Sahkah Shalat di Belakang Orang yang Mengaku Tasawuf?

MEMBONGKAR TASAWUF. SAHKAH SHALAT DI BELAKANG ORANG YANG MENGAKU TASAWUF?

Pertanyaan
Imam masjid di daerah kami mengisahkan tentang seorang yang saleh. Dia berkata bahwa ibu dari orang saleh tersebut memakan asinan sayur saat mengandungnya tanpa seizing orang yang punya asinan tersebut. Setelah sang anak sudah dewasa, maka orang saleh tersebut memperhatikan bahwa shalatnya tidak diterima (dia dapat menilai seperti itu karena telah tersingkap tabir baginya). Lalu ketika itu, sang ibu memberitahunya tentang masalah asinan sayur tersebut. Maka orang saleh tersebut yakin bahwa itulah yang menjadi sebab shalatnya tidak diterima.

Saya tidak tahu, apakah makna kasyf (tersingkapnya tabir). Apakah maknanya bahwa orang tersebut dapat mengetahui berbagai hal atas pertolongan Allah Taala, seperti misalnya dia mengetahui bahwa kedua orang tuanya di neraka misalnya? Apa hukum shalat di belakang imam yang percaya adanya kasyf tersebut? Apakah asalnya boleh shalat di belakangnya? Apakah kasyf mungkin terjadi pada orang saleh?

Jawaban
Alhamdulillah.

Allah Taala boleh jadi memberikan kelebihan pada sebagian manusia terhadap perkara-perkara yang tidak dapat diketahui orang lain. Sebab hal itu, mungkin dapat kita simpulkan dalam dua bentuk.

Pertama : Sebab-sebab syar’i, terkandung dalam:

  1. Kitab-kitab yang diturunkan dan sabda para nabi. Tapi sebagian besarnya telah mengalami manipulasi. Tidak ada yang masih utuh dan benar kecuali Al-Quranul Karim dan sunah nabi yang sahih.
  2. Ilham. Yaitu seseorang mendapatkan ilham melalui hatinya atau mendengar ada suara yang berbicara kepadanya.
  3. Mimpi yang berasal dari Allah.

Kedua : Sebab-sebab yang sumbernya dari setan. Terkandung dalam;

  1. Jiwa yang jahat yang meminta tolong dari jin dan setan, seperti para penyihir, dukun dan peramal.
  2. Mimpi-mimpi yang bersumber dari setan.
  3. Hembusan dan bisikan setan dalam kondisi sadar.

Hal tersebut karena setan boleh jadi mendengar sebagian apa yang dibicarakan para malaikat di langit atas perintah-perintah Allah Taala yang akan dilakukan, lalu mereka sampaikan berita itu kepada pengikutnya dari kalangan manusia. Maka hal inilah yang dimaksud dalam firman Allah Taala,

وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعْ الآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَاباً رَصَداً (سورة  الجن: 9)

Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).”[Jin/72 : 9]

Kadang dia keburu ditimpuk bintang sebelum mendapatkannya, tapi kadang baru ditimpuk setelah dia mendapatkannya.

Semua itu mungkin saja disebut dengan istilah ‘kasyf’. Karena makna kasyf adalah dapat mengetahui apa yang terdapat dibalik tabir, berupa hal-hal gaib dan perkara-perkara tersembunyi, baik secara eksistensi atau penampakan.” [Al-Mausu’ah Al-Aqadiah, website Ad-Durar As-Saniah, 1/114]

Siapa yang diperlihatkan kepadanya perkara-perkara gaib melalui sebab syar’i, maka tidak ada dosa baginya, minimal, atau bahkan dia mendapatkan pahala dan kemuliaan. Adapun orang yang mengetahui perkara gaib dari pintu-pintu kesesatan dan cara-cara setan, maka sungguh dia berada dalam bahaya dan bercampur antara dosa dan kekufuran.

Kasyf ala sufi yang berkembang di masa belakangan dan banyak diklaim oleh para penganut tasawuf generasi belakangan maknanya menurut mereka adalah disingkapnya tirai di hadapan hati sang sufi dan penglihatannya agar dia mengetahui apa yang terdapat di langit dan di bumi semuanya.” [Al-Fikru Ash-Shufi Fi Dhau’i Al-Kitab Wa As-Sunah, Abdurrahman Abdul Khaliq, 1/146]

Hal seperti ini tidak boleh diyakini oleh seorang muslim, karena maknanya adalah sang sufi tersebut dapat mengetahui perkara gaib secara mutlak, tidak ada yang tersembunyi baginya sedikitpun. Padahal, hal seperti ini merupakan kekhususan Allah Taala, tidak ada seorang pun dari makluk yang menyekutuiNya.

Baca Juga  Fatawa Ulama Ahlus Sunnah Tentang Hukum Nyanyian Sufi dan Nasyid Islami

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Muyassarah Lil Adyan Wal Mazahib Al-Mu’ashirah (1/261-262), “Kalangan sufi berpedoman kepada kasyf sebagai sumber kuat bagi ilmu dan pengetahuan, bahkan itu merupakan wujud dari tujuan ibadah mereka. Termasuk dalam kasyf ala sufi beberapa perkara dalam urusan syariat dan fenomena alam:

  1. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, mereka mendatanginya dengan tujuan untuk mengambil ilmu darinya dalam keadaan terjaga atau mimpi.
  2. Khidhr Alaihissalam; Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa mereka (kaum sufi) telah berjumpa dengannya, lalu mengambil darinya hukum-hukum syariat dan ilmu-ilmu agama, juga wirid, zikir dan manaqib.
  3. Ilham, apakah dari Allah langsung.
  4. Firasat, yang khusus mengetahui kehendak dan pembicaraan hati.
  5. Bisikan-bisikan; Mendengar bisikan dari Allah Taala Taala, dari Malaikat, jin saleh, atau dari salah seorang wali, atau Khidhr atau Iblis, apakah melalui mimpi, terjaga atau di antara keduanya melalui perangkat telinga.
  6. Isra’at dan Ma’aarij. Maksudnya, naiknya ruh sang wali ke alam eksotis dan melakukan perjalanan di sana, lalu kembali membawa berbagai ilmu dan rahasia.
  7. Al-Kasyful Hissi (Penyingkapan materi). Yaitu tersingkapnya hakikat wujud dengan diangkatnya tirai materi di hadapan mata hati dan penglihatan.
  8. Mimpi. Ini merupakan sumber yang paling banyak dijadikan patokan, mereka mengklaim bahwa mereka menerimanya dari Allah Taala atau dari Nabi shallalalhu alaihi wa sallam atau dari salah seorang guru mereka untuk mengetahui hukum-hukum syariat.”

Kasyf ala sufi ini sebagaimana tampak dapat mengandung yang haq atau batil. Jika demikian halnya, maka tidak dapat diterima sebelum dipilah. Yang haq diterima dan yang batil ditolak.

Pada awalnya, generasi awal kaum sufi tidak menerima adanya kasyf ilmi, selera, perasaan kecuali sesuai dengan Al-Quran dan Sunah.

Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Kadang saya merasakan dalam hati saya  bisikan jika dalam beberapa hari, maka saya tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi yang adil; Al-Quran dan Sunah.” [Thabaqat Ash-Shufi, Assilmi, 1/76]

Membedakannya mana yang haq dan mana yang batil, dapat dilakukan dengan salah satu dari dua perkara;

Pertama, keadaan orang yang mengaku kasyf. Karena orang laki-laki saleh, termasuk juga perempuan, adalah orang yang mendapatkan kasyf yang bersumber dari Allah, adalah orang yang sesat, maka kasyf-nya bersumber dari setan.

Allah Taala berfirman,

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ (سورة الشعراء: 221-223)

Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan- syaitan itu turun?. Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.”[Asy-Syu’ara/26: 221-223]

Ketiga ; Konten kasyf, apakah dia bertentangan dengan Al-Quran dan Sunah sehingga harus ditolak? Ataukah dia sesuai dengan keduanya sehingga dapat diterima? Ataukah tidak bertentangan tapi juga tidak sesuai, sehingga dia termasuk berita dunia yang benar saja dan ilmu yang lurus dan tidak terkait dengan ketaatan atau permusuhan kepada Allah.

Ucapan penanya; “Orang saleh itu menilai bahwa shalatnya tidak diterima.” Hal ini tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan Al-Quranul Karim, karena Allah Taala berfirman,

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى .. سورة الأنعام: 164

Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” [ Al-An’am/6 : 164].

Bagaimana seseorang dihukum oleh sebab dosa yang tidak dia lakukan, akan tetapi yang dilakukan ibunya saat dia mengandungnya?!

Maka hal ini termasuk perkara yang telah dibicarakan sebelumnya, yaitu bentuk kasyf yang bertentangan dengan Al-Quran dan Sunah, maka dia tertolak tidak boleh diterima. Dan kami pastikan bahwa perkara ini bukan dari Allah Taala.

Adapun ucapan penanya, “Seperti orang yang mengetahui bahwa kedua orang tuanya di neraka, misalnya.”

Jawab : “Perkara semacam ini tidak menjadi ilmu bagi orang awam, kecuali berdasarkan berita dari Allah dan RasulNya yang wajib dibenarkan. Sebagaimana riwayat tentang sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga, atau selain mereka yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa mereka adalah ahli surga. Atau orang-orang yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai ahli neraka. Ilmu semacam ini harus dibenarkan orang yang menyampaikannya dan dipersaksikan.

Baca Juga  Abu Manshur Al Maturidi dan Aliran Maturidiyah

Adapun orang selain mereka, misalnya dari para ulama yang khusus, maka kaidah dasarnya adalah bahwa perkara semacam ini adalah perkara gaib yang diketahui tidak dapat terjadi pada seseorang. Kalaupun ditakdirkan bahwa seseorang merasa dalam hatinya mengetahui semacam hal tersebut, maka hal semacam ini tidak boleh dijadikan sebagai saksi atas kandungannya dan tidak boleh dipastikan tentang kebenaran beritanya. Akan tetapi dia masuk dalam bab persangkaan, yang bisa benar bisa salah.

Katakanlah ada seseorang yang berkata bahwa dia mengaku mengetahui perkara semacam itu dan mengabarkannya. Maka tidak boleh ada seorang pun membenarkannya ucapannya dan menyakini isi beritanya, juga menyampaikannya kepada orang lain.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata,  “Siapa yang telah jelas kedudukanya sebagai orang bertakwa berdasarkan nash dan bahwa dia merupakan ahli surga, seperti sepuluh orang sahabat tersebut dan lainnnya, maka ahlussunah umumnya telah bersaksi sebagaimana persaksian berdasarkan nash tersebut. Adapun orang yang sudah dikenal sebagai bahan pembicaraan di tengah umat yaitu mereka sepakat memberikan pujian kepadanya, apakah orang itu dapat dipersaksikan (ketakwaannya)? Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara ahli sunah. Yang lebih dekat (pada kebenaran) bahwa oleh tersebut boleh dipersaksikan (ketakawaannya), namun hal ini dalam perkara umum.

Adapun “orang-orang khusus” boleh jadi mereka mengetahui perkara-perkara yang akan tidak wajib dibenarkan secara umum. Karena banyak mereka yang mengira bahwa dia telah mendapatkan ketersingkapan tersebut (kasyf) dia mesih menganggapnya sebagai persangkaan, dan persangkaan sedikitpun tidak mendatangkan yang haq. Orang-orang yang mendapatkan kasyf dan bisikan, kadang benar, kadang keliru, sebagaimana halnya orang-orang yang menggali dalil dalam masalah ijtihad. Karena itu, wajib bagi mereka semuanya, berpedoman kepada Al-Quran dan Sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menimbang perasaan, penglihatan dan pandangan-pandangan mereka berdasarkan Al-Quran dan Sunah Rasul-Nya, tidak cukup dengan sekedar itu semua. Karena tokoh orang yang mendapatkan bisikan dan ilham dari umat ini, yaitu Umar bin Khatab, juga mengalami pengalaman-pengalaman pribadi namun ditolak oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam atau oleh sahabat dekatnya yang jujur, yaitu Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallahu anhu, orang yang mengikutinya dan mengambil ilmu darinya. Dan beliau (Raslullah shallallahu alaihi wa sallam) lebih sempurna orang yang mendapatkan bisikan, karena hatinya mendapatkan riwayat dari Tuhannya. Karena itu, wajib bagi seluruh makhluk untuk mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Majmu Fatawa, 11/65)

Ucapan penanya; “Hukum shalat di belakang imam yang percaya dengan masalah kasyf.

Jawab : Jika sang imam mengklaim mengetahui perkara gaib secara mutlak, atau mengaitkan hal itu (mengetahui perkara gaib) kepada selain Allah atau dia pergi ke dukun dan tukang ramal dan membenarkannya, atau meminta tolong dari setan untuk mengetahui perkara gaib, maka tidak boleh shalat di belakangnya, karena perbuatan itu termasuk kufur, sehingga tidak boleh shalat di belakang orang kafir.

Tapi jika sekedar dusta dan perkiraan, maka hendaknya orang itu dijauhi dari kedudukan semisal imam, hendaknya tidak shalat di belakangnya. Khususnya jika shalat jamaah dapat dilakukan di belakang imam yang lebih utama darinya.

Disalin dari islamqa

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah3 Shalat...
  4. /
  5. Sahkah Shalat di Belakang...