Ilmu Nujum (Ilmu Perbintangan)
Kelima puluh sembilan:
ILMU NUJUM (ILMU PERBINTAGAN)[1]
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas
Munajjim (ahli nujum) juga termasuk dalam kategori peramal menurut apa yang diistilahkan oleh sebagian ulama[2]. Di dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih Muslim, dari hadits Zaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengimami kami shalat Shubuh di Hudaibiyyah setelah semalamnya turun hujan. Ketika usai shalat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbalik menghadap kepada para Sahabat Radhiyallahu anhum lantas bersabda: ‘Tahukah kalian apa yang difirmankan Rabb-mu?’ Para Sahabat Radhiyallahu anhum menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Di kala pagi ini, di antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir.’ Adapun orang yang mengatakan: ‘Telah turun hujan kepada kita berkat karunia dan rahmat Allah’, ia telah beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Sedangkan orang-orang yang berkata: ‘Telah turun hujan kepada kita karena bintang ini atau bintang itu,’ maka ia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.”[3]
Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H) rahimahullah berkata di dalam kitab Shahiih-nya: Qatadah berkata: “Allah menciptakan bintang-bintang ini untuk tiga hal:
- Sebagai penghias langit.
- Sebagai pelempar syaithan.
- Sebagai tanda bagi orang untuk mengenal arah.
Maka, barangsiapa menafsirkan selain dari itu, ia telah salah dan menyia-nyiakan bagiannya dan memaksakan diri dalam se-suatu yang ia tidak mengetahuinya.”[4]
Ilmu Nujum ada dua macam:[5]
Pertama: ‘Ilmu at-Ta’tsiir, yaitu ilmu nujum yang meyakini bahwa bintang-bintang mempunyai pengaruh terhadap keadaan alam semesta. Ilmu ini termasuk syirik dan bukan ilmu yang ber-manfaat. Penjelasan yang lainnya tentang definisi ilmu at-Ta’tsiir yaitu menjadikan keadaan bintang, planet dan benda angkasa lainnya sebagai dasar penentuan berbagai peristiwa di bumi, baik sebagai sesuatu yang berpengaruh mutlak maupun hanya sebagai isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa bumi. Jika dia percaya bahwa keadaan itu adalah faktor yang berpengaruh mutlak atas peristiwa-peristiwa bumi -dengan tidak membedakan, baik karena kekuatan internalnya maupun karena izin Allah- maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkatan syirik besar dan telah keluar dari Islam. Tetapi jika ia percaya bahwa keadaan itu hanya merupakan isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa bumi, maka ia dinyatakan sebagai musyrik dengan tingkatan syirik kecil yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid. Perbintangan tidak berpengaruh terhadap peristiwa-peristiwa yang ada di bumi. Anggapan tentang perbintangan berpengaruh terhadap peristiwa-peristiwa di bumi adalah termasuk berkata sesuatu atas Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُوْمِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ.
“Barangsiapa mempelajari satu cabang dari ilmu nujum, maka sesungguhnya ia telah mengambil satu bagian dari ilmu sihir, semakin bertambah (ilmu yang dia pelajari ), semakin ber-tambah pula (dosanya).”[6]
Kedua: ‘Ilmu at-Tas-yiir, yaitu ilmu nujum yang tujuannya untuk memudahkan arah tujuan dalam perjalanan dan kemaslahatan agama. Penjelasan yang lainnya tentang definisi ilmu at-Tas-yiir yaitu menjadikan keadaan bintang dan benda angkasa sebagai petunjuk penentuan arah mata angin dan letak geografis suatu negara dan semacamnya. Jenis ini dibolehkan dalam Islam. Dari sinilah munculnya Hisab Takwim (penanggalan), pengetahuan tentang akhir musim dingin dan panas, waktu-waktu pembuahan (tumbuhan dan hewan), kondisi cuaca, hujan, penyebaran wabah penyakit dan semacamnya.[7] [8]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Ilmu nujum ini termasuk sesuatu yang dapat menafikan Tauhid dan menjerumus-kan pelakunya kepada kemusyrikan, karena orang itu menyandarkan suatu kejadian kepada selain Allah.
[2] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Tanjim adalah meramal kejadian-kejadian di bumi berdasarkan petunjuk keadaan bintang.” Lihat Majmuu’ Fataawaa (XXXV/192) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (bab XXVII: Maa Jaa-a fit Tanjiim).
[3] HR. Al-Bukhari (no. 846, 1038, 4147) dan Muslim (no. 71).
[4] HR. Al-Bukhari dalam Fat-hul Baari (VI/295). Diriwayatkan juga oleh ‘Abdur-razzaq, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir serta yang lainnya. Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (Bab 28: Ma Jaa fit Tanjim, hal. 361-362), tahqiq Dr. Al-Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Furraiyan.
[5] Lihat keterangan lebih lengkap dalam Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 21-22) oleh Ibnu Rajab al-Hanbaly, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halaby, al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 146-147), dan al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid (II/5) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
[6] HR. Abu Dawud (no. 3905), Ibnu Majah (no. 3726), Ahmad (I/227, 311), al-Baihaqi (VIII/138-139) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas c. Hadits ini dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dalam Riyaadhus Shaalihiin (no. 1671) dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu’ Fataawaa (XXXV/193).
[7] Lihat al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid (II/5-7) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dan al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 146-147).
[8] Dan yang terakhir ini dilandaskan kepada analisis ilmiah Badan Meteorologi dan Geofisika melalui pengamatan langsung dengan peralatan modern terhadap gejala-gejala alam seperti pertukaran panas, dingin, angin, hujan dan sebagainya. Bukan dengan fenomena bintang, sehingga diperbolehkan.-ed
- Home
- /
- A3. Aqidah Ahlus Sunnah...
- /
- Ilmu Nujum (Ilmu Perbintangan)