Perintah Untuk Menikahkan Orang yang Sendirian Tanpa Pasangan

PERINTAH UNTUK MENIKAHKAH ORANG YANG SENDIRIAN TANPA PASANGAN

 وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui..[An-Nur/24:32].     

Penjelasan Ayat.
Perintah untuk menikahkan

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ

Al-inkaah – dalam ayat di atas – bersinonim dengan kata at-tazwiij. Sehingga bermakna zawwijuuhum (nikahkahlah mereka)[1]. Perintah tersebut terarah kepada para wali (dan tuan-tuan pemilik budak).[2] Allah Azza wa Jalla al-Hakiim al-‘Aliim (Dzat Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui kemaslahatan) memerintahkan mereka agar menikahkan orang-orang yang berada di bawah perwaliannya yang masuk dalam kategori al-ayâma. Al-ayâma adalah bentuk plural kata al-ayyim.

Maksud al-ayâma di sini, ialah orang-orang yang tidak (belum) mempunyai pasangan hidup, baik dari kalangan kaum lelaki maupun perempuan. Entah pernah menikah – kemudian bercerai atau pasangan meninggal- maupun belum menjalani perkawinan[3]. Maka, wajib bagi kerabatnya dan wali anak yatim, untuk menikahkan orang yang membutuhkan pernikahan dari orang-orang nafkahnya menjadi tanggungan si wali dengan memberi bantuan dan kemudahan agar tidak tersisa bujang maupun lajang kecuali sedikit saja.[4]

Perintah dalam ayat di atas dalam tinjauan ilmu Ushul Fiqh bermakna wajib, karena tidak ada faktor lain yang memalingkannya. Demikian keterangan Syaikh al-Amîn asy-Syinqîthi rahimahullah dalam tafsirnya[5]

Bila mereka (para wali) diperintahkan untuk menikahkan orang-orang yang berada di bawah tanggungan mereka, maka perintah kepada mereka untuk nikah lebih utama lagi agar dapat membentuk jiwa yang suci dan kebal dari perbuatan keji sekelas perzinaan.[6]

Firman Allah Azza wa Jalla :

وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ 

dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan :

Pengertian ash-shâlihîn adalah orang yang mempunyai keshalehan dalam beragama, hingga tidak melakukan perzinaan. Bila hamba sahaya yang dimiliki seseorang demikian adanya, maka sang pemilik diperintahkan untuk mencarikan pasangan hidup baginya. Sebagai balasan baik atas keshalehan pribadi yang dimiliki budak tersebut. Sebab, bila telah rusak lantaran perbuatan zina, sudah berarti hukumnya terlarang untuk menikahkannya. Dan ini berarti juga menguatkan kandungan hukum yang tertuang dalam ayat-ayat pertama surat an-Nûr. Bahwa pernikahan lelaki atau perempuan yang berbuat zina hukumnya haram sampai mereka bertaubat.

Makna kata ash-shâlihîn yang lain, orang-orang yang sudah pantas menikah, lagi membutuhkannya, baik para budak laki dan perempuan. Pengertian ini ditopang oleh realita bahwa seorang tuan tidak diperintahkan untuk menikahkan budaknya sebelum membutuhkan perkawinan.[7]Wallahu A`lam.

Janji Allah Azza wa Jalla Bagi Orang-Orang Menikah
Firman Allah Azza wa Jalla :

إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui..

Sebuah janji baik datang dari Allah Azza wa Jalla dan Allah Azza wa Jalla tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya. Jika mereka miskin, yaitu para suami dan orang yang telah menikah,  Allah Azza wa Jalla akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Janganlah bayang-bayang kemiskinan karena memikul beban nafkah keluarga setelah menikah menjadi penghalang untuk menjalankan syariat Allah yang satu ini.[8] Sebuah realita yang menggelayuti benak sebagian orang. Cukuplah, janji Allah Azza wa Jalla di atas untuk menepis keraguan tersebut jauh-jauh.

Pada ayat ini, terkandung anjuran untuk menikah, dan janji Allah Azza wa Jalla kepada orang yang menikah dengan kecukupan setelah kondisi kefakirannya. Artinya, ayat ini seperti diungkap oleh Ibnul ‘Arabi rahimahullah memuat dalil (dasar) menikahkan lelaki yang fakir. Jangan sampai ia berkata, ‘bagaimana aku bisa menikah, uang saja tidak ada?’. Karena sungguh, rezeki dirinya dan keluarga menjadi tanggungan Allah Azza wa Jalla . Selanjutnya, beliau menyampaikan fakta, dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan seorang lelaki yang tidak mempunyai harta kecuali izâr (pakaian). Demikian fakta yang beliau sampaikan.

Baca Juga  Balasan Bagi Orang yang Menjadikan Agama Sebagai Guyonan

Ada satu hal menarik yang tidak boleh dikesampingkan dari keterangan Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah dalam mengulas janji baik ini. Kata beliau: “Orang menikah yang diberi janji Allah Azza wa Jalla berupa kecukupan hidup, ialah orang yang mempunyai niat dengan pernikahannya supaya mendapat kemudahan menjalankan ketaatan kepada Allah  Azza wa Jalla dalam menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan[9]. Seperti telah dipaparkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ, مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup untuk menikah maka menikahlah, dan barang siapa belum mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu sebagai perisai.[10]

Apabila niatnya untuk menikah adalah merealisasikan kepatuhan kepada Allah Azza wa Jalla dengan menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan, maka dengan itulah janji berkecukupan akan teraih”.[11]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ تَعَالَى عَوْنُهُمْ : الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ الْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْعَفَافَ

“Ada tiga golongan, Allah mewajibkan atas Dzatnya untuk membantunya:  (yaitu) Orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah untuk menjaga kehormatan diri dan budak yang berusaha membeli dirinya sendiri hingga menjadi orang merdeka “. [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dll. Lihat Shahihul Jami’ no. 3050]

Demikianlah, Allah Azza wa Jalla menjanjikan pemberian rezeki bagi orang-orang yang taat kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla membalas amal sholeh seorang muslim di dunia dan akhirat. Ayat-ayat pendukung tentang masalah ini banyak dalam al-Qur`an.[12]

وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.

Kebaikan Allah Azza wa Jalla melimpah dan karunia-Nya sangat agung. Allah Azza wa Jalla mengetahui orang-orang yang berhak menerima karunia-Nya, baik yang berhubungan dengan agama ataupun duniawi atau hanya berhak memperoleh salah satunya saja, dan mengetahui pula orang-orang yang tidak berhak meraihnya. Maka, masing masing diberi berdasarkan apa yang telah Allah Azza wa Jalla ketahui dan sesuai dengan kandungan hukum-Nya.[13]

Mungkin terbetik pertanyaan, terkadang orang yang menikah hidup di bawah garis kecukupan?. Maka, jawabannya tidak mesti kondisi kecukupan berlangsung kontinyu. Bila sekali saja pernah terjadi, itu sudah menjadi petunjuk bahwa janji Allah Azza wa Jalla terbukti. Atau bisa juga dikatakan Allah Azza wa Jalla memberinya kebesaran jiwa (ghinan nafsi) melalui pernikahan yang telah ia jalani.[14] Wallahu a’lam.

Manfaat Pernikahan
Pernikahan adalah sunnatul anbiya (jalan hidup para nabi dan rasul). Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan…. [ar-Ra’du/13:38]

Pernikahan sudah tidak hanya menjadi kebutuhan manusia. Lebih dari itu. Dalam pernikahan terselip manfaat yang berharga lagi tujuan-tujuan yang luhur. Dengan pernikahan terbentuklah kesucian pribadi-pribadi muslim dan pada gilirannya terbentuklah sebuah masyarakat yang suci, yang menjunjung tinggi perkawinan dan memandang pergaulan dan hubungan bebas sebagai noda yang mesti dihapuskan. Karena itu, hidup tabattul (menjauhi pernikahan dalam rangka konsentrasi dalam beribadah) terlarang dalam Islam.

Pernikahan adalah ikatan syar’i yang menyatukan antara lelaki dan perempuan dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya yang telah dijelaskan buku-buku fiqih. Saking pentingnya, kebanyakan ulama hadits dan Fuqaha mendahulukannya ketimbang jihad. pasalnya, jihad tidak mungkin ditempuh kecuali dengan keberadaan kaum lelaki. Sementara itu, tidak ada jalan untuk melahirkan mereka kecuali melalui jalan pernikahan syar’i.[15]

Dalam kaca mata Fiqih Islam, hukum menikah kondisional, tergantung kondisi orang. Namun pada asalnya, hukumnya wajib atas orang yang telah mengkhawatirkan dirinya terjerembab ke jurang kenistaan (zina) bila tidak menikah. Apalagi, jika agama seseorang lemah dan banyaknya godaan serta fitnah.[16]

Baca Juga  Tidak Mungkin Beriman Kecuali Dengan Izin Allâh

Berikut beberapa manfaat perkawinan secara singkat:

  1. Menjaga kelestarian kelangsungan bangsa manusia dari kepunahan.
  2. Pemenuhan dorongan syahwat pada diri manusia. Karena Allah Azza wa Jalla tatkala menciptakan manusia, telah menanamkan dorongan syahwat padanya, yang membutuhkan pemenuhan dengan lawan jenis.
  3. Menjaga kehormatan jiwa dan membentengi kemaluan.
  4. Pembentukan keluarga yang baik dan pemeliharaan garis-garis nasab.
  5. Penciptaan rasa ketentraman jiwa.
  6. Pernikahan yang syar’i merupakan salah satu faktor untuk memperbanyak populasi umat Islam.
  7. Adanya pendistribusian beban tanggung-jawab antara suami-istri yang akan mengakibatkan terbentuknya ketentraman dan kebahagiaan mereka berdua serta kerapian roda keluarga.

Manfaat pernikahan lebih dari apa yang disebutkan di atas. Bagi orang yang merenungkan syariat Ilahi ini, akan sampai pada kesimpulan bahwa pernikahan mendatangkan manfaat bagi pemeliharaan agama, jiwa, nasab dan kehormatan seseorang. Semestinya, jalan menuju pernikahan dipermudah. Karena merupakan thariq at-ta’affuf[17]. Dan para wali dan orang tua tergugah untuk segera menikahkan generasi Islam yang berada di bawah tanggung jawabnya. Apalagi, di masa perzinaan telah menggejala di tengah masyarakat, siap menerkam siapa saja yang lalai dan lengah. Ditambah lagi, adanya manusia-manusia berhati jelek yang juga telah memuluskan dan memudahkan akses menuju perzinaan dan perbuatan nista lainnya.

Dengan ini pula, dapat diraba betapa besar bahaya yang mengancam saat pernikahan syar’i ditinggalkan atau dianggap aral melintang dan pagar yang membatasi gerak-gerik bebas lelaki dan perempuan.

Sekedar sebagai bahan renungan, Imam Qatâdah bin Di’âmah as-Sadûsi rahimahullah  pernah berkata: “Dahulu telah tersebar ungkapan, jika anak telah baligh, namun ia belum dinikahkan oleh ayahnya, lantas ia berbuat zina, maka sang bapak telah berbuat dosa”. Riwayat Ibnu Abid Dun-ya rahimahullah, kitab al-‘Iyâl[18]. Wallahu a’lam. (Oleh Ustadz Abu Minhal, Lc)         

Pelajaran dari ayat di atas.

  1. Seruan kepada kaum muslimin, penguasa atau rakyat untuk membantu pernikahan orang-orang yang sendirian.
  2. Orang tua wajib menikahkan anak-anaknya
  3. Anjuran untuk menikah.
  4. Janji Allah Azza wa Jalla dengan kecukupan bagi orang yang menikah.
  5. Kandungan ayat ini tidak berlaku bagi kaum kuffar (ahli dzimmah)
  6. Pernikahan salah satu jalan membendung perzinaan.

Wallahu a’lam

Maraaji’.

  1. Aisarut-Tafâsîr, Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.
  2. Adhwâ-ul Bayân fi Îdhâhil-Qur`ân bil-Qur`ân, Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqîthi, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Mesir, 1415 H – 1995M.
  3. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-‘Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001M.
  4. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, al-Hâfizh Abul-Fidâ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Cetakan I, Tahun 1422 H – 2002 M
  5. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999M.
  6. Hirâsatul Fadhîlah, DR. Bakr bin Abdillah Abu Zaid Cet. VII Th. 1421H, tanpa penerbit

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1429/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Adhwâ-ul Bayân (6/218)
[2]  Ahkâmul Qur`ân (3/294), at-Taisîr hal. 612
[3]  Silahkan lihat Ahkâmul Qur`ân (3/292), al- Adhwâ (6/218), at-Taisîr. hal. 612
[4]  al-Aisar (2/845)
[5]  Adhwâ-ul Bayân (6/216)
[6]  at-Taisîr 612, Hirâsatul Fadhîlah hal. 99
[7]  at-Taisîr hal. 612
[8]  Lihat at-Taisîr hal. 612
[9]  Surat an-Nûr ayat 30-31
[10] HR. al-Bukhâri (5065) dan Muslim (1400) dari hadits Ibnu Mas`ûd.
[11]  Adhwâ-ul Bayân (6/218)
[12]  Ibid 217-218
[13]  at-Taisiir hal. 612
[14]  Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (12/220), Ahkâmul Qur`ân (3/295)
[15]  Hirâsatul Fadhîlah hal. 101
[16]  Ibid hal. 100
[17]  Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (12/218)
[18]  Nukilan dari al-Hiraasah 108

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah6 Nikah
  4. /
  5. Perintah Untuk Menikahkan Orang...