Radha’ah (Masa Menyusui) dan Pembinaannya
RADHA’AH (MASA MENYUSUI) DAN PEMBINAANNYA
Ilmu perkembangan manusia yang dikenal saat ini, konon merupakan produk dan hasil penelitian Barat. Asumsi ini sangat mendominasi dan telah menjadi wacana umum.
Padahal Al Qur’an dan Sunnah Nabi telah menerangkan siklus perkembangan manusia sejak masih berupa sel telur, embrio dalam rahim, sampai ia mencapai episode terakhir dari kehidupannya sebagai manusia di bumi ini.
Selain mengangkat tentang fase-fase tersebut, Al Qur’an dan Sunnah juga menetapkan bimbingan dan pengarahan untuk setiap fase itu, agar manusia senantiasa berada di jalur yang benar, bebas dari penyimpangan.
Dalil Mengenai Fase Kehidupan Manusia di Dunia
Allah menciptakan manusia dari air yang hina (sperma). Melalui perjalanan waktu, cairan itu berubah menjadi segumpal darah, dan akhirnya membentuk segumpal daging.
Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلاً ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا وَمِنكُم مِّن يُتَوَفَّى مِن قَبْلُ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلاً مُّسَمَّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa) kemudian (kamu dibiarkan hidup kembali) sampai tua. Di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). [Al Mukmin/40:67].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ
Sesungguhnya salah seorang dari kalian, penciptaan dirinya disatukan di perut ibunya pada empat puluh hari pertama. Kemudian ia berubah menjadi segumpal darah dalam masa yang sama. Berikutnya ia beralih menjadi segumpal daging dalam masa yang sama. Kemudian malaikat diutus untuk menuliskan empat perkara, (yaitu) menulis rezekinya, ajalnya, amalannya dan nasibnya, menjadi sengsara atau berbahagia kemudian meniupkan ruh padanya.[1]
Para ulama tarbiyah sangat intensif dalam memperhatikan proses perkembangan manusia. Tujuannya untuk mengungkapkan karakteristik setiap fasenya, baik dalam tinjauan fisik, kejiwaan, emosional dan kemampuan intelektualnya. Dari situ, penetapan sistem pembelajaran dan bobot materi bertumpu.
Fase-fase perkembangan tersebut meliputi : fase radha’ah (masa menyusui), fase hadhanah (masa usia dua sampai tiga tahun), fase tamyiz (masa usia tiga sampai tujuh tahun), fase bulugh (masa akil baligh), fase syabab (remaja, dewasa) dan fase syaikhukhah (masa tua). Dan yang hendak dibahas dalam tulisan ini seputar fase radha’ah (masa menyusui).
Dalam fase radha’ah ini, sang bocah bayi praktis hanya mengandalkan asupan ASI dari ibu. Bermula tatkala setelah janin keluar dari rahim, sampai berusia dua tahun. Artinya masanya dua tahun. Allah berfirman.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ُ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. [Al Baqarah/2:233].
Fase ini merupakan momentum yang sangat penting, lantaran janin telah memasuki fase barunya di dunia yang asing baginya. Pengaruh eksternal mulai bersinggungan dengannya, berupa nutrisi, interaksi orang, dan jenis pendekatan pada sang bayi.
Ibnul Qayyim menyatakan: “Perhatian intensif padanya pasca persalinan sangat ditekankan, dan tingkat kewaspadaan pada mereka harus tinggi. Sebab ranting pohon dan cabang-cabangnya ketika masih mengakar kuat pada batang inti, dan terkait dengannya, maka angin tidak mampu menggoyang dan mencabutnya. Tetapi tatkala dipisahkan dan ditanam di tempat lain, maka bahaya mengancamnya dan angin yang lembut sekalipun akhirnya mampu mencabutnya”[2].
Lanjut Ibnul Qayyim: “Janin yang baru saja meninggalkan rahim ibu, telah melepaskan diri dari ruangan yang biasa meliputinya dalam seluruh kondisi, hanya dalam satu waktu saja. Proses ini lebih berat daripada perpindahan yang bertahap”.
Proses yang paling berpengaruh dalam pembentukan jati diri anak dalam fase ini adalah proses penyusuan. Para ahli pendidikan mengungkapkan, bahwa anak kecil sangat terpengaruh dengan ASI wanita yang menyusuinya, akhlaknya melalui air susu yang diminumnya. Oleh karena itu, semestinya memilih wanita yang baik akhlaknya, dari komunitas yang baik. [3]
Ibnu Qudamah mengatakan: “Abu Abdillah (Imam Ahmad) tidak menyenangi penyusuan anak dari wanita jahat dan musyrik”.
Umar bin Abdil Aziz berkata,”ASI sangat berperan kuat. Maka janganlah engkau menyusukan kepada wanita Yahudi, Nashara, atau wanita tuna susila…”
Mengapa demikian? Karena, ASI wanita yang buruk perangainya berpotensi mengantarkan anak menyerupai kejahatan wanita yang menyusuinya. Ia dapat terpengaruh ibu susuannya. Ada pepatah yang berbunyi “Sesungguhnya susuan membentuk tabiat”. Wallahu a’lam.[4]
Jadi, bayi harus dijauhkan dari ASI yang haram. Baik lantaran pembiayaannya haram atau sang wanita tidak menjaga diri dari makanan haram.
Al Ghazali menyatakan : “ASI yang keluar dari makanan haram tidak ada berkahnya. Jika terserap anak kecil, maka jasmaninya ternoda dengan materi yang buruk. Akhirnya perangainya cenderung kepada tindakan-tindakan yang buruk”.[5]
Demikian juga sebaliknya, wanita shalihah lagi penuh kasih sayang, akan memberi warna positif terhadap sang bayi. Susuan, dekapan dan kehangatan ibunya yang shalihah sangat membekas pada pembentukan karakter bayi.
Susuan, selain memenuhi kebutuhan energi, juga mengalirkan tali kasih pada jiwanya yang haus terhadap kasih sayang, cinta dan perlindungan.
Karakteristik Fase Radha’ah
- Bayi tidak mampu mengekspresikan keinginan dengan bahasa verbal. Tangisan menjadi tumpuan alat komunikasi untuk memberitakan rasa lapar, rasa sakitnya, atau perasaan tidak enak lainnya.[6]
- Ciri khas fase ini, lemahnya fisik bayi karena belum berapa lama keluar dari perut ibu. Karena itu, tidak perlu dipaksakan untuk berjalan. Hal ini hanya akan mengakibatkan kebengkokan pada kakinya.
- Tanda lainnya, seringnya terjadi tangisan untuk meminta asupan ASI, terutama jika sedang merasa lapar. Ayah ibu tidak perlu risau bila mendenganr tangisan bayinya. Sebab tangisan dapat memperkuat lambung, anggota tubuh lainnya, dan menggerakkan lambung dan usus untuk mendorong hasil metabolisme yang tak berguna sehingga keluar. Demikian juga, tangisan dapat mengeluarkan kotoran dalam otak dan lain-lain.
- Bayi sulit dipisahkan dari proses susuan. Karena itu, penyapihan harus dilakukan dengan bertahap. Bila tidak, akan berdampak pada dirinya.[7]
Pengarahan Pendidikan Dalam Fase Ini
Tahnik
Tahnik adalah mencerna kurma dan memasukkannya ke dalam mulut bayi dan diusapkan pada langit-langit mulut. Abu Musa Al Asy’ari bercerita:
وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ
“Anakku dilahirkan. Maka aku membawanya kepada Nabi dan memberinya nama Ibrahim serta mentahniknya dengan sebuah kurma…”[8]
Tujuan tahnik, supaya sang bayi melatih diri dan menguatkan lidahnya untuk makan. Yang paling baik adalah mentahnik dengan kurma. Bila tidak ada, maka bisa ruthab (kurma muda), atau kalau tidak, dengan sesuatu yang manis dan madu lebah lebih baik dari manisan yang lain [9]. Atau bertujuan menguatkan syaraf mulut untuk menggerakkan lidah dan dagu sehingga ia siap memulai proses penyusuan dan mengisap ASI. [10]
Aqiqah
Ritual lain yang disyariatkan pada masa ini, ialah penyembelihan hewan ‘aqiqah sebagai cerminan ekspresi kebahagiaan dengan kehadiran sang bayi.
Dari Ummu Kurz Al Ka’biyah, ia bertanya kepada Rasulullah tentang aqiqah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Untuk bayi lelaki dua kambing dan untuk bayi perempuan satu ekor kambing“.[11]
Membersihkan Kotoran Kepala.
Tuntunan lain yang diarahkan oleh Islam berkaitan dengan bayi yang baru saja lahir, membersihkan noda dan kotoran yang ada di kepala bayi.
عَقَّ رَسُولُ الله عَنِ الْحَسَنِ وَ الْحُسَيْنِ يَوْمَ السَّابِعِ وَسَمَّاهُمَا وَأَمَرَ أنْ يُمَاطَ عَنِ رُؤُوسِهِمَا الأذَى
“Rasulullah menyembelih hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain di hari ketujuh, memberi nama keduanya dan Beliau memerintahkan agar kepalanya dibersihkan dari kotoran”.[12]
Tasmiyah
Tasmiyah adalah memberi nama kepada anak. Islam memberikan petunjuk yang agung, agar orang tua memilihkan nama yang baik bagi anaknya yang baru lahir. Rasulullah n sangat menyukai nama-nama yang baik.[13]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Malam ini telah lahir anak lelakiku dan aku beri nama dengan nama ayahku, Ibrahim”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
Sesungguhnya, nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.
Nama, semestinya bermakna baik dan bagus. Sebab nama juga bisa memberikan efek psikologis bagi pemiliknya. Seorang penyair berkata :
وَقَـلَّمَا أبْصَرَتْ عَينَاكَ ذَا لَقَبٍ إلاَّ وَمَعْنَاهُ إن فَكَّرْتَ فِيْ لَقَبِهِ
Dan tidaklah setiap kali pandangan Anda tertuju pada seseorang
Kecuali jika engkau renungi, maknanya mesti tersimpul dalam namanya.
Kapan waktu memberikan nama kepada bayi yang baru lahir? Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian hadits menunjukkan, bahwa penamaan dilakukan pada hari kelahiran bayi. Ada hadits lainn yang menentukannya di hari ketujuh.
Imam Bukhari menuliskan sebuah bab yang berjudul “Bab Penamaan Bayi Pada Hari Kelahirannya Buat Yang Tidak Disembelihkan Aqiqah dan Tahnik, Barangsiapa Akan Disembelihkan Aqiqah Untuknya, Ditunda (Penamaannya) Sampai Hari Ketujuh”. Ini sebuah usaha pengkompromian dalil-dalil secara tepat[14]. Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan: “Pemberian nama boleh dilakukan di hari kelahirannya, boleh (juga) di hari ketiga. Demikian juga boleh ditunda sampai hari ketujuh. Dalam masalah ini ada kelonggaran”.[15]
Khitan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْآبَاطِ
“Fitrah terdapat dalam lima perkara. (Yaitu) khitah, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak“[16]
Orang tua atau wali anak, wajib mengkhitan anaknya sebelum memasuki masa usia baligh. Hikmahnya, sebagaimana diterangkan Ibnul Qayyim: “Khitan mengandung unsur kesehatan, kebersihan, kerapian dan mempercantik kondisi fisik serta menormalkan syahwat, jika dilepas, maka manusia bagaikan hewan. Namun sebaliknya, bila dikebiri, maka manusia layaknya benda mati. sedangkan khitan akan menyeimbangkannya. Oleh karena itu, engkau dapati lelaki atau wanita yang tidak berkhitan, tidak pernah merasa kenyang dengan jima'”[17]
Dengan ini, menjadi jelas perhatian Islam terhadap fase kehidupan radha’ah ini. Adab-adab tersebut berpengaruh pada pembentukan moral. Ini termasuk nilai keistimewaan ajaran agama Islam.
Kesimpulan
Penanaman pendidikan pada masa menyusui ini meliputi: (1) Memberikan perhatian ekstra untuk menerapkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui tahnik, aqiqah, khitan dan penyusuan sang ibu. (2) Memilih wanita shalihah untuk menyusui bayi. (3) Kesehatan fisik anak mencerminkan kesehatan akal dan ruhani yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan moral yang baik.
(Diangkat dari kitab Marahilu An Numuwwi Fi Dhaui Al Kitabi Was Sunnah karya Dr. Khalid bin Al Hazimi. Darul ‘Alamil Kutub. Cet. I Th. 1420 H – 1999 M)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR Bukhari (2/424) kitab Bad`ul Wahyi, Bab Dzikri Al Malaikah no: 3208, Muslim (4/2036) kitab Al Qadar (46), Bab Kaifiyati Al Adami Fi Bathni Ummihi, no. 2643. Dan ini teks Imam Muslim.
[2] Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud, karya Ibnul Qayyim, Darul Bayan, Cet. II, Th. 1407 H, hlm. 171
[3] Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud, karya Ibnul Qayyim, Darul Bayan, Cet. II, Th. 1407 H, hlm. 171
[4] Al Mughni (9/453) secara ringkas, Darul Kutub Al Ilmiyah
[5] Ihyau ‘Ulumid Din (3/71).
[6] Tuhfatul Maudud, hlm. 170-171
[7] Tuhfatul Maudud, hlm. 140-141
[8] HR Bukhari, kitab ‘Aqiqah, Bab Tasmiyatil Mauludi Ghadata Yuladu, no. 5467 dan Muslim kitab Adab, Bab Istihbabi Tahnikil Maulud, no. 2145
[9] Fathul Bari (9/588).
[10] Qishshatul Hidayah, karya Abdullah Ulwan (1/57-58).
[11] Shahih Sunan Abi Dawud no: 2461
[12] Hadits shahih diriwayatkan Al Hakim (4/237) Lihat Irwaul Ghalil no: 1164
[13] Zaadul Ma’ad (2/326).
[14] Fathul Bari (9/587-588).
[15] Tuhfatul Maudud hlm. 71
[16] HR Bukhari no: 5891. Muslim no: (50 – 257).
[17] Tuhfatul Maudud, hlm. 114-115
- Home
- /
- A9. Wanita dan Keluarga...
- /
- Radha’ah (Masa Menyusui) dan...