Al-Kafaa-ah Dalam Pernikahan

AL-KAFAA-AH DALAM PERNIKAHAN

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Al-Kafaa-ah (الْكَفَاءَةُ) menurut bahasa: الْكَفِىءُ ialah النَّظِيْرُ (setara). Demikian pula الْكُفْءُ dan الْكُفْوُ, menurut wazan فَعْلٌ dan فُعُلٌ. Bentuk mashdarnya ialah الْكَفَاءَةُ. Engkau mengatakan: لاَ كِفَاءَ لَهُ, artinya لاَ نَظِيْرَلَهُ (tiada bandingannya).

الْـكُفْءُ artinya sebanding dan sama. Di antaranya ialah al-kafaa-ah dalam pernikahan, yaitu suami sebanding dengan wanita dalam hal kedudukannya, agamanya, nasabnya, rumahnya dan selainnya.[1]

Al-kafa-ah menurut syari’at ialah kesetaraan di antara suami isteri untuk menolak aib dalam perkara-perkara yang khusus, yang menurut ulama-ulama madzhab Maliki yaitu agama dan keadaan (al-haal), yakni terbebas dari cacat yang mengharuskan khiyar (pilihan) untuknya. Sedangkan menurut jumhur (mayoritas ulama) ialah agama, nasab, kemerdekaan dan pekerjaan. Ulama-ulama madzhab Hanafi dan ulama-ulama madzhab Hanbali menambahkan dengan kekayaan, atau harta.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Penilaian al-kafaa-ah dalam agama disepakati. Maka pada dasarnya, muslimah tidak halal bagi orang kafir.”[2]

Pertama:
Ayat-Ayat yang Menunjukkan Dipertimbangkannya al-Kafaa-ah

  1. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguh-nya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”  [Al-Baqarah/2: 221]

  1. Dia berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” [Al-Hujuraat/49: 13]

  1. Dia berfirman:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” [An-Nuur/24: 26].

  1. Dia berfirman:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang ber-zina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” [An-Nuur/24 : 3].

Baca Juga  Pernikahan Penderita Aids

Kedua:
Hadits-Hadits Mengenai Hal Itu

  1. Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab al-Akfaa’ fid Diin, kemudian dia menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya; maka pilihlah yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”[3]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam al-Fat-h: “Ini adalah jawaban yang tegas, jika dasar penilaian tentang al-kafaa-ah dalam nasab dianggap sah (karena harta dan keturunannya). Al-hasab pada asalnya ialah kemuliaan ayah dan kaum kerabat… karena kebiasaan mereka jika saling membanggakan, maka mereka menyebut sifat-sifat mereka dan peninggalan bapak-bapak mereka serta kaum mereka.”[4]

Dinukil dari al-Qurthubi rahimahullah: “Tidak boleh diduga dari hadits ini bahwa keempat hal ini difahami sebagai al-kafaa-ah, yakni ter-batas padanya.”[5]

  1. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا جَـاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوَّجُوْهَ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرَ.

Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.[6]

  1. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَـا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَـاهِلِيَّةِ، وَتَعَاظُمَهَا بِآبَائِهَا، فَالنَّاسُ رَجُلاَنِ: بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيْمٌ عَلَى اللهِ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى اللهِ، وَالنَّاسُ بَنُو آدَمَ، وَخَلَقَ اللهُ آدَمَ مِنْ تُرَابٍ، قَالَ اللهُ: يَآ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

‘Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian kebanggaan Jahiliyyah dan mengagung-agungkan bapak-bapaknya. Manusia itu ada dua macam, orang yang berbakti, bertakwa lagi mulia di sisi Allah dan orang yang durhaka, celaka lagi hina di sisi Allah. Manusia adalah anak keturunan Adam, dan Allah menciptakan Adam dari tanah. Allah berfirman, ‘Hai manusia, sesungguhnya Kami mencipta-kanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan men-jadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal,’  [Al-Hujuraat/49: 13].”[7]

  1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi z, bahwa seseorang lewat di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya: “Apa yang kalian katakan mengenai orang ini?” Mereka menjawab, “Jika dia meminang pasti lamarannya diterima, jika menjadi perantara maka perantaraannya diterima, dan jika berkata maka kata-katanya didengar.” Kemudian ia Lalu seseorang dari kaum muslimin yang fakir melintas, maka beliau bertanya, “Apa yang kalian katakan tentang orang ini?” Mereka menjawab, “Sudah pasti jika melamar maka lamarannya ditolak, jika menjadi perantara maka pe-rantaraannya tidak akan diterima, dan jika berkata maka kata-katanya tidak didengar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang ini lebih baik daripada seisi bumi orang seperti tadi.”[8]
Baca Juga  Manfaat Doa Sebelum Jima’

Menurut ulama, al-kafaa-ah bukan syarat sahnya pernikahan, kecuali seperti dalam ayat pertama dari bab ini.[9] Persoalannya terletak pada kerelaan wanita dan wali perihal kedudukan, nasab dan harta… demikianlah, wallaahu a’lam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya tentang seseorang yang menikahkan keponakan perempuannya dengan anak laki-lakinya, sedangkan si suami ini fasik yang tidak menunaikan shalat. Mereka menakuti-nakuti wanita ini sehingga dia mengizinkannya untuk menikah. Mereka mengatakan: “Jika kamu tidak mengizin-kannya, dan jika tidak maka syari’at yang  menikahkanmu tanpa memberimu pilihan.” Suami ini sekarang mengambil harta isteri-nya, dan menghalangi orang lain menemuinya untuk menyingkap keadannya; seperti ibunya dan selainnya?

Jawaban: Alhamdulillaah, tidak boleh bagi paman atau selain-nya dari para walinya menikahkan wanita yang menjadi perwalian-nya tanpa sekufu’ jika ia tidak rela dengan hal itu; berdasarkan ke-sepakatan para imam. Jika dia melakukan demikian, dia berhak mendapatkan sangsi syar’i yang membuatnya jera, dan sejenisnya dari perbuatan semisal itu. Bahkan seandainya ia ridha dengan tanpa sekufu’, maka wali lain selain yang menikahkan boleh membatalkan pernikahan tersebut. Paman tidak berhak memaksa wanita yang sudah baligh agar menikah dengan sekufu’; maka bagaimana halnya jika dia memaksanya supaya menikah dengan orang yang tidak sekufu’, bahkan dia tidak menikahkannya kecuali dengan orang yang diridhai wanita tersebut, berdasarkan kesepakatan umat Islam?

Jika dia mengatakan kepada wanita ini: “Jika kamu tidak mengizinkan; dan jika tidak, maka syari’at yang menikahkanmu tanpa memberimu pilihan,” lalu ia mengizinkannya, maka izinnya tidak sah, dan tidak sah pula pernikahan berdasarkan pemaksaan tersebut. Sebab, syari’at tidak menetapkan selain ayah dan kakek untuk memaksa gadis kecil menurut kesepakatan para imam. Para ulama hanya berselisih tentang ayah dan kakek perihal gadis yang sudah besar; sedang mengenai gadis kecil adalah mutlak.[10]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1] Lisaanul ‘Arab, Ibnu Manzhur (V/3892), Darul Ma’arif.
[2] Fat-hul Baari (IX/132).
[3] HR. Al-Bukhari (no. 5090) kitab an-Nikaah.
[4] Fat-hul Baari (IX/135).
[5] Fat-hul Baari (IX/136).
[6] Telah disebutkan takhrijnya.
[7] HR. At-Tirmidzi (no. 3270) kitab at-Tafsiir, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (VI/271).
[8] HR. Al-Bukhari (no. 5091) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 4120) kitab az-Zuhd.
[9] (QS. An-Nuur.24 : 3).
[10] Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/56-57).

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah6 Nikah
  4. /
  5. Al-Kafaa-ah Dalam Pernikahan