Memahami Kaidah-Kaidah Pengkafiran
MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH PENGKAFIRAN
(Ringkasan materi daurah Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi –hafizhahullah- dalam masalah kaidah-kaidah pengkafiran. Merujuk kepada kitab beliau At Tabshir bi Qawa’id At Takfir. Diringkas oleh Ustadz Muslim Al Atsari) *
Pada muqadimah kitab, Syaikh Ali menjelaskan kewajiban para ulama untuk mentahdzir (memperingatkan) dari fitnah takfir (pemikiran menyimpang dalam mengkafirkan umat Islam dengan tanpa haq). Beliau menyatakan: “Sesungguhnya tahdzir (peringatan) yang keras terhadap fitnah takfir yang berlebihan sudah menjadi konsekwensi dan menjadi keharusan yang pasti, tatkala orang yang tidak berkompeten berbicara tentangnya, dan orang yang bukan ahlinya telah memasukinya.”[1] . Hal itu, karena dampak takfir tanpa alasan yang benar sangat berbahaya. Syaikh menjelaskan: “Dan tidaklah suatu perkara sedemikian besar –bahaya dan fitnahnya-, kecuali lantaran dampaknya yang nyata dan terlihat begitu dahsyat terhadap individu dan masyarakat, (juga) sangat buruk terhadap umat manusia dan bangsa-bangsa”[2].
Anehnya, sebagian umat Islam saling berdebat dan sikap antipati, karena berpegang pada kalimat-kalimat yang dijadikan dasar wala’ (kecintaan dan pembelaan) dan bara’ (kebencian dan permusuhan). Tanpa pengkajian intensif dan pemahaman terhadap kandungannya. Sungguh, ini merupakan salah satu penyebab perselisihan.
Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi rahimahullah berkata: “Demikian juga masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para imam dalam perkara ushul (pokok-pokok agama) ataupun furu’ (cabang-cabang agama), jika tidak dikembalikan kepada Allah dan kepada Rasul, niscaya al haq akan menjadi kabur. Bahkan orang-orang yang berselisih berada di dalam ketidakjelasan dalam urusan mereka”[3].
Oleh karena itu, dalam masalah takfir ini, terdapat beberapa kaidah yang harus diperhatikan, agar seseorang selamat dari penyimpangan. Syaikh Ali menjelaskan masalah tersebut dengan point-point sebagai berikut:
1. Kewajiban menetapkan istilah-istilah secara akurat dan membuat ungkapan-ungkapan dengan cermat.
Sebagai dasar dari pernyataan ini, Syaikh Ali mengutip penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Ar Risalah At Tadmuriyyah, hlm. 28, yang menyatakan: “Apa yang diperdebatkan oleh orang-orang mutaakhirin –belakangan-, baik dengan penolakan maupun penetapan, seorang pun tidak wajib –bahkan tidak boleh baginya- menyetujui orang lain dalam menetapkan lafazhnya atau menolaknya, sampai dia mengetahui maksudnya:
- Jika orang itu menghendaki kebenaran: maka diterima.
- Jika orang itu menghendaki kebatilan: maka ditolak.
- Jika perkataannya mengandung kebenaran dan kebatilan: tidak diterima secara mutlak, dan (juga) tidak ditolak keseluruhannya. Tetapi lafazh tersebut ditawaqqufkan* dan diperjelas maknanya (At-Tabshir, hlm: 12-13)”.[4]
2. Batasan iman menurut ahli sunnah.
Berkaitan dengan masalah takfir (mengkafirkan orang tertentu), yang maknanya menghukumi seseorang itu telah keluar dari iman, maka Syaikh Ali Al Halabi menjelaskan batasan iman yang sesuai dengan tinjauan syari’at, sebagai pengantar untuk memahami persoalan takfir. Sehingga pembahasan point ini dengan sebelumnya saling berkaitan.[5]
Dalam menyampaikan batasan iman, Syaikh Ali Al Halabi menukil penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat th. 728 H) dan keterangan dari Syaikh Shalih Al Fauzan, ulama besar Saudi Arabia. Hal ini untuk menunjukan bahwa aqidah Ahli Sunnah dari dahulu sampai sekarang tetap sama. Demikian juga aqidah para ulama Ahli Sunnah di kerajaan Saudi, sama dengan aqidah para ulama Ahli Sunnah di Yordania dan negara-negara lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dengan ringkas aqidah As Salafush Shalih tentang iman, dalam kitab Al Aqidah Al Wasithiyah (hlm. 81-83), dengan pernyataannya: “Di antara prinsip Ahli Sunnah wal Jama’ah, din (agama) dan iman terdiri dari perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, serta perbuatan hati dan anggota badan. Dan sesungguhnya iman itu bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan. Bersamaan dengan itu, mereka tidak mengkafirkan ahli kiblat (orang Islam yang melakukan shalat, pen) dengan semata-mata kemaksiatan dan dosa-dosa besar, sebagaimana yang dilakukan oleh Khawarij. Bahkan persaudaraan keimanan tetap utuh meskipun terdapat kemaksiatan-kemaksiatan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ فَاتِّبَاعُ بِالْمَعْرُوفِ
Maka barangsiapa (membunuh orang mukmin) yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya (yakni keluarga korban), hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik (di dalam menuntut diyat). [Al Baqarah/2:178].
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ {9} إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu. [Al Hujurat/49 : 9-10]
Ahlu Sunnah wal Jama’ah sama sekali tidak mencabut sebutan iman atas diri orang fasik yang beragama (Islam). Ahlu Sunnah wal Jama’ah juga tidak menyatakan orang fasik itu kekal di dalam neraka, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Bahkan orang fasik tetap disebut sebagai orang beriman seperti dicontohkan oleh firman Allah Ta’ala:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. [An Nisaa/4 :92]
Padahal mugkin ia tidak termasuk sebagai yang imannya sempurna, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu (yakni dengan iman yang sempurna) adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka. [Al Anfal/8:2]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً –ذَاتَ شَرَفٍ- يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Tidaklah seorang pezina berzina, ketika dia sedang berzina, sedangkan dia seorang mukmin (yakni dengan iman yang sempurna). Tidaklah seorang pencuri mencuri, ketika dia sedang mencuri, sedangkan dia seorang mukmin. Tidaklah seseorang minum khomr, ketika dia sedang minum, sedangkan dia seorang mukmin Tidaklah seorang merampas barang rampasan –yang bernilai- sedangkan orang-orang melihat dengan pandangan mereka padanya, ketika dia sedang merampas itu, sedangkan dia seorang mukmin.[6]
Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyatakan, dia (pelaku dosa besar itu) orang beriman yang imannya kurang, atau dia seorang mukmin dengan sebab imannya, (juga) seorang yang fasik disebabkan oleh dosa besarnya. Sehingga dia tidak diberi ismul mutlaq (yakni sebagai orang yang sempurna imannya, pen), juga tidak dicabut/dihilangkan muthlaqul ismi (yakni bahwa dia seorang mukmin, pen) dari dirinya[7].
Syaikh Shalih Al Fauzan -hafizhahullah- berkata dalam Ta’liqat Al Mukhtasharat ‘Ala Matni Al Aqidah Ath Thahawiyah, hlm. 145-147: “Pendapat yang benar, sesungguhnya iman terdiri dari perkataan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Jadi, amal (perbuatan) masuk ke dalam hakikat iman, bukan sekedar bersifat tambahan. Barangsiapa membatasi (iman) hanya pada perkataan dengan lisan dan pembenaran dengan hati, tanpa amal (perbuatan), dia bukanlah termasuk orang yang memiliki iman yang benar… Jadi iman adalah perkataan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Inilah ta’rif (definisi) iman yang benar, yang sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi.
- Tidak seperti pernyataan Al Hanafiyah (orang-orang yang menyatakan sebagai pengikut imam Abu Hanifah): (bahwa iman) hanyalah perkataan dengan lisan dan keyakinan dengan hati saja!
- Dan tidak (juga) seperti pendapat Al Karramiyah (orang-orang yang menyatakan sebagai pengikut Muhammad bin Karram As Sijistani): (bahwa iman) hanyalah perkataan dengan lisan saja!
- Bukan (pula) sebagaimana dikatakan oleh Al Asya’irah (orang-orang yang menyatakan sebagai pengikut Abul Hasan Al Asy’ari): (bahwa iman) hanyalah keyakinan dengan hati saja!
- Dan bukan (pula) pernyataan Al Jahmiyah (orang-orang yang menyatakan sebagai pengikut Jahm bin Shafwan): (bahwa iman) hanyalah ma’rifah (pengetahuan) dengan hati saja!
Dengan penjelasan ini, (firqah) Murjiah (orang-orang yang mengeluarkan amal dari hakikat iman) terbagi empat golongan. Kelompok yang paling jauh (kesesatannya) adalah Jahmiyah. Menurut pendapat mereka, Fir’aun adalah seorang mukmin, karena dia ‘arif (mengenal Allah). Demikian pula iblis beriman, karena dia mengenal (Allah) dengan hatinya.
Bila mengacu kepada pendapat Al Asya’irah, yang menyatakan iman adalah keyakinan dengan hati saja, maka Abu Lahab, Abu Thalib, Abu Jahal, dan seluruh orang-orang musyrik termasuk orang-orang beriman. Karena mereka ini meyakini dan membenarkan dengan hati mereka. Mereka membenarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan hati mereka, akan tetapi kesombongan dan hasad (iri) telah menghalangi mereka untuk mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam[8].
3. Landasan manhaj Ahlu Sunnah.
Setelah menyampaikan muqaddimah, mulailah Syaikh Ali Al Halabi menjelaskan permasalahan takfir. Pertama kali beliau menegaskan, bahwa manhaj (jalan yang ditempuh) para ulama Ahli Sunnah tegak di atas ilmu terhadap al haq dan rahmat (kasih-sayang) terhadap makhluk (manusia). Keduanya tidak dapat dipisahkan. Kemudian Syaikh menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Ar Radd ‘Ala Al Bakri (2/490): “Dan imam-imam Sunnah dan Al Jama’ah, dan para ahli ilmu; mereka itu mempunyai ilmu, keadilan, dan rahmat (kasih-sayang). Mereka mengetahui al haq, yang menjadikan mereka selaras dengan Sunnah dan selamat dari bid’ah. Mereka bersikap adil terhadap orang yang keluar dari Sunnah, walaupun dia menzhalimi mereka. Allah Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ للهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. [Al Maidah/5: 8]
Para ulama Ahlu Sunnah menyayangi manusia. Menawarkan kepada mereka kebaikan, petunjuk dan ilmu. Tidak pernah berniat buruk terhadap orang semenjak awal. Jika mereka menghukumi orang, menjelaskan kesalahan, kebodohan dan kezhaliman manusia, (sungguh) niat mereka adalah menjelaskan al haq dan cerminan kasih-sayang kepada makhluk (manusia), ‘amar (memerintah) kepada ma’ruf dan melarang dari kemungkaran. Dan agar agama itu semuanya untuk Allah, dan supaya kalimat Allah menjadi yang paling tinggi.[9]
4. Takfir adalah hak Allah dan RasulNya.
Dalam bab ini, Syaikh Ali Al Halabi membawakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (5/545): “(Hak) mewajibkan, mengharamkan, (penuntuan) pahala dan siksa, takfir (pengkafiran), tafsiq (vonis fasik terhadap seseorang) milik Allah dan RasulNya. Tidak ada seorang pun yang berhak dalam masalah ini.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Mukhtashar Ash Shawa’iq Al Mursalah, hlm. 421: “Takfir adalah hukum agama. Orang kafir adalah orang yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya.”
Syaikh Shalih Al Fauzan juga mejelaskan[10] : “Takfir terhadap orang-orang yang murtad bukanlah ketetapan yang dibuat oleh Khawarij ataupun selain mereka. Dan itu bukan bentuk pemikiran, tetapi merupakan hukum agama yang dipakai Allah dan RasulNya untuk menghukumi orang yang berhak menerimanya; yang disebabkan karena melakukan salah satu perkara yang membatalkan Islam, baik berupa perkataan, keyakinan atau perbuatan, sesuai dengan penjelasan para ulama dalam bab: Hukum-Hukum Orang-Orang Murtad. Hukum-hukum di atas berasal dari Kitab Allah Ta’ala dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[11]
5. Sikap adil ahlu sunnah dalam menghadapi orang-orang yang mengkafirkan dirinya.
Dalam Ar Radd ‘Ala Al Bakri (2/493), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan keadilan ahlu sunnah terhadap golongan lainnya dengan pernyataan: “…Oleh karena itu, ahli ilmu wa sunnah tidak mengkafirkan orang yang menyelisihinya, walaupun orang yang memusuhi ahli sunnah sudah mengkafirkan mereka. Karena kekafiran merupakan hukum agama. Tidak ada orang yang berhak menghukumi dengan perbuatan yang sejenis. Seperti, misalnya orang yang berdusta kepadamu, berzina dengan keluargamu, engkau tidak boleh berdusta kepadanya dan berzina dengan keluarganya. Karena dusta dan zina (hukumnya) haram, dan (menghukumi hal) itu merupakan kewenangan Allah Ta’ala. Demikian juga takfir, merupakan hak Allah. Sehingga tidak boleh dikafirkan, kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya.”[12].
6. Kaidah takfir terhadap orang tertentu.
Ini termasuk kaidah terpenting dalam memahami masalah takfir. Bahwa kekafiran pada orang tertentu terjadi dengan terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan hilangnya penghalang-penghalang kekafiran pada diri orang tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memaparkan dengan pernyataannya: “Sesungguhnya takfir (pengkafiran) yang umum –seperti halnya ancaman yang umum- wajib dinyatakan dengan kemutlakan dan keumumannya. Adapun hukum terhadap orang tertentu, bahwa dia adalah orang kafir, atau dia pasti masuk neraka, maka ini tergantung pada dalil khusus. Karena suatu hukum (keputusan) itu tergantung pada terpenuhinya syarat-syaratnya dan hilangnya penghalang-penghalangnya. Maka takfir (pengkafiran) terhadap orang tertentu yang berasal dari orang-orang yang tidak berilmu dan orang-orang yang serupa dengan mereka, -yaitu dia dihukumi termasuk orang kafir- tidak boleh diputuskan kecuali setelah hujjah risaliyah (argumen dari rasul) telah tegak padanya, sehingga menjadi jelas bahwa mereka menyelisihi para rasul.
Ketetapan ini berlaku pada takfir terhadap seluruh orang-orang tertentu. Meskipun sebagian bid’ah lebih berat (kesesatannya) dari bid’ah lainnya, dan kadar keimanan sebagian ahli bid’ah tidak sama dengan ahli bid’ah lainnya. Maka, siapapun tetap tidak boleh mengkafirkan orang lain dari kalangan umat Islam -walaupun orang itu keliru dan berbuat salah- sampai ditegakkan hujjah (argumen) dan dijelaskan jalan yang lurus kepadanya.
Barangsiapa imannya nampak dengan keyakinan, tidak akan lenyap darinya dengan sebab keraguan. Bahkan tidak akan hilang, kecuali setelah penegakan hujjah dan penghilangan syubhat (kesamaran).”[13]
Karena memang, takfir harus dengan sesuatu yang pasti, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam: “Takfir itu tidak terjadi dengan perkara yang mengandung kemungkinan.”[14].
Syaikhul Islam rahimahullah telah menjelaskan syarat-syarat takfir dalam Majmu’ Fatawa (14/118), dan kebalikan syarat-syarat tersebut merupakan penghalang-penghalang kekafiran. Beliau berkata tentang hukum orang yang mengucapkan kekafiran: “Adapun jika dia mengetahui apa yang dia ucapkan: jika dia sukarela, berniat (sengaja) dengan apa yang dia katakan, maka inilah yang perkataannya dianggap…” yakni dianggap sebagai takfir.[15].
Dengan ini menjadi jelas, bahwa syarat-syarat pengkafiran meliputi:
- (Ilmu (yaitu bila seseorang mengetahui, bahwa apa yang dilakukannya dapat mengeluarkannya dari Islam).
- Sukarela, (yaitu apa yang dilakukannya tanpa paksaan).
- Sengaja.
Adapun penghalang kekafiran adalah kebalikan dari faktor-faktor di atas, yaitu:
- Kebodohan (yaitu seseorang tidak mengetahui, bahwa apa yang dilakukannya dapat megeluarkannya dari Islam).
- Dipaksa.
- Keliru atau tidak sengaja.
7. Masalah “memberi toleransi terhadap ketidaktahuan”.
Dalam masalah ini, Syaikh Ali Al Halabi menukil perkataan Syaikhul Islam dalam kitab Minhajus Sunnah (5/130): “Tidak ada keraguan bahwa orang yang tidak meyakini kewajiban berhukum dengan syari’at Allah yang diturunkan kepada RasulNya, maka dia kafir. Barangsiapa berpendapat boleh menghukumi manusia dengan keputusan yang dia anggap adil -tanpa mengikuti hukum Allah- maka dia kafir. Karena sesungguhnya, tidak ada satu bangsa pun kecuali mereka memerintahkan berhukum dengan keadilan. Dan terkadang, keadilan dalam agama mereka mengikuti tokoh-tokoh mereka.
Banyak orang yang menisbatkan kepada Islam berhukum dengan adat-istiadat mereka yang tidak berdasarkan hukum Allah k . Misalnya, seperti merujuk tradisi orang-orang Badui (sebagai hukum) dan aturan-aturan pembesar mereka yang ditaati. Mereka memandang, inilah yang mesti dijadikan dasar hukum, bukan Al Kitab dan As Sunnah! Ini merupakan kekafiran. Sesungguhnya orang-orang telah masuk Islam, meskipun demikian mereka tidak menghukumi kecuali dengan adat-adat kebiasaan yang berlaku pada mereka, yang diperintahkan oleh sesepuh mereka.
Jika orang-orang ini telah mengetahui tidak boleh berhukum kecuali dengan aturan yang Allah turunkan, lalu mereka tidak iltizam (berpegang teguh) dengannya, bahkan mereka membolehkan berhukum dengan aturan yang berbeda dengan petunjuk Allah; maka mereka itu menjadi kafir. Jika tidak (paham), mereka berarti orang-orang yang bodoh, -sebagaimana telah dikemukakan di depan.
Dalam Ar Radd ‘Ala Al Bakri (2/492), Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan: “Sesungguhnya takfir terhadap orang tertentu, dan dibolehkan untuk membunuhnya, tergantung pada telah tersampaikan hujjah dari Nabi kepadanya, yang menyebabkan orang menjadi kafir bila menyelisihinya. Jika tidak demikian, maka tidak setiap orang yang tidak memahami sesuatu dari agama menjadi kafir”.[16] .
8. Bahaya takfir yang berasal dari orang yang tidak berkompeten.
Dalam bab ini, Syaikh Ali Al Halabi membawakan beberapa perkataan ulama. Diantaranya Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata dalam Al Mufhim Fi Syarh Shahih Muslim (3/111): “Masalah takfir (pengkafiran) adalah masalah yaang sangat berbahaya. Banyak orang yang melibatkan dirinya dalam masalah ini, dan (akhirnya) mereka terjatuh. Sementara tokoh-tokoh besar saling menahan diri, sehingga selamat… Kita tidak menyamakan (nilai) keselamatan dengan sesuatupun.”
Syaikh Abdul Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh (Mufti Kerajaan Saudi sekarang) dalam wawancara dengan koran Asy Syarqul Ausath, 21 April 2001M berkata: “Takfir merupakan perkara yang berbahaya. Semestinya umat Islam tidak memperbincangkannya secara mendalam, dan menyerahkannya kepada ulama yang berilmu tinggi.”
Syaikh Shalih Al Fauzan menyatakan dalam buku Zhahirah At Tabdi’ wat Tafsiq Wat Takfir Wa Dhawabithuha (hlm. 28) : “Sesungguhnya yang melontarkan (vonis) takfir secara sembarangan hanyalah orang-orang yang bodoh. Mereka mengklaim diri sebagai ulama! Padahal mereka belum pernah mendalami agama Allah l . Mereka hanyalah membaca buku-buku, mencari-cari kesalahan-kesalahan, memunguti istilah-istilah tafsiq (menyatakan kefasikan seseorang) dan membidikkannya tanpa ilmu kepada orang-orang yang tidak tepat, atau kepada orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Mereka tidak mengetahui cara meletakkan perkara-perkara ini pada tempatnya, lantaran ketidakpahaman terhadap agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perumpamaan mereka dalam perkara itu bagaikan orang jahil (tidak mengerti) yang mengambil sebuah senjata, tetapi tidak mengetahui cara menggunakannya. Orang seperti ini hampir membunuh dirinya, keluarga dan kerabat-kerabatnya, karena tidak cakap menggunakan alat ini.”[17].
9. Pelaksanaan keputusan takfir diserahkan kepada para ulama khusus.
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata dalam Al Muntaqa (1/112): “Takfir adalah perkara yang berbahaya. Setiap orang tidak boleh menyematkannya pada diri orang lain. Ini termasuk wewenang mahkamah-mahkamah syar’iyah dan ulama yang berilmu dalam masalah agama. Yaitu merekalah yang memahami Islam, mengetahui pembatal-pembatalnya, mengetahui situasi dan kondisi, mengkaji realita manusia dan masyarakat. Merekalah orang yang berhak mengeluarkan vonis takfir dan keputusan lainnya. Adapun orang-orang juhhal (tidak paham), orang-orang umum, para pelajar yang tidak sepenuh hati, mereka tidak berhak melontarkan takfir terhadap orang-orang tertentu, atau kelompok-kelompok, atau negara. Karena mereka bukan ahli dalam hukum ini.”[18] .
Selain ini, pada point yang ke 8 di atas, nampak jelas pernyataan para ulama tentang masalah takfir ini.
Inilah inti terpenting dari ceramah Syaikh Ali Al Halabi –hafizhahullah- tentang masalah takfir ini. Adapun pembahasan selanjutnya yang terdapat di kitab beliau At Tabshir, sebagai pelengkap dari kaidah-kaidah yang telah disebutkan secara ringkas di atas. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
* (Daurah syar’iyyah di Lawang-Malang, Jawa Timur, Tanggal 23-26 Syawal 1425H/ 6-9 Desember 2004, yang diadakan oleh Ma’had ‘Ali Al Irsyad Surabaya bekerja sama dengan Markaz Imam Al Albani Yordania. Dihadiri oleh murid-murid terbaik Muhaddits jaman ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Mereka adalah Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali, Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr, Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, dan Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabi -hafizhahumullah)
[1] At Tabshir, hlm. 6
[2] At Tabshir, hlm. 7
[3] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah (2/777) dari At Tabshir, hlm. 9-10.
[4] Kemudian kebenarannya diterima, dan kebatilannya di tolak, Pen.
[5] Lihat At Tabshir, hlm. 11.
[6] HR Bukhari, no. 6772; Muslim, no. 100, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[7] Dinukil dari At Tabshir, hlm. 15-17
[8] Lihat At Tabshir, hlm. 18-21
[9] Lihat At Tabshir, hlm. 25-26
[10] Majalah Ad Da’wah, 4 Rabiul Akhir 1421H
[11] At Tabshir, hlm. 27-29
[12] At Tabshir, hlm. 30
[13] Lihat Majmu’ Fatawa (12/498).
[14] Lihat Ash Sharimul Maslul (3/963)
[15] Lihat At Tabshir, hlm. 35-37
[16] Lihat At Tabshir, hlm. 38-40
[17] Lihat At Tabshiir, hlm. 42-45
[18] Lihat At Tabshir, hlm. 47-48
- Home
- /
- A8. Politik Pemikiran Takfiri...
- /
- Memahami Kaidah-Kaidah Pengkafiran