Sebelas Rambu Bagi Seorang Pemimpin
SEBELAS RAMBU BAGI SEORANG PEMIMPIN
Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
Pertama. Niat Ikhlas.
Seorang pemimpin dalam memegang jabatannya itu harus diniatkan semata-mata hanya untuk menegakkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia akan memperoleh yang dijanjikan Allah kepadanya, jika melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan baik. Karena setiap amal tergantung niat pelakunya, dan keberhasilan seorang pemimpin tergantung kepada niatnya dalam memegang kepemimpinan itu; apakah untuk memperkaya diri atau semata-mata Lillahi Ta’ala.
Kedua. Pemimpin Harus dari Kaum Laki-Laki.
Seorang wanita tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, baik untuk komunitas tertentu, skala kecil, apalagi untuk masyarakat yang lebih luas. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوا أَمْرَهُمْ اِمْرَأََةٌ.
Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang wanita.[1]
Salah satu hikmahnya, karena wanita memiliki beberapa kelemahan dan kondisi yang dapat menghalanginya untuk melaksanakan tugas. Wanita memiliki akal dan fisik yang lemah, serta tidak terlepas dari kondisi tertentu, misalnya haidh, nifas, melahirkan, menyusui, dan lain-lain.
Ketiga. Tidak Meminta Jabatan.
Secara syar’i, meminta jabatan adalah dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Seseorang yang menginginkan suatu jabatan dan berusaha dengan sungguh untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan terhormat dalam pemerintahan, kemungkinan besar ia akan mengorbankan agamanya demi mencapai keinginannya itu. Dia pun rela melakukan apa saja, meskipun merupakan perbuatan maksiat demi mendapatkan atau untuk mempertahankan kedudukan yang telah ia raih. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita meminta jabatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, betapa berat tanggung-jawab jabatan tersebut pada hari Kiamat nanti. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ.
Kalian selalu berambisi untuk menjadi penguasa, padahal akan membuat kalian menyesal pada hari Kiamat kelak. Sungguh hal itu (ibarat) sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan.[2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar Radhiyallahu anhu akan bahayanya memegang sebuah jabatan pemerintahan serta berat dan besarnya tanggung jawab yang akan dipikul. Beliau bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ.
Ya Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku suka engkau mendapatkan sesuatu yang aku sendiri menyukainya. Janganlah engkau memimpin dua orang dan janganlah engkau mengurus harta anak yatim.[3]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada ‘Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu anhu:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بن سمرة لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا. وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ.
Ya ‘Abdur-Rahmân, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan. Apabila jabatan itu diberikan kepadamu dikarenakan engkau memintanya, maka jabatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun apabila jabatan itu diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam mengembannya. Jika engkau bersumpah atas suatu perkara, setelah itu engkau melihat ada yang lebih baik dari sumpahmu, maka tunaikan kafaratnya dan lakukan apa yang lebih baik.[4]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menolak pemintaan salah seorang sahabat yang datang meminta agar diberi sebuah jabatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّا- والله- لَا نُوَلِّي هَذَا الأمرَ أحدًا سَأَلَهُ وَلَا أحدًا حَرَصَ عَلَيْهِ.
Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya.[5]
Alasan penolakan ini, karena setiap orang yang berambisi tentu berani melakukan apa saja demi mendapat jabatan atau demi mempertahankannya. Oleh karena itu, selayaknya jangan berambisi dan berusaha untuk mendapatkan jabatan pemerintahan. Sebab hal itu dapat menghalangi taufiq Allah Azza wa Jalla , sehingga sepenuhnya akan dibebankan kepadanya. Sikap ambisius akan mendorongnya berbuat aniaya dan dosa besar demi mendapatkan dan mempertahankannya. Namun, bila jabatan itu diberikan kepada orang yang tidak menginginkannya bahkan tidak menyukainya, maka Allah akan memberinya taufiq dan akan membantunya dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut.
Sebagian orang berdalih bolehnya meminta jabatan dengan mendasarkan kepada kisah Nabi Yûsuf Alaihissallam yang meminta kedudukan kepada Raja Mesir, sebagaimana diceritakan oleh Allah:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ
Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)”. [Yûsuf/12:55].
Untuk membantah dalih di atas, berikut ini kami nukilkan bantahan dari Syikh ‘Abdul-Malik ar- Ramadhani dalam kitab Madârikun-Nazhar: “Padahal sebenarnya beliau meminta jabatan itu setelah memperoleh kesaksian dari Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”. [Yûsuf /12:55].[6]
Ahli sastra Arab dapat membedakan antara kata al-hâfîzh (dalam arti orang yang bisa menjaga) dengan kata al-hâfîzh (dalam arti orang yang pandai menjaga). Begitu juga kata al-‘Âlîm (orang yang mengetahui) dengan kata al-‘Âlîm (orang yang sangat mengetahui).Perhatikan benar-benar perbedaan ini, karena merupakan salah satu rahasia Al-Qur`ânul-Hakim!
Sungguh mengherankan melihat segelintir orang yang mempersilakan dirinya menerima jabatan-jabatan politik -meski sistem parlemen tersebut kafir dan keji- lantas menjadikan perbuatan Nabi Yûsuf tadi sebagai alasannya. Mereka lupa bahwa Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak pernah meminta jabatan, akan tetapi penguasalah yang menawarkan jabatan kepadanya. Tawaran itupun baru diterima setelah sang penguasa memberikan jaminan keamanan dan kebebasan, tanpa ada pemaksaan, penyingkiran, pemecatan, jebakan, tawar-menawar dan tuntutan-tuntutan!
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kisah Nabi Yûsuf tersebut:
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي ۖ فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Dan Raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku,” maka tatkala Raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”. Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”. [Yûsuf/12:54-55].
Sedangkan para aktifis politik dewasa ini hanya mengandalkan keimanan dan terlalu percaya diri. Sehingga setan datang melukiskan khayal, seolah-olah mereka adalah orang yang kuat dalam memegang kebenaran. Padahal hakikatnya mereka telah melebur dalam undang-undang produksi manusia. Wallahul-Musta’an. Adapun Nabi Yûsuf Alaihissallam, ia sama sekali tidak mengorbankan agamanya demi kepentingan politik. Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak mengerahkan kemampuan dalam berpolitik secara syar’i, dan tidak menerapkan undang-undang rajanya yang kafir itu dengan mengatasnamakan kepentingan dakwah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
Tiadalah patut Yûsuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.[Yûsuf/12:76].[7]
Anggaplah alasan-alasan mereka itu kita terima, maka kita bantah dengan kaidah Ushul Fiqih: “Syariat sebelum kita tidak lagi menjadi syariat bagi kita, jika bertentangan dengan syariat kita“. Dalam masalah ini perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam itu bertentangan dengan syariat kita. Karena kita dilarang meminta jabatan, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Wahai Abdur-Rahmân, janganlah meminta jabatan. Jika engkau diberi jabatan karena memintanya, niscaya engkau akan dibebani. Jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong dalam melaksanakannya”. Muttafaqun ‘alaihi.
Kita bantah pula, sesungguhnya Nabi Yûsuf Alaihissallam telah mendapat rekomendasi dari Allah, dan beliau hanya melaksanakan yang diperintahkan Allah. Artinya, seluruh manusia pasti terkena hukum: “Karena, jika engkau diberi jabatan karena memintanya, niscaya engkau akan dibebani” kecuali orang-orang yang dijaga oleh wahyu sehingga bisa terhindar dari kesalahan.
Adapun orang-orang berlagak pintar itu tunduk kepada undang-undang yang sedang atau akan berlaku. Bahkan sebelum menduduki jabatan, mereka harus bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi yang berlaku. Begitulah kenyataannya! Kita tidak pernah melihat kenyataan selain itu. Sungguh aneh orang yang ingin menyingkirkan kekufuran dengan membawa kekufuran baru.
Secara singkat, dalam hal ini dapat kita simpulkan lima jawaban.
- Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak meminta jabatan, namun hanya ditawari, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Adapun perkataan “jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)”, ini merupakan penjelasan tentang spesialisasi yang beliau miliki dan pilihan secara pribadi.
- Nabi Yûsuf Alaihissallam terhindar dari tekanan Raja dan dapat melaksanakan syariat Islam secara baik. Dua hal ini mustahil dapat diterapkan pada undang-undang sekuler sekarang ini.
- Nabi Yûsuf Alaihissallam mendapat rekomendasi dari Allah karena kedudukan beliau selaku rasul. Beliau terhindar dari gangguan-gangguan yang bisa menimpa orang lain.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin: Bahwa Amirul-Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu mengangkat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menjadi Gubernur Bahrain. Lalu Abu Hurairah pulang dengan membawa uang sebesar 10.000 dinar. Maka Umarpun berkata kepadanya: “Hai musuh Allah dan kitab-Nya, apakah engkau telah mengumpulkan kekayaan sebanyak ini?”
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menjawab: “Aku bukan musuh Allah dan kitab-Nya, akan tetapi aku musuh terhadap orang yang memusuhi Allah dan kitab-Nya!
“Lalu dari mana harta sebanyak itu?” selidik Umar.
“Dari ternak kuda-kudaku beranak pinak, dari hasil bumiku, dan dari hadiah yang datang terus-menerus,” jawab Abu Hurairah. Merekapun menyelidikinya dan mendapati kebenaran pengakuan Abu Hurairah tadi.
Setelah itu ‘Umar memanggilnya kembali untuk diserahi jabatan, namun Abu Hurairah menolaknya. Umar berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak suka pekerjaan ini, padahal orang yang lebih baik daripadamu menerima tawaran seperti ini, yakni Nabi Yûsuf?!”
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menjawab: “Yûsuf adalah seorang nabi, putera seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan aku, hanyalah Abu Hurairah putera Umaimah. Aku takut terhadap tiga kesulitan sebagai akibat dari dua perkara“.
“Mengapa tidak engkau katakan lima perkara saja!” sergah Umar.
Jawab Abu Hurairah: “Saya takut berkata tanpa ilmu dan memutuskan perkara tanpa belas kasih, akibatnya aku dipukul, hartaku dirampas dan kehormatanku dicemarkan!”[8]
- Syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita bila bertentangan dengan syariat kita. Dalam masalah ini meminta jabatan seperti yang dilakukan Nabi Yûsuf Alaihissallam bertentangan dengan syariat kita.
- Nabi Yûsuf Alaihissallam menduduki jabatannya untuk menjalankan misi kerasulan. Sekiranya ada yang boleh mengikuti perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam tersebut, maka ia harus seorang pewaris nabi, yaitu ulama mujtahid.
Ibnu Abdil Bar berkata: “Jika tindakan semacam itu dibenarkan, maka seorang alim boleh merekomendasikan dirinya untuk menempati kedudukan yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai ulama. Hal itu termasuk menceritakan nikmat-nikmat Allah kepadanya sebagai ungkapan rasa syukur terhadap nikmat yang telah dianugerahkan itu”.[9] Wallahu a’lam.
Keempat. Berhukum dengan Hukum Allah.
Ini merupakan kewajiban terbesar yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin dan penguasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.[al-Mâ`idah/5:49].
Memutuskan perkara dengan hukum yang diturunkan Allah merupakan tugas pokok yang harus dilaksanakan seorang pemimpin. Jika ternyata ia menyimpang dari hukum Allah, maka ia bukanlah orang yang pantas untuk mengemban jabatan itu.
Kelima. Menjatuhkan Hukum Secara Adil Diantara Manusia.
Ini juga termasuk kewajiban terbesar yang harus diemban oleh seorang penguasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. [Shâd/38:26].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
…dan (menyuruh kamu) agar senantiasa bersikap apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil .. [an-Nisâ`/4:58].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا.
Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, pada hari Kiamat kelak, ia berada di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan Allah yang Maha pengasih. Kedua tangan Allah sebelah kanan. (Mimbar tersebut) diberikan untuk orang yang bersikap adil dalam berhukum, memutuskan perkara di antara sesama rakyatnya.[10]
Oleh karena itu, seorang pemimpin wajib bersikap adil terhadap rakyatnya dan memberikan perlakuan yang sama di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
… Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa… [al-Mâ`idah/5:8].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَمْيرٍ عَشَرَةٍ إِلَّا وَهُوَ يُؤْتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَغْلُولًا حَتَّى يَفُكَّهُ العَدْلُ أَوْ يُوْبِقَهُ الجورِ.
Tidaklah seorang lelaki memimpin sepuluh orang, kecuali ia akan didatangkan dalam keadaan tangan yang terbelenggu pada hari Kiamat. Kebaikan yang ia lakukan akan melepaskannya dari ikatan, atau dosanya akan membuat dirinya celaka.[11]
Keenam. Siap Memenuhi Kebutuhan Rakyat dan Mendengar Keluhannya.
Seorang pemimpin harus membuka pintunya untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat, mendengarkan pengaduan orang-orang yang teraniaya dan keluhan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَ حَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ.
Tidaklah seorang pemimpin atau seorang penguasa menutup pintunya dari orang-orang yang memiliki kebutuhan, keperluan serta orang-orang fakir, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari keperluan, kebutuhan dan hajatnya.[12]
Hadits ini merupakan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pemimpin yang menutup pintu dari rakyat yang dipimpinnya.
Ketujuh. Memberi Nasihat Kepada Rakyatnya dan Tidak Mengkhianatinya.
Seorang pemimpin harus selalu memberi nasihat yang baik kepada rakyatnya tentang segala perkara berkaitan dengan urusan dunia maupun agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الْجَنَّةَ.
Tak seorang pemimpinpun yang mengurusi urusan kaum muslimin, kemudian ia tidak pernah letih dari mengayomi dan menasihati mereka, kecuali pemimpin itu akan masuk ke dalam surga bersama mereka.[13]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.
Tidaklah seorang hamba yang mendapat amanah dari Allah untuk mengayomi rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah telah haramkan surga baginya.[14]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ.
Dari Tamim ad-Daari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diin (agama) itu adalah nasihat,” kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya”.[15]
Masyarakat juga harus memberikan nasihat kepada pemimpin dan tetap mentaatinya, selama mereka tidak disuruh kepada perkara yang dilarang Allah. Jangan sampai mereka melepaskan diri dari ketaatan dan melakukan pemberontakan walau bagaimanapun buruknya penguasa itu. Kecuali bila terlihat kekufuran yang nyata, dan ada dalil yang jelas tentang pengkafiran tersebut dari Allah.
Kedelapan. Pemimpin Jangan Menerima Hadiah.
Jika ada rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin, hampir bisa dipastikan, dibalik itu mereka ingin agar sang pemimpin dekat dengannya dan menyukai dirinya. Maka seorang pemimpin janganlah menerima hadiah-hadiah semacam ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الهَدِيَّةُ إِلَى الإِمَامِ غَلُوْلٌ
Hadiah yang diberikan kepada seorang pemimpin adalah pengkhianatan.[16]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
هَدَايَا العُمَّالِ غَلُوْلٌ
Hadiah-hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah pengkhianatan. [17]
Demikian juga, semua orang yang bertugas melayani urusan kaum muslimin, ia tidak boleh menerima hadiah dan jangan ada sedikitpun yang disembunyikannya. Berapapun hadiah yang diterimanya, harus ia serahkan kepada pemerintah. Jangan ada sedikitpun yang dijadikan sebagai milik pribadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمْنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk mempimpin lalu ia menyembunyikan sehelai benang atau lebih, maka pada hari Kiamat nanti ia akan datang membawa benang itu sebagai seorang pengkhianat.[18]
Salah seorang gubernur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang berkata: “Yang ini untuk kalian dan yang ini dihadiahkan untukku,” lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِينَا فَيَقُولُ هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا.
Amma ba’du, mengapa pejabat yang kami angkat berkata: “Yang ini dari hasil pekerjaan kalian, sementara yang ini khusus dihadiahkan untukku?” Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, lalu ia tunggu, apakah masih ada orang yang mau memberikan hadiah untuknya ataukah tidak? [19]
Kesembilan. Seorang Pemimpin Harus Mengambil Penasihat dari Kalangan Orang-Orang Shâlih.
Seorang pemimpin harus mengambil penasihat dari kalangan orang-orang shâlih yang mampu mengingatkannya saat ia lupa, dan membantunya saat teringat, selalu mengawasinya agar bersikap baik dan berlaku adil, memberinya nasihat dan pengarahan, serta mendorongnya untuk berbuat baik dan menjaga ketakwaan. Dengan cara ini, maka semua urusan pasti lurus.
Adapun penasihat yang buruk, tidak ada kebaikan yang dapat diharapkan darinya. Karena mereka tidak dapat membantu untuk berbuat kebajikan, bahkan akan membantu setan untuk menggelincirkan si pemimpin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ فَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللَّهُ تَعَالَى.
Tidak ada nabi yang Allah utus, dan tidak pula ada seorang pemimpin yang Dia angkat, kecuali mereka mempunyai dua jenis teman dekat. Teman yang menyuruhnya untuk berbuat baik serta selalu membantunya dalam berbuat baik, dan teman yang menyuruhnya berbuat untuk jahat serta selalu mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Orang yang selamat, ialah orang yang memang dijaga Allah Subhanahu wa Ta’ala .[20]
Kesepuluh. Seorang Pemimpin Harus Bersikap Ramah Terhadap Rakyat.
Sebagaimana dikatakan para ulama salaf, seorang pemimpin harus bersikap sebagai anak terhadap orang-orang tua, sebagai saudara untuk yang sebaya, dan sebagai orang tua terhadap anak-anak. Ia harus bersikap lembut, ramah serta menyayangi mereka, dan tidak membebaninya dengan urusan yang tidak mereka sanggupi. Dengan sikap ini, sebagai pemimpin, ia berhak mendapat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
Ya Allah, bagi siapa yang menjadi penguasa umatku, lalu ia menyulitkan mereka, maka timpakanlah kesulitan kepadanya. Dan barang siapa yang menjadi penguasa umatku, lalu ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia.[21]
Kesebelas. Jujur Menjalankan Semua Urusan yang Berkaitan dengan Kaum Muslimin.
Dalam hal ini, seorang pemimpin harus membantu ahli sunnah serta membasmi ahli bid’ah dan pelaku kerusakan, mengibarkan panji amr ma’ruf nahi mungkar serta panji-panji jihad fi sabilillah, berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga kehormatan, agama, harta kaum muslimin dan lain-lain.
Ia juga harus mengevaluasi kinerja para pejabat dan pegawainya secara kontinyu, memperhatikan cara mereka menjalankan tugas, dan sikap mereka terhadap rakyat. Ia juga harus memilih jalan terbaik dalam menyelesaikan semua problem masyarakat. Para bawahan juga diharuskan memberi laporan-laporan secara jujur dan rinci mengenai tugas yang telah dilakukan. Sesungguhnya ia akan mempertangungjawabkan semua tugas dan kewajibannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Maraji`:
- Al-Adabul-Kabir wa Adabush-Shaghir, Ibnul-Muqaffa’.
- Al-Adâbusy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih.
- Al-Ahkâmu as-Sulthaniyyah, al-Mawardi.
- Ath-Thuruqul-Hukmiyah, Ibnul-Qayyim.
- Fathul-Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri, Ibnu Hajar al-Asqalâ
- Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdil Bar.
- Madârikun-Nazhar fis-Siyasatisy-Syar’iyyah, ‘Abdul-Mâlik ar-Ramadhâ
- Mausu’ah al-Adabul-Islamiyyah, ‘Abdul-‘Aziz bin Fathis Sayyid Nadâ`.
- Shahîh Jami’ ash-Shaghir, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâ
- Sirah Nabawiyah Shahîhah, Dr.Akram Dhiya’ al-‘Umari.
- Sirâjul-Mulûk, ath-Thurthuusyi.
- Silsilah Ahâdits Shahîhah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman.
- Syarah Shahîh Muslim an-Nawawi.
- Tafsîr Adhwâ`ul Bayân, Muhammad al-Amin asy-Syanqithi.
- Tafsîr al-Qurthubi.
- Tafsîr Ibnu Katsîr.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] HR al-Bukhâri, 4425, 7099, dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu.
[2] HR al-Bukhâri, 7148, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[3] HR Muslim, 1826, dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu.
[4] HR al-Bukhâri (7147) dan Muslim (1652), dari ‘Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu anhu.
[5] HR al-Bukhâri (7149) dan Muslim (1733), dari Abu Musa Radhiyallahu anhu.
[6] Lihat Bahjatu Qulubil Abrâr, Syaikh Abdur-Rahmân as-Sa’di, hlm. 150-151.
[7] Lihat Tafsir al-Qurthubi, IX/238.
[8] Diriwayatkan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqât al-Kubra, IV/335.
[9] Jami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi, I/176.
[10] HR Muslim, 1827, dari ‘Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu.
[11] HR al-Baihaqi dalam kitab al-Kubra (X/96) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Hadist ini terdapat dalam Kitab Shahîh al-Jâmi’ (5695).
[12] HR Ahmad (IV/231), at-Tirmidzi (1332) dari ‘Amr bin Murah. At-Tirmidzi (1332) dari Abu Maryam. Hadits ini terdapat dalam Kitab Shahîh al-Jâmi’ (5685).
[13] HR Muslim, 142, dari Ma’qal bin Yasâr Radhiyallahu anhu.
[14] HR al-Bukhâri (7150, 7151) dan Muslim (142).
[15] HR Muslim, 55, dari Tamim bin Aus Radhiyallahu anhu.
[16] HR ath-Thabraani dalam kitab al-Kabir (XI/11486) dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu. Hadits ini terdapat dalam Kitab Shahîh al-Jâmi’ (7054).
[17] HR Ahmad (V/424), al-Baihaqi (X/138) dari Abu Humaid Radhiyallahu anhu . Hadits ini terdapat dalam Kitab Shahîh al-Jâmi’ (7071).
[18] HR Muslim, 1833, dari ‘Adi bin Umair Radhiyallahu anhu.
[19] HR al-Bukhâri (1500, 6979) dan Muslim (1832) dari Abu Humaid as-Sâ’di.
[20] HR al-Bukhâri, 6611, 7198, dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu.
[21] HR Muslim, 1848, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha.
- Home
- /
- A8. Politik Pemikiran Salafiyyun...
- /
- Sebelas Rambu Bagi Seorang...