Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Asy-Syafi’iy
HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK MAYIT BERSAMA IMAM ASY-SYAFI’IY
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Firman Allah Jalla wa ‘Alaa.
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ﴿٣٨﴾ وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
“Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali apa yang telah ia usahakan” [An-Najm/53 : 38-39]
Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas.
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini Al-Imam Asy-Syafi’iy bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum : Bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada). Dan tidak pernah dinukil dari seorangpun shahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati). Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentu para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya[1]. Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran)”[2]
Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Tidak menjadi kebiasaan salaf, apabila mereka shalat sunnat atau puasa sunnat atau haji sunnat atau mereka membaca Qur’an lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari kaum muslimin. Maka tidaklah boleh berpaling (menyalahi) perjalanan salaf. Karena sesungguhnya kaum salaf itu lebih utama dan lebih sempurna”[3]
Keterangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa bacaan Al-Qur’an bukan untuk orang yang telah mati akan tetapi untuk orang yang hidup. Membaca Qur’an untuk orang yang telah mati hatta untuk orang tua dan menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada mereka, adalah perbuatan yang sama sekali tidak berdalil bahkan menyalahi Al-Qur’an sendiri dan Sunnah dan perbuatan para shahabat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir yang mengambil dari Al-Imam Asy-Syafi’iy yang dengan tegas mengatakan bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang yang telah mati. Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak pernah diamalkan oleh kaum salaf. Dari sini kita mengetahui, bahwa membaca Qur’an untuk orang yang telah mati tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ada, tentulah para shahabat yang pertama mengamalkannya sebelum orang lain. Kemudian amalan itu akan dinukil oleh tabi’in dan tabi’ut tabi’in termasuk Syafi’iy di dalamnya yang beritanya akan mencapai derajat mutawatir atau sekurang-kurangnya masyhur. Kenyataan yang ada sebaliknya, mereka sama sekali tidak pernah mengamalkannya sedikitpun.
Adapaun yang menyalahi Al-Kitab ialah.
- Bahwa Al-Qur’an bacaan untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا
“Agar supaya Al-Qur’an itu menjadi peringatan bagi orang-orang yang hidup” [Yasin/63 : 70]
- Al-Qur’an itu hidayah/petunjuk bagi manusia
- Al-Qur’an juga memberikan penjelasan dari petunjuk tersebut yang merupakan dalil dan hujjah.
- Al-Qur’an juga sebagai Al-Furqan pembela antara yang hak dengan yang batil
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
“Bulan ramadlan yang diturunkan di dalamnya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan baiyinaat (penjelasan-penjelasan yang merupakan dalil-dalil dan hujjah yang terang) dari petunjuk tersebut dan sebagai Al-Furqan” [Al-Baqarah/2 : 185]
- Di dalam Al-Qur’an penuh dengan larangan dan perintah. Dan lain-lain masih banyak lagi yang semuanya itu menjelaskan kepada kita bahwa Al-Qur’an adalah untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati. Mungkinkah orang-orang yang telah mati itu dapat mengambil hidayah Al-Qur’an, mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya dan lain-lain?.
Adapun sunnah terlalu banyak haditsnya yang tidak memungkinkan bagi saya menurunkan satu persatu kecuali satu hadits di bawah ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Dari Abu Hurairah : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu itu sebagai kuburan. Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah” [Hadits Shahih riwayat Muslim 2/188]
Hadits ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita di antaranya.
- Rumah yang tidak dikerjakan ibadah di dalamnya seperti shalat sunat dan tilawah (membaca) Al-Qur’an, Nabi samakan dengan kuburan.
- Mafhumnya (yang dapat dipahami) bahwa kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya…?
- Sekali lagi kita memahami dari sunnah nabawiah bahwa Qur’an bukanlah bacaan untuk orang-orang yang telah mati. Kalau Qur’an itu boleh dibacakan untuk orang-orang yang telah mati tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyamakan rumah yang di dalamnya tidak dibacakan Qur’an dengan kuburan! Dan tentulah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kamu seperti kuburan!!!”.
Sungguh benar apa yang telah dikatakan Ibnu Katsir : “Tidak dinukil dari seorangpun shahabat bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati. Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya (Laukana khairan lasabakuna ilaihi)”.
Saya berkata : “Inilah rahasia yang besar dan hikmah yang dalam bahwa tidak ada seorangpun shahabat yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masalah membacakan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati dan menghadiahkan pahala bacaannya hatta untuk orang tua mereka sendiri. Di mana mereka bertanya tentang sedekah, puasa nadzar dan haji untuk orang tua mereka yang telah wafat. Kenapa mereka tidak bertanya tentang Qur’an atau shalat atau dzikir atau mengirim Al-Fatihah untuk orang tua mereka yang telah wafat?
Jawabnya, kita perlu mengetahui kaidah besar tentang para shahabat. Bahwa para shahabat adalah aslam (yang paling taslim atau menyerah kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya) dan a’lam (yang paling mengetahui tentang agama Islam) dan ahkam (yang paling mengetahui tentang hukum dan paling tepat hukumnya). Oleh karena itu mereka sangat mengetahui bahwa bacaan Qur’an bukan untuk orang-orang yang telah mati akan tetapi bacaan untuk orang yang hidup.
Kesimpulan
- Bahwa Al-Qur’an untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang telah mati.
- Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit bertentangan dengan Al-Qur’an sendiri dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ijma’ para shahabat. Dengan demikian perbuatan tersebut tidak ragu lagi adalah Bid’ah Munkar. Karena amalan tersebut tidak pernah terjadi pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada zaman shahabat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkannya hatta dengan isyarat. Dan para shahabat tidak pernah mengamalkannya sedikit pun juga..
- Menurut Imam Syafi’iy bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang telah mati.
- Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati menghilangkan sebagian dari maksud diturunkannya Al-Qur’an.
- Kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya.
[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]
_______
Footnote
[1] Peganglah kuat-kuat kaidah yang besar ini! Bahwa setiap amal kalau itu baik dan masuk ke dalam ajaran Islam tentulah diamalakan lebih dahulu oleh para shahabat. Mafhumnya, kalau ada sesuatu amal yang diamalkan oleh sebagian kaum muslimin akan tetapi para shahabat tidak pernah mengamalkannya, maka amal tersebut jelas tidak baik dan bukan dari Islam.
[2] Di dalam kaidah ushul yang telah disepakati “apabila nash (dalil) telah datang batallah segala ra’yu/pikiran
[3] Dari Kitab Al-Ikhtiyaaraat Ilmiyyah
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah4 Jenazah...
- /
- Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk...