Al-‘Azl

Bab XVII ADAB-ADAB PERNIKAHAN

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

22. AL-‘AZL.
Mengenai masalah ‘azl ada dua pendapat masyhur dari para ulama, yaitu:

‘a. Azl itu dibolehkan.
Ia boleh mengeluarkan air maninya di luar (kemaluan) isterinya.
Arti ‘azl ialah mencabut setelah memasukkan (kemaluannya) untuk mengeluarkan mani di luar vagina.[1]

Mengenai hal ini terdapat sejumlah hadits, di antaranya:
Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir, ia menuturkan: “Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[2]

Kedua, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari juga dari Jabir, ia mengatakan: “Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan (ayat-ayat) al-Qur-an (masih) turun.”[3]

Ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri, ia mengatakan: “Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengatakan: ‘Aku mempunyai sahaya wanita, dan aku biasa melakukan ‘azl darinya, sedangkan aku menginginkan sesuatu seperti yang diinginkan laki-laki. Kaum Yahudi mengklaim bahwa ‘azl adalah penguburan kecil terhadap bayi hidup-hidup.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَذَبَتْ يَهُوْدٌ، لَوْ أَرَادَ اللهُ أَنْ يَخْلُقَهُ، لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ تَصْرِفَهُ.

Kaum Yahudi berdusta. Seandainya Allah berkehendak untuk menciptakannya, maka tidak mampu menolaknya.’”[4]

Keempat, hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Shahiihnya dari Jabir bahwa seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, “Aku mempunyai sahaya wanita, dia pelayan kami dan yang menyirami pohon kurma kami. Aku biasa menggaulinya, dan aku tidak suka jika dia hamil.” Maka, beliau menjawab: “Ber-’azllah darinya, jika engkau suka. Sebab, akan datang kepadanya apa yang telah ditentukan baginya.” Orang ini pun melakukannya. Beberapa waktu kemudian, dia datang kepada beliau seraya mengata-kan: “Sahaya wanitaku telah hamil.” Beliau mengatakan: “Aku telah mengabarkan kepadamu bahwa akan datang kepadanya apa yang telah ditentukan baginya.”[5]

Kelima, Muslim meriwayatkan dari Jabir, dia mengatakan: “Kami ber’azl pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu hal itu sampai (terdengar) kepada Nabi Allah n, dan beliau tidak melarang kami.”[6]

b. Yang terbaik adalah tidak melakukannya.[7]
Benar, dalam hadits-hadits yang terdahulu terkesan bahwa ‘azl dibolehkan, tetapi di sana terdapat hadits-hadits lainnya yang menunjukkan bahwa tidak ber’azl adalah lebih baik, di antaranya:

Pertama, menyelisihi perintah beliau yang tegas agar memperbanyak anak dan keturunan, sebagaimana dalam sabdanya:

تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مَكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ.

Nikahilah wanita yang belas kasih dan subur (banyak anak), sebab aku akan membangga-banggakan jumlah kalian pada umat-umat lainnya.”[8]

Kedua, jika sekiranya wanita tidak mengizinkan hal itu, maka hal ini memberikan kerugian padanya, yaitu tidak mendapatkan kenikmatan pada saat bersenggama.

Baca Juga  Larangan Hidup Membujang

Ketiga, jika dia ber’azl karena takut mengandung, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan hal itu sebagai اَلْوَأْدُ الْخَفِيُّ (penguburan tesembunyi terhadap bayi).[9] Al-Baihaqi mengatakan: “Larangan ini bersifat tanzih (makruh).”[10]

Tidak ada kontradiksi antara hadits ini dengan hadits Abu Sa’id terdahulu. Al-Hafizh telah mengkompromikan kedua hadits tersebut dalam al-Fat-h dengan pernyataannya: “Para ulama telah mengkompromikan antara pendustaan terhadap kaum Yahudi dalam pernyataan mereka: ‘Penguburan kecil bayi hidup-hidup’ dengan penetapan adanya ‘Penguburan tersembunyi terhadap bayi’ dalam hadits Judzamah. Yaitu, bahwa pernyataan mereka: ‘Penguburan kecil bayi hidup-hidup’ mengandung arti bahwa itu adalah penguburan bayi hidup-hidup secara nyata, tetapi itu kecil bila dibandingkan dengan mengubur bayi setelah dilahirkan dalam keadaan hidup. Ini tidak bertentangan dengan sabda beliau:

إِنَّ الْعَزْلَ وَأْدٌ خَفِيٌّ.

Sesungguhnya ‘azl adalah penguburan bayi secara tersembunyi.”

Sebab, hadits ini menunjukkan bahwa masalah ini tidak dalam hukum zhahir pada asalnya. Oleh karenanya tidak berlaku ketetapan hukum atasnya, tetapi hanya dinilai sebagai penguburan hidup-hidup dari aspek kesamaan keduanya dalam hal memutuskan kelahiran.[11]

Keempat, apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri, ia mengatakan: “Kami mendapatkan tawanan wanita, lalu kami melakukan ‘azl, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menjawab:

أَوَ إِنَّكُمْ لَتَفْعَلُوْنَ؟ -قَـالَهَا ثَلاَثًا- مَا مِنْ نَسْمَةٍ كَائِنَةٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلاَّ هِيَ كَائِنَةٌ.

Apakah kalian benar-benar melakukannya? -beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. Tidak ada satu jiwa pun yang ada hingga hari Kiamat melainkan dia tetap ada.”[12]

Mengenai syarah hadits ini, al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Riwayat Mujahid berikut ini dalam kitab at-Tauhiid disampaikan secara mu’allaq, tetapi disambungkan oleh Muslim dan selainnya, tentang disebutkannya ‘azl kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: ‘Mengapa salah seorang dari kalian melakukan demikian?’ Beliau tidak menyatakan: ‘Jangan lakukan demikian.’ Ini mengisyaratkan bahwa beliau tidak melarang secara tegas kepada mereka, tetapi hanya mengisyaratkan bahwa yang terbaik adalah tidak melakukannya. Karena ‘azl dilakukan hanyalah karena khawatir memperoleh anak, padahal perbuatan ini tidak ada gunanya. Karena jika Allah telah menciptakan anak, maka ‘azl tidak dapat menghalanginya. Adakalanya ‘air’ lebih dulu masuk dan tidak disadari oleh orang yang melakukan ‘azl, sehingga terbentuklah segumpal darah lalu menjadi janin.[13]

Demikianlah, dan tiga madzhab bersepakat bahwa suami tidak boleh melakukan ‘azl terhadap isterinya (yang merdeka, bukan hamba sahaya) kecuali dengan seizinnya. Sedangkan terhadap hamba sahaya boleh melakukan ‘azl terhadapnya tanpa seizinnya.[14]

Telah shahih dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shahih, bahwa dia mengatakan: “Wanita merdeka diminta izinnya untuk melakukan ‘azl dan hamba sahaya tidak diminta izinnya.”[15]

Baca Juga  Poligami

Syaikh al-Albani mengomentari hadits-hadits dan pendapat-pendapat tersebut: “Menurut saya, isyarat ini hanyalah dengan memperhatikan ‘azl yang dikenal pada waktu itu. Adapun pada masa sekarang telah ditemukan sejumlah sarana yang dengannya seorang pria dapat mencegah air mani masuk ke dalam rahim isterinya secara pasti. Jadi, ketika itu hadits ini dan yang semakna dengannya tidak mensinyalirnya, bahkan yang mensinyalirnya adalah apa yang disebutkan dalam dua perkara terdahulu -yaitu hadits tentang penguburan tersembunyi dan menyelisihi perintah agar memperbanyak keturunan-. Oleh karena itu, camkanlah!

Yang pasti, hal yang makruh menurut saya, -bila tidak diiringi kedua perkara tadi atau salah satunya- adalah hal lain, yakni yang merupakan tujuan kaum kafir dalam melakukan ‘azl. Misalnya, takut miskin karena banyak anak, atau berat untuk memberi nafkah dan mendidik mereka. Dalam keadaan demikian, maka yang makruh terangkat menjadi haram, karena niat orang yang melakukan ‘azl bertemu dengan kaum kafir yang membunuh anak-anak mereka karena takut miskin dan fakir. Lain halnya bila wanita (isteri) sedang sakit…[16]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1] Fat-hul Baari (IX/305).
[2] HR. Al-Bukhari (no. 5207) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1440) kitab an-Nikaah
[3] HR. Al-Bukhari (no. 5209) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1440) kitab an-Nikaah
[4] HR. At-Tirmidzi (no. 1136), Abu Dawud (no. 2173) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 11110), dengan sanad yang shahih
[5] HR. Muslim (no. 1439) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2173) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 89), kitab al-Muqaddimah, Ahmad (no. 13936).
[6] Telah ditakhrij sebelumnya
[7] Ini pendapat al-Hafizh dalam Fat-hul Baari (IX/306).
[8] HR. An-Nasa-i (no. 3227) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2050) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1846) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 12202), dan di-hasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1811).
[9] HR. Muslim (no. 1442) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 2011) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 26496).
[10] Disebutkan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/309).
[11] Fat-hul Baari (IX/309).
[12] HR. Al-Bukhari (no. 5210) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1438) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1138) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1926) kitab an-Nikaah.
[13] Dinyatakan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/307).
[14] Dinyatakan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/308).
[15] Dinyatakan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/308).
[16] Aadaabuz Zifaaf, Syaikh al-Albani (hal. 136).