Hukum Memutus Shalat Saat Terjadi Gempa atau Kebakaran
HUKUM MEMUTUS SHALAT SAAT TERJADI GEMPA ATAU KEBAKARAN, DAN BAGAIMANA HUKUMNYA JIKA MELANJUTKAN SHALATNYA LALU MENINGGAL DUNIA?
Pertanyaan
Bagaimanakah hukumnya jika terjadi musibah saat seseorang sedang shalat dan tidak menghentikan shalatnya sebagai tebusan baginya, contoh: jika terjadi gempa saat shalat di masjid, banyak orang berlarian dan sebagian lainnya tetap tinggal diam, imamnya tidak mengakhiri shalatnya lalu atap masjid menimpa mereka dan mereka semua meninggal dunia. Barang siapa yang meninggal dunia disebabkan karena mereka tidak mengakhiri shalat saat terjadinya gempa bumi, apakah mereka sebagai orang mati syahid atau termasuk orang bunuh diri ?
Jawaban
Alhamdulillah.
Barang siapa yang di tengah shalatnya terjadi musibah, seperti; gempa bumi atau kebakaran dan besar kemungkinannya ia akan terkena musibah tersebut, dan jika ia keluar dari shalatnya akan selamat, maka ia wajib lari keluar dan mendekat pada keselamatan, lalu kemudian ia menyempurnakan shalatnya, atau menghentikan shalatnya karena kejadian tersebut, dan tidak boleh ia tetap tinggal di tempat itu sementara ia mengira ia akan binasa, kalau tidak maka ia melemparkan dirinya kepada kebinasaan, seperti halnya juga ia wajib menghentikan shalatnya untuk menyelamatkan orang lain dari kebinasaan, seperti; orang tenggelam atau kebakaran atau orang jatuh ke dalam sumur.
Yang menjadi dasar dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala:
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. [Al Baqarah/2:195]
Dan Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
لَا ضَرَرَ وَلا ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (untuk orang lain)”. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah: 2341 dan telah ditashih oleh Albani di dalam Shahih Ibnu Majah]
Telah disebutkan di dalam Kasyfu Al Qana’ (1/380):
“Dan diwajibkan untuk mencegah orang kafir yang ma’shum (jiwa yang dilindungi) karena sebagai kafir dzimmi, perjanjian damai atau karena berada di dalam jaminannya dari (jatuhnya) ke sumur atau yang lainnya, seperti ular yang akan mematuknya, sama dengan mencegah seorang muslim dari semua hal itu, karena ada kesamaan dari sisi sama-sama dilindungi.
Dan diwajibkan untuk menyelamatkan orang yang tenggelam dan yang serupa dengannya, seperti kebakaran, maka hendaknya ia menghentikan shalatnya disebabkan kejadian tersebut, baik saat shalat fardhu maupun shalat sunnah, dan secara dzahir meskipun waktunya sempit; karena ia masih bisa mengejarnya dengan cara mengqadha’, berbeda dengan orang yang tenggelam dan yang serupa dengannya.
Jika ia masih enggan untuk menghentikan shalatnya untuk menyelamatkan orang tergelam dan yang serupa dengannya, maka ia berdosa namun shalatnya tetap sah, seperti shalat dengan penutup kepala dari bahan sutera”.
Ibnu Rajab Al Hambali –rahimahullah- berkata:
“Qatadah berkata: “jika pakaiannya telah dicuri lalu ia mengikuti pencurinya dan ia pun meninggalkan shalatnya”.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan di dalam kitabnya dari Mu’ammar dari Hasan dari Qatadah terkait seorang laki-laki yang saat mendirikan shalat, binatang tunggannya pergi atau diserang oleh binatang buas ?, keduanya menjawab: “Ia (boleh) memutus shalatnya”.
Dan dari Mu’ammar dari Qatadah berkata:
“Saya telah bertanya kepadanya, saya katakan: “Ada seorang laki-laki sedang shalat, lalu ia melihat seorang bayi dipinggir sumur, ia merasa khawatir bahwa bayi itu akan jatuh ke dalamnya, apakah ia boleh memutus (dari shalatnya) ?”, dia berkata: “Ya”, saya katakan: “lalu ia melihat seorang pencuri yang ingin mengambil kedua sandalnya ?”, ia menjawab: ya memutus (shalatnya).
Dan madzhabnya Sufyan: “Jika tiba-tiba terjadi sesuatu yang janggal, sementara seseorang sedang berada di dalam shalat, maka ia pun (boleh) memutus (shalatnya)”, diriwayatkan terkait hal ini dari Mu’afa.
Demikian juga jika ia mengkhawatirkan ternak dan tunggangannya lepas.
Dan Madzhabnya Malik:
“Bagi orang yang binatang tunggangannya lepas, sementara ia dalam keadaan shalat, maka ia berjalan mendekatinya jika tunggangannya tersebut berada di hadapannya, atau ke sebelah kanan atau ke kiri, dan jika berada jauh dari jangkauannya maka ia mencarinya dan menghentikan shalatnya”.
Dan madzhab sahabat-sahabat kami:
“Jika ia melihat orang yang tenggelam atau terbakar, atau kedua anak yang sedang berperang, atau yang serupa dengannya, sementara ia mampu untuk menyelamatkannya, maka ia menghentikan shalatnya dan menyelamatkannya”.
Di antara mereka ada yang membatasinya pada shalat sunnah, dan yang benar adalah mencakup pada shalat wajib dan yang lainnya.
Ahmad –juga- berkata:
“Jika ia melihat seorang anak jatuh ke dalam sumur, maka ia menghentikan shalatnya dan menolongnya”.
Sebagian sahabat-sahabat kami berkata:
“Ia menghentikan shalatnya jika membutuhkan banyak pekerjaan untuk menolongnya, jika pekerjaan tersebut sederhana tidak perlu membatalkan shalatnya”.
Demikian juga perkataan Abu Bakar terkait dengan orang yang keluar (dari shalat) meyusul orang yang berutang dan lalu ia kembali dan memulai shalatnya lagi”.
Al Qadhi membawanya bahwa hal itu sederhana.
Kemungkinan dikatakan:
“Ia menghawatirkan hartanya, maka perbuatannya dimaafkan meskipun dalam jumlah banyak”. [Fathul Baari / Ibnu Rajab: 9/336-337]
Kesimpulan.
Tidak dibolehkan bagi yang menghawatirkan kematian pada diri atau pada jiwa yang terlindungi yang memungkinkan untuk ditolong, untuk melanjutkan shalatnya, jika tetap melanjutkan maka ia berdosa, dan jika ia meninggal dunia atau terkena musibah itu, maka ia tergolong orang yang menceburkan dirinya kepada kebinasaan.
Wallahu A’lam
Disalin dari islamqa
- Home
- /
- A7. Hikmah Dibalik Musibah
- /
- Hukum Memutus Shalat Saat...