Takbir Pada Dua Hari Raya dan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

TAKBIR PADA DUA HARI RAYA DAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

Pembahasan Pertama
Takbir pada Dua Hari Raya dan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
Takbir disyari’atkan pada dua malam hari raya dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan tata cara yang telah disyari’atkan.

Dalil Takbir:

  1. Allah Ta’ala berfirman:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

“Supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al-Hajj/22: 28)

  1. Allah Ta’ala berfirman:

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ

“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Al-Baqarah/2: 185)

  1. Riwayat yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى، وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ

Beliau dahulu keluar pada hari raya Fithri, lalu bertakbir sampai mendatangi tanah lapang tempat shalat dan sampai selesai shalat. Jika selesai shalat, maka beliau memutus (menghentikan) takbir.”[1]

  1. Riwayat dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma , dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هذِهِ اْلأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ

Tidak ada satu hari pun yang lebih agung dan lebih dicintai Allah beramal pada hari tersebut daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir dan tahmid pada hari-hari tersebut.[2]

  1. Riwayat yang shahih bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma:

كَانَ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنَى يَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ اْلأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنَى تَكْبِيْرًا

Beliau bertakbir di dalam tendanya di Mina, (suara beliau) didengar oleh orang yang ada di masjid, lalu mereka bertakbir. Demikian juga orang yang ada di pasar pun bertakbir sehingga Mina dipenuhi takbir.”[3]

  1. Riwayat yang shahih bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma:

كَانَ إِذَا غَدَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ اْلأَضْحَى يَجْهَرُ بِالتَّكْبِيْرِ حَتَّى يَاْتِيَ الْمُصَلَّى ثُمَّ يُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ اْلإِمَامُ

Jika beliau keluar (pada pagi) hari raya ‘Idul Fithri dan Adh-ha, beliau mengeraskan takbir hingga mendatangi tanah lapang tempat shalat ‘Id, kemudian terus bertakbir hingga imam datang.”[4]

Pembahasan Kedua
Jenis-Jenis Takbir
Takbir terdiri dari dua jenis, takbir muthlaq (bebas) dan takbir muqayyad (terikat). Takbir muthlaq menurut pendapat yang rajih, disyari’atkan pada dua malam hari raya sampai selesai khutbah, demikian juga disyari’atkan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Sedangkan takbir muqayyad disyari’atkan (untuk dilakukan) setelah shalat fardhu, dari fajar (Shubuh) hari ‘Arafah sampai ‘Ashar hari terakhir Tasyriq, sebagaimana akan dirinci pada pembahasan setelah ini.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, al-Mughni, “Al-Qadhi rahimahullah berkata, ‘Takbir pada hari raya kurban (‘Idul Adh-ha) ada yang muthlaq dan ada yang muqayyad. Takbir muqayyad dilakukan setelah shalat dan takbir muthlaq dilakukan di setiap keadaan, di pasar-pasar dan di setiap waktu. Sedangkan hari raya Fithri (‘Idul Fithri) hanya disunnahkan yang muthlaq saja.’”[5]

Pembahasan Ketiga
Waktu Takbir
Sebagaimana dijelaskan terdahulu, ada takbir muthlaq dan ada takbir muqayyad, dan semuanya memiliki waktu yang khusus.

Takbir di Malam Dua Hari Raya
Takbir di malam dua hari raya dimulai dari melihat hilal bulan Syawwal -jika memungkinkan- dan jika tidak, maka dimulai dari sampainya berita ‘Id (hari raya) melalui cara yang benar atau dengan terbenamnya matahari tanggal 30 Ramadhan.(v) Sedangkan pada malam ‘Idul Adh-ha mulai dari terbenamnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah.

Yang shahih menurut pendapat para ulama, takbir ini terus dilakukan sampai imam selesai berkhutbah, akan tetapi tidak bertakbir di tengah khutbah kecuali mengikuti imam. Takbir ini lebih ditekankan (untuk dikumandangkan) ketika berangkat ke tanah lapang tempat shalat ‘Id dan ketika menunggu shalat.

Takbir pada 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
Takbir pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terdiri dari takbir muthlaq dan takbir muqayyad.

Yang shahih menurut pendapat para ulama, takbir muthlaq dimulai dari awal sepuluh hari pertama Dzulhijjah sampai imam selesai dari khutbah. Sedangkan takbir muqayyad dimulai dari fajar hari ‘Arafah sampai ‘Ashar hari Tasyriq yang terakhir, ini untuk orang yang tidak berhaji. Adapun bagi jama’ah haji, takbir dimulai dari shalat Zhuhur hari raya sampai ‘Ashar hari Tasyriq yang terakhir, karena sebelumnya jama’ah haji sibuk dengan talbiyah.

Baca Juga  Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Takbir muthlaq disyari’atkan di setiap waktu, baik malam atau siang. Sedangkan takbir muqayyad dikhususkan setelah shalat fardhu. Namun, apakah disyaratkan harus dalam shalat berjama’ah? Apakah mengqadha’nya bila lupa? Semua masalah ini merupakan perkara yang diperselisihkan para ulama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan, “Pendapat yang rajih dalam masalah takbir yang menjadi amalan mayoritas Salaf dan ahli fiqih dari kalangan Sahabat dan para imam adalah bertakbir dari fajar hari ‘Arafah sampai akhir hari Tasyriq setelah selesai shalat. Disyari’atkan bagi setiap orang untuk mengeraskan takbirnya ketika keluar untuk shalat ‘Id, dan inilah kesepakatan empat imam madzhab. Adapun takbir pada ‘Idul Fithri dimulai dari melihat hilal dan berakhir dengan selesainya ‘Id, yaitu selesainya imam dari khutbah menurut pendapat yang benar.”[6]

Ibnu Hajar  rahimahullah mengatakan, “Terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama dalam beberapa hal. Di antara mereka ada yang membatasi takbir hanya pada setelah shalat, ada juga yang mengkhususkan hanya setelah shalat wajib saja, tidak pada shalat sunnah. Juga di antara mereka ada yang mengkhususkannya hanya untuk laki-laki, tidak untuk wanita, dan ada yang mengkhususkan hanya pada shalat berjama’ah, tidak pada shalat sendirian. Di antara mereka ada juga yang mengkhususkannya dengan shalat yang ditunaikan pada waktunya, tidak pada shalat yang diqadha’ dan ada yang mengkhususkannya dengan orang yang mukim, tidak bagi orang yang sedang safar, dan orang yang tinggal di kota, tidak bagi orang yang tinggal di pedesaan. Namun pilihan Imam al-Bukhari tampaknya mencakup semua itu.”[7]

Pembahasan Keempat
Bacaan (Sifat) Takbir
Takbir yang disyari’atkan adalah membaca :

اَلله أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ. اَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَِللهِ الحَمْدُ.

Allah Mahabesar, Allah Mahabesar tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Allah Mahabesar Allah Maha-besar dan untuk-Nya segala puji-pujian.”

Jika takbirnya dijadikan tiga kali, hal ini tidak mengapa, dan juga tidak masalah seandainya ditambah dengan bacaan:

اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً

Allah Mahabesar dengan kebesaran-Nya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Bacaan takbir yang diriwayatkan dari sebagian besar Sahabat yang diriwayatkan secara marfu’ kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah :

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ. اَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَِللهِ الحَمْدُ

Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, tidak ada ilah (yang berhak) diibadahi melainkan Allah. Allah Mahabesar Allah Mahabesar dan segala pujian hanya milik Allah.

Dan jika mengucapkan: اَللهُ أَكْبَرُ tiga kali, hal ini boleh. Di antara ahli fiqih ada yang hanya membaca takbir (mengucapkan Allahu Akbar) tiga kali saja dan di antara mereka ada yang membaca takbir tiga kali dan membaca:

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَديْرٌ

Tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kekuasaan dan bagi-Nya segala puji. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”[8]

Sedangkan Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Diriwayatkan dari beliau bahwa beliau bertakbir dari shalat Fajar hari ‘Arafah sampai ‘Ashar dari hari terakhir Tasyriq dengan membaca:

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَِللهِ الْحَمْدُ

Baca Juga  Menyatukan Hari Raya

Allah Mahabesar dengan kebesaran-Nya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, dan Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang.[9]

Al-‘Allamah ash- Shan’ani menegaskan, “Dalam kitab asy-Syarh terdapat banyak bacaan takbir dan dianggap baik dari sejumlah para ulama. Hal ini menunjukkan kemudahan dalam perkara ini dan kemutlakan ayat menunjukkan hal tersebut.”[10]

Pembahasan Kelima
Tempat Bertakbir
Disunnahkan mengeraskan suara takbir di pasar-pasar, rumah-rumah, jalanan, masjid-masjid dan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang untuk menampakkan syi’ar dan menghidupkannya serta mencontoh para Salaf umat ini.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Disunnahkan menampakkan takbir di malam dua hari raya di masjid-masjid, rumah-rumah dan jalanan, baik dalam keadaan safar atau mukim, berdasarkan zhahir ayat yang berbunyi:

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ

“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Al-Baqarah/2: 185)

Sebagian ulama menafsirkannya dengan pernyataan, “Hendaknya kalian menyempurnakan bilangan Ramadhan dan mengagungkan Allah ketika Ramadhan telah sempurna atas petunjuk Allah kepada kalian.

Dan makna menampakkan takbir adalah mengeraskan suara dalam bertakbir. Hal ini disunnahkan karena padanya terdapat penampakan syi’ar Islam dan peringatan kepada yang lainnya.”[11]

Pembahasan Keenam
Hal-Hal yang Dilarang dalam Takbir
Dilarang melakukan takbir dengan berjama’ah, yaitu sejumlah orang berkumpul (dengan sengaja) untuk melafazhkan (takbir) dengan paduan suara (satu suara) atau seseorang bertakbir, kemudian sejumlah orang dibelakangnya mengulanginya. Perbuatan semacam ini tidak pernah dinukil dari Salaf umat ini. Padahal semua kebaikan itu ada dengan mencontoh mereka, dan dasar ibadah adalah ittiba’ (mencontoh syari’at), bukan dengan ibtida’ (mengada-adakan hal yang baru).

Yang sesuai Sunnah, bahwa setiap orang bertakbir sendiri-sendiri. Hal seperti ini berlaku pada seluruh dzikir dan do’a yang disyari’atkan di semua waktu.

Syaikh al-‘Allamah al-Albani rahimahullah mengatakan, “Di antara hal-hal yang perlu diperingatkan dalam kesempatan ini, bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyari’atkan berjama’ah dengan satu suara (paduan suara) sebagaimana dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Demikian juga seluruh dzikir yang disyari’atkan untuk dikeraskan atau yang tidak disyari’atkan, sehingga tidak disyari’atkan berkumpul seperti itu. Maka hendaknya kita semua berhati-hati dari hal ini.”[12]

Shalat Dua Hari Raya

[Disalin dari kitab Ahkaamul ‘Iidain wa ‘Asyri Dzil Hijjah, Penulis Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar. Judul dalam Bahasa Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penerjemah Kholid Syamhudi, Lc. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_____
Footnote
[1] HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf (II/1, no. 2). Syaikh al-Albani telah menguatkan hadits ini dan menjelaskan jalur-jalur periwayatannya serta menjelaskan rawi-rawi yang meriwayatkannya. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/119) dan seterusnya serta Irwaa-ul Ghaliil (III/122) dan seterusnya.
[2] HR. Imam Ahmad. Lihat al-Musnad (VII/224) dan Ahmad Syakir mengatakan, “Isnadnya shahih.” Sedang al-Mundziri dalam kitab at-Targhib wat Tarhiib menyatakan, “Isnadnya jayyid.” (II/224) dan lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/398).
[3] HR. Al-Bukhari secara Mu’allaq (dihapus awal sanad hingga Ibnu ‘Umar) (II/25) dan Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadits ini maushul (sanadnya bersambung hingga Ibnu ‘Umar). Fat-hul Baari (II/462).
[4] HR. Daraquthni (no. 180) dan al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih. Beliau telah menjelaskan rawi yang meri-wayatkan dan jalur-jalurnya. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/122).
[5] Al-Mughni (III/256).
v Sebagian ulama memandang bahwa takbir pada hari raya ‘Idul Fithri dimulai ketika berangkat ke tanah lapang, sebagaimana dirajihkan oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid dalam kitab beliau yang berjudul Ahkaamul ‘Iidain Fis Sunnah Muthahharah, hal 27.-pen.
[6] Majmuu’ al-Fataawaa (XXIV/220-221).
[7] Fat-hul Baari (II/462).
[8] Majmuu’ al-Fataawaa (XXIV/220).
[9] Zaadul Ma’aad (I/499) dan lihat Fat-hul Baari (II/462) dan Ahkaamul ‘Iidain, hal. 119, karya al-Firyabi.
[10] Subulus Salaam (II/125).
[11] Al-Mughni (III/255).
[12] Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/121).

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah1 Hukum...
  4. /
  5. Takbir Pada Dua Hari...