR. Muslim (no. 1297).
[5] Ar-Risaalah (hal. 88-89).
[6] Lihat I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin (IV/84-85), ta’liq wa takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman.

  1. Home
  2. /
  3. A4. Kedudukan As-Sunnah Dalam...
  4. /
  5. Hubungan As-Sunnah Dengan Al-Qur’an