Iman Kepada Qadar Menafikan Kehendak Hamba?
APAKAH IMAN KEPADA QADAR MENAFIKAN KEHENDAK HAMBA DALAM BERBAGAI PEBUATAN YANG DAPAT DIPILIHNYA?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Iman kepada qadar -sebagaimana yang telah disinggung- tidak menafikan keadaan hamba dalam memiliki kehendak pada perbuatan-perbuatan yang dipilihnya dan mempunyai kuasa terhadapnya. Hal itu ditunjukkan oleh syari’at dan fakta.
Dalam syar’at, dalil-dalil mengenai hal itu sangat banyak sekali, di antaranya firman Allah Ta’ala.
فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِ مَآبًا
“.. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabb-nya.” [An-Naba’/78: 39]
Juga firman-Nya yang lain.
فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ
“.. Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki..” [Al-Baqarah/2 : 223]
Juga firman-Nya.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”[Al-Baqarah/2 : 286]
Dan firman-Nya.
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu…” [Ali ‘Imran/3 : 133]
Serta firman-Nya.
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
“..Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…”. [Al-Kahfi/18 : 29]
Sedangkan berdasarkan fakta, maka setiap manusia mengetahui bahwa dia mempunyai kehendak dan kemampuan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, serta mampu membedakan antara apa yang terjadi dengan kehendaknya, seperti berjalan, dan apa yang terjadi dengan selain kehendaknya, seperti gemetar.[1]
Tetapi kehendak dan kemampuannya terjadi karena kehendak dan kekuasaan Allah, berdasarkan firman-Nya.
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“(Yaitu) bagi siapa di antaramu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam“. [At-Takwiir/81: 28-29]
Penjelasannya, adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-‘Allamah Ibnu Sa’di rahimahullah. “Jika seorang hamba shalat, berpuasa, beramal kebaikan, atau melakukan sesuatu dari kemaksiatan, maka dialah yang melakukan amal yang shalih dan amal yang buruk tersebut.
Perbuatannya tersebut, tanpa diragukan lagi, terjadi dengan kesadarannya, dan ia merasa bahwa ia tidak dipaksa untuk melakukan atau meninggalkan. Sekiranya ia suka, niscaya ia tidak melakukannya.
Sebagaimana hal tersebut adalah kenyataan, maka hal itu pula yang dinashkan Allah dalam kitab-Nya dan dinashkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana nash tersebut menisbatkan amal yang shalih dan amal yang buruk kepada para hamba serta mengabarkan bahwa merekalah yang melakukannya. Mereka dipuji atas perbuatannya, jika terkait dengan amal shalih, serta diberi pahala, dan mereka dicela, jika yang dilakukan adalah keburukan, serta diberi sanksi atas perbuatan buruk tersebut.
Dengan ini jelaslah bahwa perbuatan itu terjadi dari mereka dan dengan kesadaran mereka. Jika suka, mereka bisa melakukannya, dan jika suka, mereka bisa meninggalkannya. Perkara ini nyata secara akal, inderawi, syari’at, dan bisa disaksikan.
Kendati demikian, jika anda ingin tahu bahwa perbuatan ini -meskipun memang demikian keadaannya- terjadi dari mereka, bagaimana hal itu termasuk dalam kategori takdir? Dan bagaimana hal itu masuk dalam cakupan masyii-ah? Dan ditanyakan pula: Dengan apakah perbuatan-perbuatan yang baik dan yang buruk yang berasal dari hamba itu terjadi? Jawabannya: Dengan kemampuan dan kehendak mereka.
(Allah) Yang menciptakan sesuatu (sarana) yang dengannya perbuatan itu terlaksana, Dia-lah juga Yang menciptakan berbagai perbuatan. Inilah yang bisa menjelaskan permasalahan (problem), dan hamba pun bisa memahami dengan hatinya tentang kesatuan (antara) qadar, qadha’, dan ikhtiar (usaha).
Kendati demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menolong kaum mukminin dengan berbagai sebab, kelembutan, bantuan yang bermacam-macam, dan memalingkan berbagai rintangan dari mereka. Sebagai-mana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ، فَيُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ
“.. Adapun orang-orang yang termasuk orang-orang yang berbahagia, maka mereka dimudahkan untuk beramal dengan amalan orang-orang yang berbahagia..” [2]
Demikian pula, Dia meninggalkan kaum yang fasik dan menyerahkan mereka kepada diri mereka sendiri, karena mereka tidak beriman dan bertawakkal kepada-Nya, maka Allah serahkan mereka pada apa yang mereka pilih bagi diri mereka sendiri”. [3]
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat, Minhaajus Sunnah, Ibnu Taimiyyah, (III/109-112), at-Tibyaan fii Aqsaamil Qur-aan, Ibnul Qayyim, hal. 45, 166-169. Lihat pula, Rasaa-il fil ‘Aqiidah, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 37-38, dan al-Qadhaa’ wal Qadar, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 15-17.
[2]. HR. Muslim, kitab al-Qadr, (no. 2647).
[3]. At-Tanbiihaat al-Lathiifah, hal. 82-83. Lihat juga, Lum’atul I’tiqaad, Ibnu Qudamah, hal. 22, Syarh al-Waasithiyyah, al-Harras, hal. 228, dan Shiyaanatul Insaan ‘an Waswasah asy-Syaithaan, Syaikh Dahlan, Syaikh Muhammad Basyir as-Sahsawani al-Hindi, hal. 239-243.
- Home
- /
- A4. Buah Keimanan Kepada...
- /
- Iman Kepada Qadar Menafikan...