Mimpi Bukan Landasan Syar’i

MIMPI BUKAN LANDASAN SYAR’I

Landasan-landasan pokok ajaran dan hukum Islam sudah sangat jelas. Kitab suci al-Qur`ân, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ijmâ’ Ulama Islam. Inilah rujukan paling utama bagi seorang Muslim dalam menjalankan aktifitas keagamaannya. Ketiganya menjadi barometer untuk menentukan benar atau tidaknya sebuah pemikiran, madzhab, ucapan maupun perbuatan.

Secara umum, kaum Muslimin sudah mengetahui hal tersebut. Namun begitu, terkadang mereka terlalu mudah dipermainkan dengan arus kuat (berupa pemikiran, keyakinan maupun pendapat) yang sedang berkembang di tengah mereka. Akibatnya, mereka tergelincir pada kekeliruan demi kekeliruan tanpa disadari. Nas`alullâhal hidâyah (semoga Allah Azza wa Jalla berkenan memberi kita sekalian hidayah-Nya). Tampaknya, faktor kedangkalan ilmu agama, jauh dari Ulama rabbani dan kurang perhatian terhadap petunjuk agama menjadi faktor penyebabnya.

Contoh yang mudah kita dapatkan di tengah masyarakat, lebih mengutamakan wirid, teks salawat, doa atau petunjuk sang guru yang kebetulan sangat karismatik serta memeganginya dengan kuat, seolah-olah wahyu dari Allah Azza wa Jalla yang terjamin akan kebenarannya. Padahal, tidak demikian. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini telah beliau tekankan dalam khutbatul hâjah (pembukaan ceramah) yang sering kali beliau sampaikan.

Lebih aneh lagi, sebagian ‘produsen’ wirid, doa dan salawat (dan lain sebagainya) tersebut mengklaim dirinya memperolehnya langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui mimpi. Dan mengklaim dirinya diberi amanah untuk menyebarluaskannya. Bahkan terkadang memuat ancaman terhadap orang yang menampik atau memandangnya dengan sebelah mata. Padahal, pada prinsipnya, syariat Islam telah sempurna, tidak membutuhkan penambahan.

Dari sinilah mereka (baca: kalangan Sufi) mulai mempermainkan umat. Seorang tokoh mereka, Ibnu Arabi penulis Fushûshul Hikam memanfaatkan momen ini untuk melegalkan bid’ah-bid’ah mereka.  Pada gilirannya, sebuah bid’ah baru dalam agama pun muncul dan berkembang. Seperti diungkap Syaikh `Abdullâh at-Tuwaijîri dalam al-Bida’ al-Hauliyyah, bahwa di antara pemicu tumbuhnya bid’ah, adalah penetapan hukum (termasuk doa, wirid dan lainnya, red) melalui mekanisme yang tidak dibenarkan syariat. Semisal bersandar dengan mimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidur dan mengambil hukum darinya, selanjutnya, menyebarluaskannya di tengah masyarakat atau mengamalkannya tanpa memperhitungkan kesesuaiannya dengan syariat atau tidak. Sebab, mimpi orang selain para nabi tidak bisa ditetapkan sebagai hukum syar’i, sampai ditimbang dengan timbangan syar’i. Apabila muatan mimpi itu masih dapat dibenarkan oleh syariat, boleh saja diamalkan. Namun jika bertentangan, sama sekali tidak boleh dipandang sedikit pun.  Karena itu berarti menambah-nambahi syariat Rasulullah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang lebih sesat lagi, jika bermimpi mendapat wasiat bebas, tidak lagi terkena beban menjalankan perintah-perintah agama.

Baca Juga  Tuntunan Cara Mejalankan Agama Islam

Seandainya pun benar-benar yang dilihat  dalam mimpi itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi yang perlu diingat bahwa Allah Azza wa Jalla tidak membebankan sesuatu melalui mimpi. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa orang yang tertidur termasuk di antara tiga golongan manusia yang tidak terkena beban syariat sampai dia bangun kembali. Maka, apa yang dilihatnya di dalam mimpi tidak boleh diamalkan.

Menjadikan mimpi sebagai pedoman merupakan suatu kekeliruan yang amat nyata, sebab mimpi tidak layak dijadikan hujjah dalam agama. Apalagi jika kandungan mimpi itu berseberangan dengan yang sudah baku dalam agama. Terkadang, orang yang mengaku bermimpi tersebut tidak jujur dan berorientasi duniawi belaka. Seperti menginginkan popularitas, dianggap memiliki keistimewaan sehingga lebih mudah menggiring jamaah, maupun bertujuan menumpuk materi dari masyarakat awam yang mudah tertipu dengan cerita mimpi.

Para Ulama menjelaskan jika dalam mimpi ia diperintahkan kepada sesuatu yang sesuai dengan tuntunan agama, maka bisa mengambilnya, bukan sebagai pedoman utama tetapi sebagai pendukung saja. Karena mimpi tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menentukan hukum-hukum agama.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Kondisi tidur bukanlah kondisi sadar dan tidak teliti terhadap apa yang didengar orang yang bermimpi. Sesungguhya para Ulama hadits telah sepakat bahwa syarat orang yang bisa diterima riwayat  dan persaksiannya yaitu ia berada dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan lalai, tidak jelek hafalan, tidak banyak salah dan tidak pula cacat ingatan. Orang tidur tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, oleh sebab itu tidak berhak diterima riwayatnya dikarenakan cacat ingatan”[1]

Akhirnya, kami mengajak kaum Muslimin semuanya untuk kembali kepada al-Qur’ân dan Sunnah, sesuai dengan pemahaman salaf. Hanya dengan itu, kaum Muslimin terhindar dari fitnah dan tidak mudah terpedaya dengan berbagai tipudaya. Kita berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla agar memberikan kita ilmu bermanfaat yang bersumber dari al-Qur’ân dan Sunnah serta agar diberi kekuatan untuk tetap istiqâmah di jalan-Nya.

Baca Juga  Mengenal Pribadi Nabi Ibrahim Alaihissalam Dalam Al-Qur’an Dan Hadits

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Lihat Syarah Muqaddimah Shahîh Muslim, 1/115

  1. Home
  2. /
  3. A4. Kesempurnaan Agama Islam
  4. /
  5. Mimpi Bukan Landasan Syar’i