Ancaman Durhaka Kepada Orang Tua

ANCAMAN DURHAKA KEPADA ORANG TUA

Wahai saudaraku.., Rasulullah menghubungkan kedurhakaan kepada kedua orang tua dengan berbuat syirik kepada Allah. Dalam hadits Abi Bakrah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ

Maukah kalian aku beritahukan dosa yang paling besar?” Para sahabat menjawab,”Tentu.” Nabi bersabda,”(Yaitu) berbuat syirik, durhaka kepada orang tua.” (HR Bukhari no. 5.975).

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan peringatan:

كلُّ ذنوبٍ يؤخِرُ اللهُ منها ما شاءَ إلى يومِ القيامةِ إلَّا البَغيَ وعقوقَ الوالدَينِ ، أو قطيعةَ الرَّحمِ ، يُعجِلُ لصاحبِها في الدُّنيا قبلَ المَوتِ

Setiap dosa, Allah akan menunda (hukumannya) sesuai dengan kehendakNya pada hari Kiamat, kecuali durhaka kepada orang tua dan memutuskan silaturrahim. Sesungguhnya orangnya akan dipercepat (hukumannya sebelum hari Kiamat).” (HR Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 459 )

Membuat menangis orang tua juga terhitung sebagai perbuatan durhaka. Tangisan mereka berarti terkoyaknya hati, oleh polah sang anak.

Ibnu ‘Umar pernah menegaskan:

بُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوقِ وَالْكَبَائِرِ‏

Tangisan kedua orang tua termasuk kedurhakaan dan dosa besar“. (HR Bukhari, Adabul Mufrad hlm. 31. Lihat Ash Shahihah, 2898).

Bagaimana tidak disebut sebagai kedurhakaan? Bukankah ucapan “uh” atau “ah” dilarang dilontarkan kepada mereka berdua? Allah berfirman:

اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. [Al Isra`/17: 23].

Maksudnya, seperti dipaparkan Ibnu Katsir, jika mereka telah memasuki usia saat kekuataan melemah dan memerlukan perlakuan yang baik, maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka “ah”. Ini adalah sikap menyakitkan yang paling ringan, sebagai petunjuk atas sikap menyakiti lainnya yang lebih besar. Maknanya, janganlah kalian menyakiti mereka dengan sesuatu apapun, meskipun kecil.

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Kalau Allah mengetahui sikap menyakitkan orang tua yang lebih rendah dari kata “ah”, niscaya akan melarangnya. Orang yang durhaka hendaknya berbuat apa saja, namun ia tidak akan masuk syurga. Dan anak yang berbakti hendaknya berbuat apa saja, tidak akan masuk neraka“.

Menurut Syaikh As Sa’di kedurhakaan terbagi dua.

  1. Sengaja bersikap buruk kepada orang tua, dan ini dosanya lebih besar.
  2. Sikap tidak mau berbuat baik kepada keduanya tanpa ada unsur menyakiti. Ini tetap haram, tetapi tidak seperti yang pertama.

Surat Dari Ibu yang Terkoyak Hatinya
Anakku…, ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.

Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik.

Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagianku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat di depan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.

Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada ibu untuk membuatkan sesuatu.

Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat. Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang ingin mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.

Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak-ku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.

Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.

Anakku…, seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada ibu? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada ibu?

Baca Juga  Hak Orang Tua Yang Kafir

Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi ibu? Baiklah, anggap ibu sebagai pembantu, mana upah ibu selama ini? Anakku, ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya. Anakku, bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya duniaku.

Anakku…, perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat. Anakku, takutlah kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada ibu. Sekalah airmataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri.

Anakku…, ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayang dan kelelahan ibu saat engkau sakit. Ingatlah… ingatlah…. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan dengan wasiat:

رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Wahai, Rabb-ku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.[Al-Isra/17: 24]

Anakku, Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal. [Yusuf/12: 111].

Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.

Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia bercerita:

كُنْتُ أَدْعُو أُمِّي إِلَى الْإِسْلَامِ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فَدَعَوْتُهَا يَوْمًا فَأَسْمَعَتْنِي فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَكْرَهُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أَدْعُو أُمِّي إِلَى الْإِسْلَامِ فَتَأْبَى عَلَيَّ فَدَعَوْتُهَا الْيَوْمَ فَأَسْمَعَتْنِي فِيكَ مَا أَكْرَهُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَخَرَجْتُ مُسْتَبْشِرًا بِدَعْوَةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا جِئْتُ فَصِرْتُ إِلَى الْبَابِ فَإِذَا هُوَ مُجَافٌ فَسَمِعَتْ أُمِّي خَشْفَ قَدَمَيَّ فَقَالَتْ مَكَانَكَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَسَمِعْتُ خَضْخَضَةَ الْمَاءِ قَالَ فَاغْتَسَلَتْ وَلَبِسَتْ دِرْعَهَا وَعَجِلَتْ عَنْ خِمَارِهَا فَفَتَحَتْ الْبَابَ ثُمَّ قَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ وَأَنَا أَبْكِي مِنْ الْفَرَحِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَبْشِرْ قَدْ اسْتَجَابَ اللَّهُ دَعْوَتَكَ وَهَدَى أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ خَيْرًا

Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu: “Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah.” Rasulullah bersabda: “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah.” Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata: “Tetap di situ Abu Hurairah.” Aku mendengar kucuran air. Ibu ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata: “Wahai, Abu Hurairah! Asyhadu an Laa ilaaha Illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warasuluhu.” Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata,”Wahai, Rasulullah. Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku.” Maka Beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik. [HR Muslim].

Ibnu ‘Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya: “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku), wahai Ibnu ‘Umar?” Beliau menjawab: “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitannya (saat bersalin).”

Baca Juga  Lima Perkara Termasuk Berbakti Kepada Kedua Orang Tua Setelah Meninggal

Zainal ‘Abidin, adalah seseorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepada, (dan berkata): “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam?” Ia menjawab,”Aku khawatir, tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya.”

Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih syurga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.

Dalam Shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata: Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka: “Apakah Uwais bin ‘Amir bersama kalian?” Sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya,”Engkau Uwais bin ‘Amir?” Ia menjawab,”Benar.” ‘Umar bertanya,”Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia menjawab,”Benar”. Umar bertanya,”Apakah engkau dulu pernah sakit lepra dan sembuh, kecuali kulit yang sebesar uang dirham?” Ia menjawab,”Benar.” ‘Umar bertanya,”Engkau punya ibu?” Ia menjawab,”Benar.” Umar (pun) mulai bercerita,”Aku mendengar Rasulullah bersabda,’Akan datang pada kalian Uwais bin ‘Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu’.” (Umar berkata),”Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku,” maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya,”Kemana engkau akan pergi?” Ia menjawab,”Kufah.” Umar berkata,”Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia menjawab,”Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal.”

Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin ‘Aun pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya.

Kisah Kedurhakaan Kepada Orang Tua
Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai ke jalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang bapak berkata: “Cukup. Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan.” Sang anak menimpali: “Itulah balasanmu. Adapun tambahan ini sebagai sedekah dariku!”

Kisah perih lainnya, seorang ibu yang mengisahkan kepedihannya: “Suatu hari istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku ke suatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia mencampakkanku ke Panti Jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagi menemuiku.”

Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju syurga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang anak menuju lembah kehinaan, neraka.

Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya menyakitkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Akan terhina, akan terhina dan akan terhina!” Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah, siapakah gerangan?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Orang yang mendapati orang tuanya masih hidup, atau salah satunya pada hari tuanya, namun justru ia tidak masuk surga.” [HR Muslim].

(Diadaptasi dari ‘Idatush Shabirin karya Abdullah bin Ibrahim Al Qar’awi, Cetakan III, Penerbit Dar Tharafain, Tahun 1421H dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al Jannah, karya Shalih bin Rasyid Al Huwaimil, Penerbit Dar Ibnu Atsir, Cetakan I, Tahun 1422H)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

  1. Home
  2. /
  3. A6. Bersama Orang Tua...
  4. /
  5. Ancaman Durhaka Kepada Orang...