Jual Beli Di Komplek Masjid
JUAL-BELI DI KOMPLEKS MASJID, MENJUAL BUKU-BUKU HAROKAH?
Ada beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyinggung masalah masjid. Salah satunya adalah jual-beli di dalamnya. Yang ana tahu, kalau ada transaksi di dalam masjid, maka hendaknya dido’akan agar tidak mendapatkan berkah.
1. Bagaimana hadits tersebut? Apakah sampai derajat shahih atau banyak yang meriwayatkannya?
2. Ada ustadz yang mengatakan, bahwa masjid dimulai dengan pagar atau gerbang. Oleh karena itu, berjual-beli di kompleks masjid terkena hadits itu. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa masjid itu di mulai dengan temboknya. Jika demikian, tidaklah mengapa berjual beli di teras, halaman, atau serambi masjid. Saat ini banyak pedagang yang menggelar dagangan mereka di serambi, di parkir, dan di komplek masjid. Sebenarnya, bagaimana batasan masjid yang dimaksudkan dengan hadits Rasulullah tersebut? Abu ‘Ukasysyah, Jakarta
Jawaban.
1. Hadits yang melarang jual-beli di dalam masjid antara lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيهِ ضَالَّةً فَقُولُوا لَا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu melihat orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah ‘Allah tidak menguntungkan perdaganganmu’. Dan jika kamu melihat orang yang mencari barang hilang di dalam masjid, maka katakanlah ‘Allah tidak mengembalikan kepadamu’. [HR Tirmidzi, no. 1 321, Ad Darimi, no. 1.365. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. Lihat Tirmidzi, no. 1.321; Irwa’ul Ghalil, no. 1.495, Al Misykah, no. 733]
Setelah membawakan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullah berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِدِ
Sebagian ulama mengamalkan hadits ini. Mereka membenci jual-beli di dalam masjid. Ini merupakan pendapat (Imam) Ahmad dan Ishaq. Sebagian ulama memberikan kelonggaran jual-beli di dalam masjid.
Al Mubarakfuri rahimahullah mengomentari perkataan Imam Tirmidzi rahimahullah : “Sebagian ulama mengamalkan hadits ini. Mereka membenci jual-beli di dalam masjid di atas dengan perkataan ‘Ini adalah haq, berdasarkan hadits-hadits bab ini… Dan aku tidak mendapati dalil yang menunjukkan kelonggaran (jual-beli di dalam masjid). Dan hadits-hadits bab ini merupakan hujjah atas orang yang memberikan kelonggaran’.” [Tuhfatul Ahwadzi, hadits no. 1.321].
Termasuk yang melarang jual-beli di dalam masjid, ialah Imam Ash Shan’ani di dalam Subulus Salam, dan Syaikh Al Albani di dalam kitab Ats Tsamar Al Mustathab, 2/691-695.
2. Adapun batasan masjid yang dilarang berjual-beli, apakah di mulai dari pagar (gerbang) atau dimulai dengan temboknya? Kami belum mendapatkan penjelasan yang tegas dari para ulama. Diantara perkataan ulama yang kami dapati, yang nampaknya juga berkaitan dengan masalah ini ialah:
Perkataan Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullah : “Hukum serambi masjid dan yang dekat dari serambi adalah hukum masjid. Oleh karena itulah, kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mendapati baunya (yakni bau bawang putih atau semacamnya, Red) di dalam masjid, Beliau memerintahkan mengeluarkan orang yang didapati bau darinya menuju Baqi’, sebagaimana telah shahih di dalam (kitab Shahih Muslim. [Fat-hul Bari, penjelasan hadits no. 856].
Perkataan Al Hafizh tersebut, juga dinukil oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Ats Tsamar Al Mustathab (2/665). Demikian juga Syaikh Salim Al Hilali, beliau mengatakan: “Hukum arena masjid dan yang dekat darinya adalah hukum masjid. Hal itu nampak di dalam perbuatan Nabi n mengeluarkan orang yang didapati darinya bau bawang putih, bawang merah, dan bawang kucai menuju Baqi’. [Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhus Shalihin, 3/197]
.
Hadits yang dimaksudkan oleh Al Hafizh di atas, yaitu mengenai khutbah Umar bin Al Khaththab pada hari Jum’at. Diantara yang beliau katakan adalah:
ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ
Kemudian sesungguhnya kamu -wahai manusia- makan dua tumbuhan. Aku tidak melihat keduanya, kecuali buruk, yaitu bawang merah dan bawang putih. Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , jika Beliau mendapati bau keduanya dari seorang laki-laki di dalam masjid, Beliau memerintahkan atas orang tersebut, lalu dia dikeluarkan menuju Baqi (pekuburan penduduk Madinah). [HR Muslim, no. 567].
Namun pendapat di atas -yang menyatakan bahwa arena masjid termasuk hukum masjid, atau batas masjid mulai pintu gerbangnya- jika hal itu dianggap sebagai hukum umum, akan mengandung beberapa kemusykilan. Antara lain, orang yang masuk arena masjid diperintahkan shalat tahiyatul masjid, sebagaimana ketika masuk ke dalam masjid!
Selain itu kita dapatkan hadits yang menunjukkan perbedaan hukum di dalam masjid dan di luar masjid. Antara lain:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقَامُ الْحُدُودُ فِي الْمَسَاجِدِ وَلَا يُسْتَقَادُ فِيهَا
Dari Hakim bin Hizam, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hudud tidak ditegakkan di dalam masjid, dan tidak dilakukan qishosh di dalamnya”. [HR Ahmad dan Daruquthni. Syaikh Al Albani menghasankan hadits ini. Bahkan menyatakan sebagai hadits shahih lighairihi di dalam kitab Tsamar Mustathab, 2/698].
Hadits ini melarang menegakkan hudud di dalam masjid, tetapi kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan hudud di luar masjid. Dengan demikian terdapat perbedaan hukum antara di dalam masjid dan di luar masjid. Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: “Dan telah dikenal diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menegakkan hudud di luar masjid, sebagaimana di dalam hadits Abu Hurairah dalam kisah Ma’iz”. [Tsamar Mustathab, 2/701-702]
.
Lalu Syaikh Al Albani rahimahullah juga membawakan hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجْمِ الْيَهُودِيِّ وَالْيَهُودِيَّةِ عِنْدَ بَابِ مَسْجِدِهِ
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan rajam terhadap seorang laki-laki Yahudi dan seorang perempuan Yahudi di dekat pintu masjid Beliau”. [HR Ahmad, 5/261; Al Hakim, 2/453; dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Tsamar Mustathab, 2/703].
Selain itu, kita juga dapati hadits yang dengan tegas menyebutkan kejadian berjualan di dekat pintu masjid.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Al Khaththab melihat kain sutera (dijual) di dekat pintu masjid, lalu dia berkata: “Wahai, Rasulullah. Seandainya engkau membeli ini, lalu engkau memakainya pada hari Jum’at dan untuk (menemui) utusan-utusan jika mereka datang kepadamu”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang memakai ini hanyalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat”. [HR Bukhari, no. 886, kitab Al Jum’ah, Bab Memakai Pakaian Terbaik Yang Didapati].
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالْوُفُودِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ
Dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Umar bin Al Khaththab jubah dari kain sutera dijual di pasar, lalu dia mengambilnya, lalu membawanya kepada Rasulullah n dan berkata,”Wahai, Rasulullah. Belilah ini. Engkau berhias dengannya untuk hari raya dan untuk (menemui) utusan-utusan,” maka Rasulullah n bersabda kepadanya: “Sesungguhnya ini pakaian orang yang tidak memiliki bagian (di akhirat)”. [HR Bukhori, no. 948].
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Tersebut di dalam riwayat Malik dari Nafi’ sebagaimana telah lalu di dalam kitab Al Jum’ah, (yakni hadits no. 886, Red), bahwa hal (kejadian) itu berada di pintu masjid. Sedangkan pada riwayat Ishaq dari Nafi’ pada Nasa’i (disebutkan) “bahwa Umar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di pasar, lalu dia melihat baju”; kedua riwayat itu tidak bertentangan, karena ujung pasar bersambung ke dekat pintu masjid”. [Fat-hul Bari, syarh hadits no. 5841].
Ringkasnya, ulama berbeda pendapat tentang hukum jual-beli di dalam masjid. Yang rojih (lebih kuat) adalah terlarang. Ini berdasarkan hadits di atas dan lainnya. Kemudian larangan tersebut dengan tegas disebutkan berlaku di dalam masjid.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu melihat orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah ‘Allah tidak menguntungkan perdaganganmu’.” [HR Tirmidzi, no. 1.321; Ad Darimi, no. 1.365].
Adapun di serambi masjid, atau lokasi yang berada pada bangunan masjid, lebih selamat juga dijauhi. Sedangkan di komplek (arena) masjid, setelah gerbang masjid, kami tidak mendapatkan dalil yang melarangnya dengan tegas, sehingga kamipun tidak berani malarangnya. Allah Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al Hujurat:1]
Namun, jika seseorang meninggalkan perkara yang belum jelas baginya atau meragukannya, tentu hal itu lebih baik bagi diri dan agamanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu, karena kejujuran itu ketenangan, dan sesungguhnya kedustaan itu keraguan. [HR Tirmidzi, no. 2.518, dan lain-lain, dari Al Hasan bin ‘Ali, Arba’in Nawawiyah, hadits no. 11].
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya yang haram itu jelas. Dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar, kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa menjaga dari (meninggalkan) perkara-perkara samar itu, dia telah membersihkan untuk (kebaikan) agamanya dan kehormatannya. Barangsiapa jatuh di dalam syubhat (perkara-perkara yang samar), dia jatuh ke dalam yang haram. Seperti seorang penggembala yang menggembalakan di sekitar tanah larangan, hampir-hampir dia menggembalakan di dalamnya. Ingatlah sesungguhnya setiap raja memiliki tanah larangan. Ingatlah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah apa-apa yang Dia haramkan. Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati. [HR Muslim, no. 1.599, dari Nu’man bin Basyir. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Darimi, dengan lafazh yang berbeda-beda namun maknanya sama. Hadits ini dimuat oleh An Nawawi di dalam Arba’in Nawawiyah, hadits no. 6 dan Riyadhush Shalihin, no. 588]. Wallahu ‘alam.
Demikian jawaban kami. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
- Home
- /
- A9. Fiqih Muamalah2 Jual...
- /
- Jual Beli Di Komplek...