Hal Wanita yang Mirip Musthadhah
DARAH KEBIASAAN WANITA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin
Hal Wanita yang Mirip Musthadhah
Kadangkala seorang wanita, karena sesuatu sebab, mengalami pendarahan pada farjinya, seperti karena operasi pada rahim atau sekitarnya. Hal ini ada dua macam:
1. Diketahui bahwa si wanita tidak mungkin haid lagi setelah operasi, seperti operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang mengakibatkan darah tidak bisa keluar lagi darinya, maka tidak berlaku baginya hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita yang mendapati cairan kuning, atau keruh, atau basah setelah masa suci. Karena itu ia tidak boleh meninggallkan shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi karena keluarnya darah,tapi ia harus membersihkan darah tersebut ketika hendak shalat dan supaya melekatkan kain atau semisalnya (seperti pembalut wanita) pada farjiya untuk menahan keluarnya darah, kemudian berwudhu untuk shalat. Janganlah ia berwudhu untuk shalat kecuali telah masuk waktunya,jika shalat itu telah tertentu waktunya seperti shalat lima waktu; jika tidak tertentu waktunya maka ia berwudhu ketika hendak mengerjakannya seperti shalat sunat yang mutlak.
2. Tidak diketahui bahwa siwanita tidak bisa haid setelah operasi, tetapi diperkirakan bisa haid lagi. Maka berlaku baginya hukum mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ، وَلَيْسَ بِالحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَت الحَيْضَةُ فَاتْرُك الصَّلاَةَ
“Itu hanyalah darah penyakit, bukan haid. Jika datang haid, maka tinggalkan shalat.”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : “Jika datang haid…” menunjukkan bahwa hukum mustahadhah berlaku bagi wanita yang berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti.
Adapun wanita yang tidak berkemungkinan haid maka darah yang keluar pada prinsipnya, dihukumi sebagai darah penyakit.
Hukum-hukum Istihadhah
Dari penjelasan terdahulu, dapat kita mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah istihadhah.
Jika yang terjadi adalah darah haid maka berlaku baginya hukum-hukum haid, sedangkan jika yang terjadi darah istihadhah maka yang berlalku pun hukum-hukum istihadhah.
Hukum-hukum haid yang penting telah dijelaskan di muka. Adapun hukum-hukum istihadhah seperti,halnya hukum-hukum tuhr (keadaan suci). Tidak ada perbedaan antara wanita mustahdhah dan wanita suci, kecuali dalam hal berikut ini:
1. Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
ثُمَّ تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ … رواه البخاري في باب غسل الدم.
“Kemudian berwudhulah kamu setiap kali hendak shalat” [Hadits riwayat Al-Bukhari dalam Bab Membersihkan Darah]
Hal itu memberikan pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya. Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia berwudhu pada saat hendak melakukannya
2. Ketika hendak berwudhu, membersihkan sisa-sisa darah dan melekatkan kain dengan kapas (atau pembalut wanita) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hamnah:
أَنْعَتُ لَكِ الكُرْسُف فَإِنَّه يُذْهِبُ الدَّمَ )) قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: (( فَاتَّخِذِيْ ثَوْبًا )) قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: فَتَلَجَّمِيْ
“Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal itu dapat menyerap darah”. Hamnah berkata: ‘Darahnya lebih banyak dari itu”. Beliau bersabda: “gunakan kain!”. Kata Hamnah: “Darahnya masih banyak pula”. Nabipun bersabda: “Maka pakailah penahan!”
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya. Karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
اجْتَنِبِيْ الصَّلاَةَ أَيَّامَ تَحِيْضُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَتَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ، ثُمَّ صَلِّيْ، وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الحَصِيْرِ … رواه أحمد وابن ماجه.
“Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas. ” [Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah]
3. Jima’ (senggama). Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya pada kondisi bila ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh secara mutlak Karena ada banyak wanita,mencapai sepuluh atau lebih, mengalami istihadhah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ,sementara Allah dan Rasul-Nya tidak melarang jima’ dengan mereka. Firman Allah Ta ‘ala:
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“… Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid ... ” [Al-Baqarah/2: 222]
Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan diri dari isteri. Kalaupun shalat saja boleh dilakukan wanita mustahadhah, maka jima ‘pun tentu lebih boleh Dan tidak benar jima’ wanita mustahadhah dikiaskan dengan jima ‘wanita haid,karena keduanya tidak sama, bahkan menurut pendapat para ulama yang menyatakan haram. Sebab, mengkiaskan sesuatu dengan hal yang babeda adalah tidak sah.
[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa’ Ath-Thabii’iyah Lin Nisaa’ . Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta]
- Home
- /
- A9. Wanita dan Keluarga...
- /
- Hal Wanita yang Mirip...