Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu Teraniaya(1)
ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU TERANIAYA(1)
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Mencela dan melecehkan para sahabat dengan penghinaan dan tuduhan ngawur merupakan cara-cara pengikut iblis dan musuh-musuh Islam. Mereka, sebenarnya bertujuan mencela dan merendahkan para saksi kebenaran Islam, dan hendak mencela Rasulullah. Yaitu dengan menyatakan, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sahabat-sahabat yang jelek dan tidak memilih sahabat yang baik saja. Dengan cara ini, mereka ingin menghancurkan dan memadamkan cahaya Islam. Akan tetapi, mereka tidak akan mampu. Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya agamaNya, meskipun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah.
Mereka hendak memadamkan sunnah Rasulullah dengan slogan-slogan yang seakan rahmat dan ilmiyah, namun hakikatnya menyimpan dendam, penipuan besar dan pandir. Misalnya dengan mengusung istilah “studi kritis hadits”, “studi ilmiah dan kebebasan berpendapat”. Ini semua hanyalah tipuan belaka dan fatamorgana. Tujuannya satu, yaitu menghancurkan Islam dengan segala cara. Oleh sebab itu, wahai kaum muslimin. Berhati-hatilah terhadap racun yang ditebarkan dimana-mana untuk merusak aqidah dan syariat kita.
Diantara sahabat yang menjadi sasaran mereka adalah perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dalam makalah singkat ini, kami berusaha mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh Islam.
kepada Abu Hurairah, yang merupakan tokoh besar dalam periwayatan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami berusaha membantah dan membedahnya dengan tetap memohon kemudahan dan petunjuk Allah.
Berikut beberapa tuduhan dan kecaman para musuh Islam yang dilontarkan secara zhalim atas diri Abu Hurairah.[1]
1. Mereka[2] menyatakan.
Berbeda dengan para sahabat lain, para ahli sejarah tidak dapat memastikan nama sebenarnya dari Abu Hurairah, namanya dizaman jahiliyah maupun dizaman Islam. Begitu pula asal usulnya.[3]
Juga menyatakan :
Abu Hurairah bukan sahabat besar, bukan dari kaum muhajirin bukan Anshar, bukan penyair Rasul, bukan keluarga Rasul, malah asal-usulnya, orang tuanya, bahkan nama aslinyapun tidak diketahui orang.[4]
Tanggapan.
Memang Abu Hurairah lebih dikenal dengan kunyah (julukannya) daripada namanya. Namun pernyataan diatas tidak benar seluruhnya, dan tidak dapat dijadikan alasan untuk melecehkan Abu Hurairah. Meskipun sejarah Abu Hurairah pada masa jahiliyah tidak dikenal, akan tetapi hal itu merupakan satu kewajaran; karena bangsa Arab –seluruhnyatenggelam dalam kejahiliyahan dan terkungkung di wilayah jazirahnya saja. Mereka tidak peduli dengan keadaan dunia. Begitu juga dunia tidak peduli dengan keadaan dan kondisi mereka, kecuali yang berhubungan dengan perniagaan, karena melintasi wilayah mereka.
Baru, ketika Islam datang, Allah memuliakan dan menjadikan mereka sebagai pengemban risalahNya. Jadilah setiap individu dari mereka memiliki sejarah yang ditulis menjadi bahan pembicaraan. Dan para perawi, selalu memperhatikan berita mereka. Dan mereka pun memiliki murid yang selalu mengambil ilmu dan petunjuk dari mereka
Para ahli sejarah mengetahui, bahwa terkenalnya seseorang dengan gelar atau julukannya merupakan perkara biasa dan wajar. Bahkan, terkadang seseorang berselisih dalam hal nama dan kunniyah (julukan)nya, sebagaimana khalifah pertama lebih dikenal dengan gelarnya, yaitu Abu Bakar. Begitu juga dengan Abu Ubaidah, Abu Dujanah dan Abu Darda’. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dan pahlawan dari kalangan sahabat. Namun lebih lebih dikenal dengan gelar-gelar mereka, hingga sebagian besar manusia tidak mengetahui nama mereka yang sebenarnya. Kita belum pernah mendengar, pada kurun waktu tertentu, bahwa kedudukan dan keturunan dapat menentukan penghargaan intelektualitas[5]. Karenanya, celaan dan pelecehan terhadap Abu Hurairah yang lebih dikenal dengan julukannya tersebut melebihi namanya adalah tidak benar. Apalagi para ulama Islam telah merajihkan namanya pada zaman Jahiliyah adalah Abdu Syamsi, dan setelah Islam berganti menjadi Abdurrahman. Kemudian tuduhan, bahwa dia tidak jelas asal usulnya, juga merupakaan satu kebodohan dari para penuduh ini, karena asal-usul dan nasab Abu Hurairah cukup terhormat.[6]
Apakah ihwal Abu Hurairah dalam hal ini berbeda dengan ihwal sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Lalu, mengapa ketidak jelasan sejarah kehidupan Abu Hurairah pada masa jahiliyah merusak kedudukan dan menghancurkan posisinya dalam Islam? Apakah Kitabullah ada menyebutkan, bahwa orang yang tidak dikenal sejarahnya sebelum Islam harus direndahkan dan dilecehkan posisi dan kedudukannya, serta diragukan semua riwayatnya berkaitan dengan haditshadits Rasul? Maha Suci Allah, sesungguhnya ini merupakan tuduhan dan tipu daya yang besar.[7]
2. Mereka menyatakan.
Abu Hurairah ada di Madinah hanya 1 tahun 9 bulan di Shuffah. Abu Hurairah datang kepada Rasulullah pada bulan Safar tahun 7 Hijriyah, setelah perang Khaibar dan tinggal di emperan Masjid Madinah (Shuffah) sampai bulan Zulkaidah tahun 8 Hijriyah, karena pada bulan itu ia disuruh Rasul ke Bahrain menemani Al Ala’ Al Hadhrami sebagai muadzdzin.[8]
Tanggapan
Pernyataan ini tidak benar. Sebab Abu Hurairah bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih[9]. Sebagaimana ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataannya:
لَقِيتُ رَجُلًا صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ سِنِينَ كَمَا صَحِبَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ
Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.[10]
Sedangkan kepergian Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menemani Al Ala’ Al Hadhrami, tidak menunjukkan bila beliau menetap disana sampai Rasulullah meninggal, apalagi adanya riwayat yang menyatakan beliau bermulazamah dengan Nabi selama empat tahun. Demikian juga pendapat yang didukung riwayat otentik, menunjukkan beliau ikut serta perang Khaibar meskipun tidak seluruhnya [11] dan mengikuti haji bersama Abu Bakar Ash Shidiq tahun 9H.
3. Mereka menyatakan.
Ia sendiri menceritakan bahwa ia mendatangi Rasul bukan karena ia mendapat hidayah atau karena kecintaannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang lain, tetapi untuk mendapatkan makanan.
Dalam riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah berkata: “Aku adalah seorang miskin, aku bersahabat dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku.” Dan dalam riwayat lain: “Untuk memenuhi perutku yang lapar.” Dalam riwayat Muslim: “Aku melayani Rasul Allah untuk mengisi perutku.” atau “Aku menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku” .[12]
Kemudian mereka menyatakan lagi :
Ia juga punya hobi makan. Karena kesukaannya yang berlebihan akan makanan, maka sering juga disebut sebagai pembawa ‘hadis lesung’ (lesung-al-mihras- alat untuk menumbuk dan mengulek makanan. Lihat, “Hadits Lalat” dan “Hadits Pundi-pundi”)[13]
Tanggapan.
Riwayat-riwayat yang dipakai mereka sebagai dasar tuduhan terhadap Abu Hurairah, bahwa beliau melakukan aktivitas mendengar hadits Rasulullah hanya untuk mencari sesuap nasi yang mengenyangkan perutnya; dengan kata lain, melakukannya hanya karena dunia yang rendah, memang diriwayatkan secara shahih dengan lafadz:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan “Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshor tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?” Sungguh, saudarasaudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jualbeli di pasar. Sedangkan saudara-saudaraku dari Anshor disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah n selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.[14]
Pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu dalam lafadz pertama “Allah-lah tempat (membuktikan) janji” maksudnya adalah, bahwa Allah akan menghisabku jika aku sengaja berdusta, (dan) sekaligus akan menghisab orang-orang yang menuduhku dengan tuduhan yang keji[15]. Adapun pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu : “selama perutku berisi”, yakni merasa telah puas dengan sesuap makanan, sehingga selalu hadir di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[16]
Dengan demikian, tuduhan terhadap beliau Radhiyallahu ‘anhu sangat dipaksakan dan tidak ilmiyah. Hal itu karena Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tidak sekedar menceritakan persahabatannya semata, sebagaimana persahabatan yang dimiliki sahabat lainnya. Namun, dalam pernyatannya tersebut, beliau Radhiyallahu ‘anhu juga ingin menceritakan keistimewaan (yang dimilikinya). Keistimewaan tersebut adalah kebersamaannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dimiliki sahabat lainnya.
Keistimewaan tersebut dijelaskan dengan caranya (yang) tawadhu’, dengan menyatakan: “Selama perutku berisi”, lalu menyebutkan keistimewaan para sahabat lainnya, sebagai orang-orang yang mampu dan kuat mencari penghidupan. Hal ini, demi Allah, merupakan kesantunan yang luar biasa.[17]
Tuduhan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu banyak makan dan ambisi mendapatkan makanan, serta bersahabat dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya karena makanan, bukan karena hidayah Islam atau kecintaan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh ini merupakan tuduhan keji yang hanya dilontarkan oleh orang yang hasad atau orang yang memiliki kerusakan syaraf. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang yang berakal dapat membenarkan pemahaman, bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu sanggup meninggalkan negerinya, kabilah dan tanah airnya demi menjumpai Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya (sekadar) untuk makan dan minum semata?
Apakah Abu Hurairah Radhiyallahu a’nhu di kabilahnya tidak mendapatkan makan dan minum? Lalu untuk apa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu datang ke Madinah? Apakah di negerinya ia tidak bisa mendapat makanan dan minuman sebagaimana yang diperoleh para petani dan pedagang disana? Tuduhan ini betul-betul pelecehan terhadap sahabat yang mulia ini. Dan para penuduh lebih layak dilecehkan dan diragukan keikhlasannya dibandingkan beliau Radhiyallahu ‘anhu. Sejauh inikah kebutaan hati dan kedengkian mereka?
Kemudian dalam pernyataan mereka ini terdapat penyimpangan makna, karena dalam riwayat tersebut bukan dengan lafazh “shuhbah” (bersahabat). Padahal yang benar, ialah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dengan lafazh “alzamu” (selalu menemani dan mengikuti).
Demikian juga Imam Muslim meriwayatkannya dengan lafadz: “Aku adalah seorang miskin yang melayani Rasul selama perutku berisi”. Hal ini menunjukkan penyimpangan yang jelas dari pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu, sebab kata “persahabatan” (shuhbah) tidak sama dengan kata “mulazamah” dan “al khidmah” (melayani dan membantu). Sehingga pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu ini untuk menjelaskan sebab banyaknya periwayatan beliau terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti telah jelas dari alur pernyataannya.
Para penuduh ini, disamping telah melakukan tahrif (penyimpangan) di atas, mereka juga memotong pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu sehingga merubah konotasi maknanya, sehingga terfahami bahwa pendorong utama persahabatan beliau adalah mencari sesuap makanan. Padahal semua itu beliau katakan untuk menjelaskan sebab yang menjadikannya sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Demikianlah, tahrif (menyimpangkan sesuatu dari lafazh atau makna sebenarnya), sudah menjadi adat kebiasaan orang yang menyimpang dari jalan lurus dan penyembah hawa nafsu.
Dari manakah mereka mengklaim (menganggap) diri mampu mengungkapkan secara benar dan jelas sebab persahabatan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Apakah mereka lebih tahu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah memberikan pengakuan dan pujiannya kepada Abu Hurairah?[18]
Mereka tidak cukup hanya dengan itu, bahkan menyatakan, bahwa makna lafazh (عَلَى) pada perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (‘عَلَىمِلء بَطْنِيْ) bermakna untuk yang menunjukkan sebab. Ini juga merupakan kedustaan dan penipuan lain, sekaligus sebagai bukti bila mereka selalu mencari jalan untuk menjatuhkan pribadi Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Pernyataan Abu Hurairah ini telah difahami dengan benar oleh para ulama Islam, seperti pernyataan Imam Nawawi ketika menjelaskan perkataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (ala mil’i bathni): maknanya, aku senantiasa mulazamah dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku rela dengan makananku. Aku tidak mengumpulkan harta untuk simpanan dan tidak untuk yang lainnya. Dan akupun tidak berusaha menambah porsi makanan bagiku. Adapun maksud pernyataan beliau Radhiyallahu ‘anhu “melayani”, bukan sebagai upaya untuk memperoleh gaji atau upah[19]. Sungguh sangat jelas kebatilan tuduhan ini.
4. Mereka menyatakan.
Ia mendatangi para sahabat seperti ‘Umar dan Abu Bakar dengan berpura-pura meminta dibacakan sebuah ayat Al Qur’an, menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawari makanan, tetapi tiada seorang sahabatpun menawarkan makanan kepadanya, kecuali Ja’far bin Abi Thalib, yang langsung mengajak Abu Hurairah ke rumahnya.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah: “Demi Allah, tiada lain kecuali Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena lapar, dan pada suatu hari, karena lapar, aku sering menekan perutku dengan batu sambil duduk di jalan tempat mereka keluar dari masjid. Aku bertemu dengan Abu Bakar dan aku bertanya kepadanya tentang ayat kitab Allah, dan aku tidak menanyainya kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu dan tidak melakukannya. Dan ‘Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai ayat kitab Allah, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia mengajak aku makan, dan ia tidak melakukannya.
Bukhari : “Aku bila bertanya mengenai sebuah ayat (Al Qur’an) kepada Ja’far (bin Abu Thalib), maka dia tidak akan menjawab kecuali setelah ia mengajakku ke rumahnya”. Di bagian lain : “Aku meminta kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk membacakan kepadaku ayat (Al Qur’an), yaitu artinya, agar dia memberi aku makan, dan dia (Ja’far bin Abu Thalib) adalah orang yang paling baik terhadap orang miskin. Ia mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan seadanya.”[20]
Tanggapan.
Kisah ini dibawakan imam Al Bukhari yang lengkapnya berbunyi:
اللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِنْ كُنْتُ لَأَعْتَمِدُ بِكَبِدِي عَلَى الْأَرْضِ مِنْ الْجُوعِ وَإِنْ كُنْتُ لَأَشُدُّ الْحَجَرَ عَلَى بَطْنِي مِنْ الْجُوعِ وَلَقَدْ قَعَدْتُ يَوْمًا عَلَى طَرِيقِهِمْ الَّذِي يَخْرُجُونَ مِنْهُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ وَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي عُمَرُ فَسَأَلْتُهُ عَنْ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ إِلَّا لِيُشْبِعَنِي فَمَرَّ فَلَمْ يَفْعَلْ ثُمَّ مَرَّ بِي أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَبَسَّمَ حِينَ رَآنِي وَعَرَفَ مَا فِي نَفْسِي وَمَا فِي وَجْهِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ وَمَضَى فَتَبِعْتُهُ فَدَخَلَ فَاسْتَأْذَنَ فَأَذِنَ لِي فَدَخَلَ فَوَجَدَ لَبَنًا فِي قَدَحٍ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ هَذَا اللَّبَنُ قَالُوا أَهْدَاهُ لَكَ فُلَانٌ أَوْ فُلَانَةُ قَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْحَقْ إِلَى أَهْلِ الصُّفَّةِ فَادْعُهُمْ لِي قَالَ وَأَهْلُ الصُّفَّةِ أَضْيَافُ الْإِسْلَامِ لَا يَأْوُونَ إِلَى أَهْلٍ وَلَا مَالٍ وَلَا عَلَى أَحَدٍ إِذَا أَتَتْهُ صَدَقَةٌ بَعَثَ بِهَا إِلَيْهِمْ وَلَمْ يَتَنَاوَلْ مِنْهَا شَيْئًا وَإِذَا أَتَتْهُ هَدِيَّةٌ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ وَأَصَابَ مِنْهَا وَأَشْرَكَهُمْ فِيهَا فَسَاءَنِي ذَلِكَ فَقُلْتُ وَمَا هَذَا اللَّبَنُ فِي أَهْلِ الصُّفَّةِ كُنْتُ أَحَقُّ أَنَا أَنْ أُصِيبَ مِنْ هَذَا اللَّبَنِ شَرْبَةً أَتَقَوَّى بِهَا فَإِذَا جَاءَ أَمَرَنِي فَكُنْتُ أَنَا أُعْطِيهِمْ وَمَا عَسَى أَنْ يَبْلُغَنِي مِنْ هَذَا اللَّبَنِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَطَاعَةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُدٌّ فَأَتَيْتُهُمْ فَدَعَوْتُهُمْ فَأَقْبَلُوا فَاسْتَأْذَنُوا فَأَذِنَ لَهُمْ وَأَخَذُوا مَجَالِسَهُمْ مِنْ الْبَيْتِ قَالَ يَا أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ خُذْ فَأَعْطِهِمْ قَالَ فَأَخَذْتُ الْقَدَحَ فَجَعَلْتُ أُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَأُعْطِيهِ الرَّجُلَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ فَيَشْرَبُ حَتَّى يَرْوَى ثُمَّ يَرُدُّ عَلَيَّ الْقَدَحَ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ رَوِيَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ فَأَخَذَ الْقَدَحَ فَوَضَعَهُ عَلَى يَدِهِ فَنَظَرَ إِلَيَّ فَتَبَسَّمَ فَقَالَ أَبَا هِرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَقِيتُ أَنَا وَأَنْتَ قُلْتُ صَدَقْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اقْعُدْ فَاشْرَبْ فَقَعَدْتُ فَشَرِبْتُ فَقَالَ اشْرَبْ فَشَرِبْتُ فَمَا زَالَ يَقُولُ اشْرَبْ حَتَّى قُلْتُ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا قَالَ فَأَرِنِي فَأَعْطَيْتُهُ الْقَدَحَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَشَرِبَ الْفَضْلَةَ
Demi, Allah. Tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Dia. Sungguh aku tempelkan perutku ke tanahkarena lapar dan aku ganjal perutku dengan batu menahan lapar. Sungguh, pada suatu hari aku duduk di jalan yang biasa mereka pakai pulang dari (bertemu) Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Abu Bakar melintasi jalan itu. Aku pun bertanya kepadanya tentang satu ayat Al Qur’an. Dan tidaklah aku menanyakannya, kecuali agar Abu Bakar menjamuku. Dia pun melewatiku dan tidak berbuat apa-apa. Lalu melintas di jalan itu, Umar bin Al Khaththab. Aku pun bertanya kepadanya satu ayat Qur’an. Dan tidaklah kutanyakan hal itu, kecuali agar ia menjamuku. Namun ia pun melintas dan tidak berbuat apa-apa. Kemudian setelah itu Abul Qasim Muhammad Shalalllahu ‘alaihi wa sallam.melintas di jalan itu seraya tersenyum ketika memandangku. Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. mengetahui yang sedangbergejolak dalam hatiku dan yang tersirat dariwajahku. Kemudian Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. memanggilku,”Wahai,Abu Hirr,” aku pun menjawabnya,”Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, ”Ikuti aku.” Beliau beranjak meninggalkanku dan aku pun mengiringi di belakang Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Beliau masuk rumah dan aku pun meminta izin dan diizinkan. Ketika Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. memasuki rumah, Beliau mendapati susu dalam gelas besar (bejana). Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. bertanya,”Darimana susu ini?” Mereka (isteri-isteri Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam ) Radhiyallahu ‘anhum menjawab,”Hadiah dari fulan atau fulanah untuk engkau.” Beliaupun memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.”Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi panggilanmu,wahai Rasul.” Beliau bersabda,”Temuilah Ahlush Shuffah dan undanglah mereka kesini.” Kata Abu Hurairah, Ahlush Shuffah adalah tamu Islam. Mereka tidak bersandar kepada keluarga tertentu. Tidak memiliki harta dan famili seorang pun juga. Jika datang kepada Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. shadaqah, Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. kirimkan makanan tersebut kepada mereka dan sama sekali tidak ikut mencicipi makanan tersebut. Jika datang kepada Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. berupa hadiah (untuknya), maka Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam pun mengirimkannya kepada Ahlush Shuffah dan ikut bersama menikmatinya. Hal itu kurang berkenan bagiku, maka aku berkata (dalam hati),”Apakah susu ini cukup untuk Ahlush Suffah?! Menurutku, akulah yang berhak pertama kali meminum susu agar aku menjadi kuat dengannya. Maka ketika Beliau datang, Beliau memerintahkan kepadaku untuk membagikannya kepada mereka. Padahal, mungkin susu itu tidak akan sampai kepadaku. Namun, mentaati Allah dan RasulNya merupakan keharusan, maka akupun mendatangi dan mengundang mereka. Lalu mereka datang dan mohon izin masuk. Kemudian Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkannya.Lalu mereka mengambil posisi masing-masing di tempat yang ada di rumah Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memanggilku,”Wahai, Abu Hirr.” Aku pun menjawabnya,”Kupenuhi panggilanmu, wahai Rasul ….” Beliau bersabda lagi,”Ambil dan bagikan kepada mereka.” Aku pun mengambil gelas dan memberikannya kepada salah seorang (diantara mereka); ia meminumnya hingga puas dan kenyang, lalu ia kembalikan gelas itu dan aku berikan kepada orang lain; lalu meminumnya sampai puas dan kenyang. Begitu seterusnya hingga berakhir kepada Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. dalam keadaan seluruh Ahlush Shufah kenyang. Lalu Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. mengambil gelas tadi dan meletakkannya di atas tangan Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. Seraya memandangku sambil tersenyum dan bersabda,”Wahai, Abu Hirr! Tinggal aku dan kamu (yang belum minum). Aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Duduk dan minumlah.” Akupun duduk dan meminumnya. Lalu Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam. bersabda lagi,”Minumlah,” lalu aku minum. Beliau terus memerintahkan kepadaku minum, sehingga aku berkata,”Cukup. Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku. Beliau bersabda,”Berikanlah kepadaku,” aku pun menyerahkan gelas tadi, kemudian Beliau Shalalllahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dan meminum susu yang tersisa.[21]
Mereka berdalih dengan kisah ini untuk menguatkan pernyataan mereka dalam mencela Abu Hurairah sebagai orang yang beramal untuk sesuap makanan. Akan tetapi, apakah karena kejadian tersebut, lalu kita tolak seluruh hadits-hadits beliau, hingga sampai menghina sebagai orang yang memiliki hobi makan dan disebut sebagai pembawa hadits lesung?!
Orang yang meneliti kehidupan para sahabat akan mendapatkan bahwa dalam hal seperti ini, beliau Radhiyallahu ‘anhu tidak sendirian. Ada diantara sahabat yang berbuat hal serupa, diantaranya Watsilah bin Al Asqa’ sebagaimana diriwayatkan Al Hakim dengan lafazh:
“Kami tinggal selama tiga hari. Setiap orang yang menuju masjid mengajak dua dan tiga orang sesuai dengan kemampuannya, dan memberi mereka makan”. Beliau berkata lagi,”Aku termasuk yang tidak dibawa selama tiga hari tiga malam. Tiba tiba aku melihat Abu Bakar di kegelapan malam. Aku pun mendatanginya dan memintanya untuk membacakan surat Saba’ hingga sampai di rumahnya. Aku berharap ia mengundangku makan malam. Lalu ia pun membacakannya kepadaku hingga depan pintu rumahnya, kemudian berhenti di depan pintu sampai selesai membacakan seluruhnya. Kemudian ia masuk dan meninggalkanku di luar. Kemudian aku menemui Umar. Aku berbuat seperti itu dan ia (pun) berbuat serupa dengan perbuatan Abu Bakar terdahulu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku menemui Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut padanya, dan Beliaupun menjamuku.” [22]
Apakah kita menolak seluruh hadits Waatsilah karena peristiwa ini?
Sedangkan kisah Abu Haurairah dengan Ja’far bin Abu Thalib dibawakan imam Bukhori dengan lafadz:
خَيْرُ النَّاسِ لِلْمَسَاكِينِ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَنْقَلِبُ بِنَا فَيُطْعِمُنَا مَا كَانَ فِي بَيْتِهِ حَتَّى إِنْ كَانَ لَيُخْرِجُ إِلَيْنَا الْعُكَّةَ لَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ فَنَشْتَقُّهَا فَنَلْعَقُ مَا فِيهَا
Sebaik-baik manusia terhadap orang miskin adalah Ja’far bin Abu Thalib. Dia terus mengunjungi kami dan memberi makan kami apa yang ada di rumahnya, sampai-sampai membawa tempat makanan tanpa berisi makanan. Kami pun memegangnya, lalu menjilati sisa yang ada di tempat makanan tersebut.[23]
Lihatlah perbedaan dan penukilan sembarangan yang menjadi ciri khas ahli bid’ah dan musuh Islam!
5. Mereka menyatakan:
Keperibadian Abu Hurairah lemah. Tatkala kembali dari Bahrain, Umar bin Khaththab mencurigainya menggelapkan uang baitul mal. ‘Umar menuduhnya sebagai pencuri dan menyebutnya sebagai musuh Allah dan musuh kaum muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab atau musuh Islam.[24]
Tanggapan.
Pernyataan mereka ini berdasarkan riwayat yang disampaikan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih tentang kisah kepulangan Abu Hurairah dari tugasnya sebagai Amir (Gubernur) Bahrain. Beliau menghadap Umar bin Khaththab dengan membawa uang sebanyak 400.000 dari Bahrain. Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepadanya: “Apakah engkau menzhalimi seseorang?”Ia menjawab,”Tidak.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, ”Apakah engkau mengambil sesuatu dengan tidak benar?” Ia menjawab, ”Tidak.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi, ”Berapa banyak yang engkau bawa untuk pribadi?” Ia menjawab, ”Sebanyak 20.000.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya, ”Dari mana engkau mendapatkannya?” Ia menjawab, ”Aku berdagang.” Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Hitunglah modal dan rizkimu (gajimu), maka ambillah. Sedang yang lainnya simpanlah di Baitul Mal.” [25]
Dalam lafazh Abu Ubaid, (disebutkan) Umar berkata kepadanya: “Wahai, musuh Allah dan musuh KitabNya. Apakah engkau mengambil (mencuri) harta?” Ia menjawab,”Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya dan aku tidak mencuri harta Allah.” Umar bertanya kembali: “Dari mana terkumpul untukmu uang sejumlah 10.000 dirham?” Ia menjawab,”Kudaku berkembang biak. Pemberian untukku selalu aku dapatkan. Begitu juga sahamku (bagianku dari pembagian rampasan perang) juga berkembang dan bertambah.” Lalu Umar mengambilnya dariku. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Ketika kutunaikan shalat Shubuh, aku mintakan ampunan untuk Amirul mukminin.” [26]
Perhatikanlah! Bagaimana para musuh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memanfaatkan perkataan keras Umar Radhiyallahu ‘anhu ini untuk mencaci Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, kemudian menuduhnya telah mencuri dan merampas; padahal permasalahannya tidaklah demikian. Umar Radhiyallahu ‘anhu melakukan pengambilan sebagian harta tersebut terhadap beberapa pejabatnya[27] dan tidak mengkhususkan kepada Abu Hurairah saja. Sebabnya, ketika Amr bin Ash Sha’iq melihat harta para pejabat semakin bertambah banyak, ia merasa aneh, lalu menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab dalam bentuk bait-bait syi’ir[28]. Lalu Umar Radhiyallahu ‘anhu pun mengirim utusan kepada para petugas. Diantara mereka adalah Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, lalu ia mengambil harta mereka menjadi setengah bagian[29]. Begitu juga ia memutasi Abu Musa Al Asy’ari dari tugas di Bashrah, dan hartanya dibagi menjadi dua bagian. Demikian juga pada Al Haarits bin Wahb.[30]
Umar Radhiyallahu ‘anhu tidaklah menuduh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dan tidak juga hanya mengambil harta miliknya saja. Bahkan itulah sistem politik Umar Radhiyallahu ‘anhu terhadap para pejabatnya; bukan atas dasar syubhat, namun itu merupakan ijtihad dan kehebatan beliau dalam mengatur perkara-perkara kaum muslimin[31]. Sungguh Umar Radhiyallahu ‘anhu sangat mencintai sahabat, sebagaimana ia mencintai dirinya. Dan beliau sangat tidak suka, bila salah seorang dari mereka mendapatkan harta yang berbau syubhat. Perbuatan beliau ini banyak diriwayatkan dalam perjalanan hidupnya.[32]
Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu khawatir atas mereka. Jangan-jangan orang bermu’amalah dalam perdagangan dan usaha dengan mereka karena jabatan yang disandangnya. Karenanya, beliau mengambil sebagian dari harta mereka dan meletakkannya di Baitul Mal agar terlepas tanggungjawabnya di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian ia pun memberikan kepada mereka dari harta Baitul Mal sesuai jumlah yang layak. Dengan demikian menjadi halallah bagi mereka, tanpa ada syubhat.[33]
Para penuduh tersebut hanya memandang dan menukil riwayat ini sesuai dengan keinginannya, lalu menjadikanya sebagai senjata untuk menyerang sahabat Abu Hurairah dan menuduhnya berkepribadian lemah, tanpa menyebutkan riwayatnya secara lengkap. Padahal dalam riwayat tersebut terdapat bantahan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu terhadap Umar Radhiyallahu ‘anhu , yaitu ketika Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya “Wahai, musuh Allah dan musuh kitabNya. Apakah engkau telah mencuri harta Allah?”, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Aku bukan musuh Allah dan bukan musuh KitabNya. Akan tetapi aku adalah musuh bagi yang menentang keduanya.”
Dengan demikian jelaslah, bahwa Umar tidak mencurigai dan menuduh Abu Hurairah mencuri. Hal ini dibuktikan dengan keinginannya mengangkat kembali Abu Hurairah untuk kedua kalinya. Sebagaimana diriwayatkan Abu Ubaid setelah riwayat di atas dengan bunyi: “Kemudian, setelah itu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku: “Bukankah engkau mau bertugas kembali?” Aku menjawabnya: “Tidak”. Ia berkata: “Mengapa (tidak mau), padahal telah bertugas orang yang lebih baik darimu, yakni Yusuf”. Akupun menimpalinya, ”Sesungguhnya Yusuf seorang nabi dan anak seorang nabi pula. Sedangkan aku adalah anak Umaimah, dan aku takut tiga dan dua”. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata,”Kenapa engkau tidak berkata lima?” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Aku takut berbicara tanpa dasar ilmu dan memutuskan tanpa hilm (sabar dan hati-hati).” Atau ia berkata: “Aku berkata tanpa hilm (sabar dan hati-hati), dan aku memutuskan perkara tanpa dasar ilmu”.
Seorang perawi (dari Ibnu Sirin.) berkata: “Keraguan ini berasal dari Ibnu Sirin”. (Lalu Abu Hurairah berkata lagi, Edt),”Dan aku takut akan dipukul punggungku dan dicela kehormatanku dan diambil hartaku dengan paksa.” [34]
Seandainya Umar Radhiyallahu ‘anhu telah mengetahui Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu pernah berkhianat, niscaya tidak akan memakainya sama sekali dan tidak akan memanggilnya untuk kedua kalinya. Seandainya Khalifah Umar Radhiyallahu ‘anhu meragukan sedikit saja sifat amanah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, tentu beliau akan menghakimi dan menghukumnya dengan hukuman syar’i. Beliau telah mengetahui sifat amanah dan keikhlasannya, maka beliaupun kembali menemui Abu Hurairah meminta menjadi pejabat beliau.[35]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Semua tuduhan dan kecaman dalam pembahasan ini diambil dari sebagian syubhat yang dilontarkan dalam buku Saqifah Awal Perselisihan Umat, karya seorang penganut Syi’ah bernama O. Hashem, Cetakan ketiga tahun 1415 H –1994 M, Penerbit Al Muntazhar, Jakarta Barat.
Hal ini dilakukan karena buku ini hanya menukil tuduhan dan kecaman para pendahulunya dari kalangan orang Syi’ah dan musuh-musuh Islam. Peringatan kami, hendaklah kaum muslimin berhati-hati terhadap buku ini karena berisi kebohongan dan kelicikan dalam mengolah kata, sehingga dapat mengelabuhi kaum muslimin yang tidak memiliki dasar pengetahuan Islam yang baik. Kemudian jawabannya kami ambil dari kitab Difa’un ‘An Abi Hurairah, karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Al Syuruq, Bairut dan juga kitab As Sunnah Qabla At Tadwin, karya Dr. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib, Cetakan kelima, Tahun 1401 H, Dar El Fikar, Bairut, dan kitab-kitab hadits serta beberapa referensi lainnya.
[2] Kami gunakan kata “mereka” disini, karena tuduhan ini juga dilontarkan oleh orang lain, baik di Indonesia atau di negara lainagar lebih bersifat umum. Karena penulis buku Saqifah hanya mengekor dan menukil dari orang lain, diantaranya Abu Rayah (di Mesir) atau orang-orang Syi’ah lainnya.
[3] Saqifah, op.cit. hlm. 12.
[4] Ibid. hlm. 20
[5] Dikutip dari kitab Difa’un ‘An Abu Hurairah, yang merupakan pernyataan Al Ustadz Al Kahthib dalam kitab Abu Hurairah Rawiyatul Islam, hlm. 213.
[6] Lihat biografi beliau dalam Mabhats majalah ini; Kehidupan Sahabat yang Mulia Abu Hurairah.
[7] Dikutip dari pernyataan Dr. As Siba’i dalam Sunnah Wa Makanatuha, hlm. 307.
[8] Saqifah, op.cit. hlm. 11.
[9] Siar A’lami An Nubala, karya Adz Dzahabi, Tahqiq Syu’aib Al Arnauth, Maktabah Ar Risalah, Bairut, hlm. II/426.
[10] Musnad Ahmad, no. 16793; Abu Dawud, dalam Sunan-nya, kitab Ath Thaharah, Bab An Nahyu ‘An Dzalika, no. 73, hlm. I/19; An-Nasa’i, dalam Sunan-nya, kitab Az Zinah, Bab Al Akhdzi ‘An Asy Syarib, no. 4968, hlm. I/130 dengan sanad-sanad yang shahih.
[11] Lihat Riwayat-riwayat tersebut dalam kitab Difa’un ‘An Abi Hurairah, karya Abdul Mun’im Al’Izzi, hlm. 25-26.
[12] Saqifah, op.cit. 12.
[13] Ibid, hlm. 14.
[14] Al Bukhari, dalam Shahih-nya, kitab Al Buyu’, Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Ash Shalat, no. 1906 – III/135 dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad, hadits no. 7273.
[15] Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, tanpa tahun, Maktabah As Salafiyah, hlm. V/28.
[16] Fathul Bari, op.cit. IV/288.
[17] Dari pernyataan Al Mu’alimi rahimahullah dalam Al Anwar Al Kasyifah, hlm. 147.
[18] Lihat pujian Rasulullah kepadanya dalam mabhas Abu Hurairoh dalam pandangan salaf al Sholeh.
[19] Syarh An Nawawi terhadap Shahih Muslim, Tashhih Syaikh Khalil Ma’mun Syaiha, Cetakan ketiga, Tahun 1317 H, Dar Al Ma’rifah, Baerut, hlm. XV/270.
[20] Saqifah, op.cit. hlm. 12.
[21] Shahih Al Bukhari, kitab Ar Riqaq, Bab Kaifa ‘Isy Rasulullah Wa Ashhabihi Wa Takhallihim Min Ad Dunya, no. 5971, hlm. VIII/120.
[22] Dinukil dari Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 45-46, dari Al Mustadrak, IV/116.
[23] Al Bukhari, dalam Shahih-nya, kitab Al Ath’imah, BabAl Halwa Wal Asl, no. 5431, hlm. IX/557.
[24] Saqifah, op.cit. hlm. 13.
[25] Thabaqat Ibnu Sa’ad, IV/336 dengan sanad yang shahih.
[26] Al Amwal, oleh Abu Ubaid, hlm. 269.
[27] Al Bidayah Wan Nihayah, VlIII/13.
[28] Al Amwal, oleh Abu Ubaid, hlm. 269. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di halamaan 225 dari Thabaqat Ibnu Sa’ad,105/J.3/Q.2.
[29] Al Amwal, oleh Abu Ubaid, hlm. 269; dinukil dari Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 141 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj Al Khathib menyebutkan di halaman 225 dari Tahabaqat lbnu Sa’ad, 105/J.3/Q.2.
[30] Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 140 dan menyatakan bahwa Muhammad ‘Ajaj mengisyaratkan di halaman 225, bahwa Ibnu Abdi Rabbih menyebutkan berita keduanya dalam Al Aqdu Al Farid, I/33.
[31] Abu Hurairah Rawiyatul Islam, halaman 225; As Sunnah Qabla At Tadwin, halaman 438.
[32] Al Anwaar Al Kasyifah, karya Abdurrahman Al Mu’allimi, hlm. 213.
[33] Ibid.
[34] Al Amwal, oleh Ibnu Ubaid, hlm. 269 dengan sanad yang shahih dari jalan Yazid bin Ibrahim At Tasaturi dari lbnu Sirin, dan kisah itu sendiri dalam Al Mustadrak, 11/ 347 dan Uyunu Al Atsar, I/53. diambil dari Difa’un ‘An Abu Hurairah, op.cit. hlm. 142.
[35] As Sunnah Qabla At Tadwin, hlm. 438.
ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU TERANIAYA (2)
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Mencela dan melecehkan para sahabat dengan penghinaan dan tuduhan ngawur merupakan cara-cara pengikut iblis dan musuh-musuh Islam. Mereka, sebenarnya bertujuan mencela dan merendahkan para saksi kebenaran Islam, dan hendak mencela Rasulullah. Yaitu dengan menyatakan, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sahabat-sahabat yang jelek dan tidak memilih sahabat yang baik saja. Dengan cara ini, mereka ingin menghancurkan dan memadamkan cahaya Islam. Akan tetapi, mereka tidak akan mampu. Allah tidak ingin cahaya agamaNya padam, bahkan Allah menyempurnakan cahaya agamaNya, meskipun kaum kafir pengikut iblis tidak suka dan marah.
Mereka hendak memadamkan sunnah Rasulullah dengan slogan-slogan yang seakan rahmat dan ilmiyah, namun hakikatnya menyimpan dendam, penipuan besar dan pandir. Misalnya dengan mengusung istilah “studi kritis hadits”, “studi ilmiah dan kebebasan berpendapat”. Ini semua hanyalah tipuan belaka dan fatamorgana. Tujuannya satu, yaitu menghancurkan Islam dengan segala cara. Oleh sebab itu, wahai kaum muslimin. Berhati-hatilah terhadap racun yang ditebarkan dimana-mana untuk merusak aqidah dan syariat kita.
Diantara sahabat yang menjadi sasaran mereka adalah perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu . Dalam makalah singkat ini, kami berusaha mengungkap beberapa tuduhan yang dilontarkan musuh Islam.
kepada Abu Hurairah, yang merupakan tokoh besar dalam periwayatan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami berusaha membantah dan membedahnya dengan tetap memohon kemudahan dan petunjuk Allah.
Berikut beberapa tuduhan dan kecaman para musuh Islam yang dilontarkan secara zhalim atas diri Abu Hurairah.
6. Mereka menyatakan:
Karena seringnya ia meriwayatkan hadits, Ummul Mukminin ‘A’isyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai berbicara tak keruan (mazzah), berbohong (kadzdzab) dan lain-lain. Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan mengucapkan sebuah hadits di zaman Umar. Ummul Mukminin ‘Aisyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasul bercerita seperti yang disampaikan Abu Hurairah. ‘Ali menamakannya pembohong umat. Demikian juga tokoh-tokoh yang terdahulu.[36]
Mereka juga menyatakan:
Hadits-hadits yang disampaikan Abu Hurairah, menurut Abu Muhammad bin Hazm berjumlah 5.374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadits yang disampaikan oleh keempat Khulafa’ur- Rasyidin, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadits (yang dimasukkan dalam Bukhari, 22), ‘Umar 537 hadits (yang dianggap shahih, 50), ‘Utsman 146 (Bukhari memasukkan 9 hadits, Muslim 5), dan ‘Ali 586 hadits (yang diangap shahih, 50); semuanya hanya 1.411 hadits dan itu berarti cuma 21 % dari jumlah hadits yang disampaikan Abu Hurairah seorang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayatayat Al Qur’an.
Sebagai perbandingan, maka seluruh hadits yang disampaikan Abu Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasul, hanya diperoleh Abu Hurairah dalam 16,7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, ‘Umar dalam 63,1 hari, ‘Utsman dalam 17,1 hari, ‘Ali dalam 68,9 hari, Thalhah bin ‘Ubaidilah dalam 4,4 hari, Salman al-Farisi dalam 7 hari. Zubair bin al Awaam dalam 1,1 hari, ‘Abdul Rahman bin ‘Auf dalam 1 hari. Dan seluruh haditsnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasul Allah SAW wafat, sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral haditsnya. [37]
Tanggapan:
Apakah benar para sahabat utama menuduh Abu Hurairah berdusta sebagaimana anggapan di atas. Sungguh, semua itu tidak benar. Sebab para sahabat besar seperti Abu Bakar, ‘Umar dan lain-lainnya memberikan pengakuan dan menerima hadits Abu Hurairah.[38] Sedangkan riwayat mereka tentang tuduhan Abu Hurairah telah berdusta berasal dari riwayat Al Nadzam atau Bisyr Al Mirrisi atau Abu Ja’far Al Iskafi yang merupakan musuh besar, penentang Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Adapun yang dinisbatkan kepada ‘Umar bahwa beliau mengancam akan memukul dan mengasingkan Abu Hurairah apabila ia meriwayatkan hadits, ini diambil dari kitab lbnu ‘Asakir, bahwa Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu : “Engkau akan sungguh-sungguh tidak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau aku pulangkan anda ke negeri Daus?” Dan kitab Ibnu ‘Asakir termasuk yang banyak memuat hadits-hadits dhaif (lemah), bahkan maudhu’ (palsu). Jika benar pernyataan tersebut, dapat difahami, bahwa kekhawatiran Umar Radhiyallahu ‘anhu itu ialah terhadap hadits-hadits yang terkadang dibuat oleh orang (yang diletakkan) bukan pada tempatnya, disebabkan mereka banyak membicarakan hadits-hadits yang mengandung masalah rukhsah (keringanan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), juga karena (dikhawatirkan) jika seseorang memperbanyak meriwayatkan hadits memungkinkannya terjadi kesalahan atau kekeliruan, lalu orang-orang meriwayatkannya atau yang semisalnya.[39]
Namun, tampaknya zhahir kisah ini menunjukkan, bila hadits ini merupakan kepalsuan yang dilakukan oleh Rafidhah yang ingin menampakkan kesan kebencian Umar Radhiyallahu ‘anhu kepada hadits-hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pernyataan Umar Radhiyallahu ‘anhu sendiri menjadi bukti yang menunjukkan adanya kontradiksi isi kandungannya. Artinya, ancaman Umar Radhiyallahu ‘anhu kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan mengasingkannya ke negeri Daus tanah airnya tidaklah perlu, sebab pengasingan itu tidak tepat. Juga, periwayatan hadits-hadits tidak membutuhkan nasihat Umar Radhiyallahu ‘anhu, jika dimaksudkan untuk menjaga hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bila yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu itu tidak shahih, tidak benar pula Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menghindari daerah Daus, sebuah negeri yang juga dapat melindunginya? Jika haditshadits Abu Hunairah Radhiyallahu ‘anhu itu tidak shahih menurut pandangan Umar Radhiyallahu ‘anhu, niscaya ia akan secepatnya memotong lisan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan tidak perlu mengasingkannya ke negeri kaumnya atau ke daerah lainnya.[40]
Terdapat juga kisah ‘Umar menerima persaksian dan riwayat Abu Hurairah. Diantaranya kisah yang diriwayatkan Imam Al Bukhari rahimahullah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
لَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوَشْمِ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَقُمْتُ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَنَا سَمِعْتُ قَالَ مَا سَمِعْتَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَشِمْنَ وَلَا تَسْتَوْشِمْنَ
Umar mendatangi seorang wanita yang bertato, lalu ia berdiri seraya berkata,”Bersumpahlah kalian dengan nama Allah. Siapakah diantara kalian yang mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tato?” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Akupun bangkit dan berdiri, seraya berkata,”Saya mendengarnya, wahai Amirul Mukminin.” Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya, ”Bagaimana yang engkau dengar?” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menjawab, ”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian bertato dan meminta untuk ditato.”[41]
Ini semua merupakan bantahan langsung dari perbuatan ‘Umar atas berita bohong yang dinisbatkan kepadanya.
Demikian juga kisah ‘Aisyah yang disebutkan dalam tuduhan mereka di atas adalah pernyataan beliau.
أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ جَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْمِعُنِي ذَلِكَ وَكُنْتُ أُسَبِّحُ فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ عَلَيْهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الْحَدِيثَ مِثْلَ سَرْدِكُمْ
Tidakkah Abu Hurairah membuatmu heran (wahai Urwah), ia datang lalu duduk di samping kamarku menyampaikan hadits dari Rasulullah,memperdengarkannya kepadaku dan aku sedang shalat sunnah, lalu ia pergi sebelum aku menyelesaikan shalat sunnahku. Seandainya aku mendapatinya, tentu aku akan membantahnya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan hadits seperti yang kalian sampaikan. [42]
Inilah sebab pengingkarannya, Aisyah Radhiyallahu ‘anha tidak melemahkannya dan tidak juga menuduhnya sebagai pendusta sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penuduhnya. Sekalipun demikian, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha tetap mengakui, bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meninggalkan tempat sebelum ia selesai dari shalatnya. Padahal waktu shalat bukanlah waktu yang lama.
Adapun pernyataannya “Seandainya aku mendapatinya, tentu aku akan membantahnya,” yakni niscaya aku akan menegurnya dan menjelaskan, bahwa pelan dalam menyampaikan hadits itu lebih baik daripada memaparkannya secara cepat.[43] Perkataan Aisyah Radhiyallahu ‘anha “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan hadits seperti yang kalian sampaikan,” yaitu menyampaikan hadits dengan pelan dan tersusun rapi, berurutan (menyelesaikan yang satu, kemudian baru yang lainnya), agar tidak bercampur bagi yang mendengarnya.
Dalam pernyataan ‘Aisyah tersebut, tidak ada yang menunjukkan bila ia menolak hadits Abu Hurairah atau menuduhnya telah berdusta atas nama Nabi, atau membuat-buat hadits palsu. Bahkan ‘Aisyah menerima dan membenarkan periwayatan Abu Hurairah sebagaimana dalam hadits Khabab yang bertanya kepada Ibnu Umar:
يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ فَأَرْسَلَ ابْنُ عُمَرَ خَبَّابًا إِلَى عَائِشَةَ يَسْأَلُهَا عَنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ فَيُخْبِرُهُ مَا قَالَتْ وَأَخَذَ ابْنُ عُمَرَ قَبْضَةً مِنْ حَصْبَاءِ الْمَسْجِدِ يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ حَتَّى رَجَعَ إِلَيْهِ الرَّسُولُ فَقَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ صَدَقَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَضَرَبَ ابْنُ عُمَرَ بِالْحَصَى الَّذِي كَانَ فِي يَدِهِ الْأَرْضَ ثُمَّ قَالَ لَقَدْ فَرَّطْنَا فِي قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ
Wahai, Abdullah bin Umar. Tidakkah engkau mendengar yang disampaikan Abu Hurairah, bahwaia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya dan menshalatkannya, kemudian mengiringinya sampai dikubur, maka ia mendapat pahala dua qirath. Setiap qirath seperti Gunung Uhud. Barangsiapa yang menshalatkan jenazah kemudian pulang, maka mendapat pahala seperti Gunung Uhud”. Lalu Ibnu Umar mengutus Khabab kepada ‘Aisyah untuk menanyakan perkataan Abu Hurairah tersebut, kemudian kembali kepadanya memberitahukan pernyataan ‘Aisyah. Lalu Ibnu Umar mengambil segenggam krikil masjid yang ia bolak-balikkan di tangannya sampai datang utusannya tersebut. Lalu utusan itu berkata: ‘Aisyah berkata, ”Benar Abu Hurairah.” Lalu Ibnu Umar membuang kerikil-kerikil yang ada di tangannya ke tanah, kemudian berkata: “Kita telah kehilangan banyak qirath.”[44]
Sedangkan pernyataan Imam ‘Ali yang mereka kemukakan di atas merupakan kedustaan, sebagaimana disampaikan penulis kitab Difa’ ‘An Abu Hurairah: Tidak ada referensi yang valid dan terpercaya yang menunjukkan adanya pernyataan menyakinkan, bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu menuduh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu telah berdusta, atau melarangnya meriwayatkan hadits. Akan tetapi, sebagian musuh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berusaha berargumen dengan mengambil riwayat dari Abu Ja’far Al Iskafi, bahwa ketika mendengar hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, (maka) Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya sedusta-dusta orang…,” atau ia berkata: “Sedusta-dusta orang terhadap Rasulullah Radhiyallahu ‘anhu ialah Abu Hurairah Ad Dausi”
Riwayat ini adalah dhaif (lemah) dan tertolak. Sebab, jalur sanadnya dari Al Iskafi; ia seorang pengikut hawa nafsu, sekaligus menyeru orang mempertuhankan hawa nafsunya. Disamping itu, ia juga seorang rawi yang tidak tsiqah.[45]. Demikian ini merupakan dusta besar yang telah disingkap kebohongannya, berdasarkan kesepakatan sebagian besar putra, sahabat dan para panglima Ali Radhiyallahu ‘anhu, serta sejumlah tokoh Syi’ah generasi awal dan anak keturunan Al Hasyimi tetap diam dan terus meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, atau meriwayatkan haditsnya melalui jalan periwayatan orang-orang terpercaya (tsiqat) jika mereka tidak mendengarnya langsung dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu .[46]
Seandainya ada peringatan dan pengingkaran para sahabat terhadap banyaknya riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , berarti ini menunjukkan kepada kita, bahwa mereka selalu mengutamakan kehati-hatian, ketelitian, kejelian dalam meriwayatkan dan menyandarkan cara periwayatannya. Mereka tidak memperbanyak (menyampaikan hadits), karena takut terjatuh pada kekeliruan.
Ketika Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memaparkan yang didengarnya, tidak ada perasaan takut seperti mereka. Hal ini, karena kepercayaan Abu Hurairah terhadap hafalan serta daya ingatnya. Sehingga, bukanlah sesuatu yang aneh dan salah, jika kita mendapatkan ada orang yang memandang penting memperbanyak riwayat, sedangkan yang lain membatasi dengan mengingkari banyaknya riwayat Abu Hurairah. Khususnya, apabila seorang sahabat mendapatkan dhahir hadits-hadits yang memerintahkan untuk membatasi dalam meriwayatkan hadits dengan merajihkannya dari hadits-hadits lain, yang memerintahkan untuk menyampaikan dan memperbolehkan meriwayatkan hadits (secara bebas) -atau barangkali- belum mendengar hadits-hadits lainnya.[47]
Kemudian mereka mulai mempertanyakan mengapa Abu Hurairah banyak menyampaikan hadits melebihi para sahabat besar lainnya, seperti Khulafa’ur Rasyidin. Usaha memperbandingkan riwayat Abu Hurairah dengan riwayat Khulafa’ur Rasyidin dalam jumlah hadits yang diriwayatkan mereka merupakan satu kesalahan yang besar, dengan dasar-dasar sebagai berikut:
1. Memang benar bahwa Khulafa’ur Rasyidin telah mendahului Abu Hurairah dalam persahabatan dan keislaman serta penerimaan hadits. Namun mereka sibuk mengurus permasalahan negara dan pengaturan hukum serta pengiriman para ulama, ahli Qur’an dan Qadhi’(hakim). Sehingga mereka menunaikan amanat yang mereka emban sebagaimana mereka telah menunaikan amanat mengurus permasalahan umat. Sebagaimana kita tidak mencela Khalid bin Al Walid dengan sedikitnya periwayatannya dari Rasulullah karena sibuk dengan jihad. Demikian juga tidak mencela Abu Hurairah dengan banyaknya periwayatannya karena sibuk dengan ilmu. Setiap orang dimudahkan Allah kepada yang terbaik baginya.
2. Abu Hurairah meluangkan seluruh waktu dan pikirannya kepada ilmu dan pengajaran tanpa ikut serta dalam politik. Ditambah dengan kebutuhan orang kepada beliau karena usianya yang panjang. Dengan demikian membuat perbandingan antara beliau dengan sahabat-sahabat besar atau Khulafa’ur Rasyidin tidak dapat dianggap benar.[48]
Rasa aneh dan tuduhan memperbanyak hadits telah dijawab oleh Abu Hurairah sendiri dengan pernyataannya:
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكُمْ تَقُولُونَ إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ يُكْثِرُ الْحَدِيثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُونَ مَا بَالُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ لَا يُحَدِّثُونَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَإِنَّ إِخْوَتِي مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالْأَسْوَاقِ وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِلْءِ بَطْنِي فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
Sesungguhnya Abu Hurairah berkata: Kalian akan menyatakan, bahwa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits. Dan Allahlah tempat (untuk membuktikan) janji. Juga mengatakan “Mengapa orang-orang Al Muhajirin dan Anshar tidak banyak meriwayatkan hadits, seperti periwayatan Abu Hurairah?” Sungguh, saudarasaudaraku dari Muhajirin disibukkan dengan jualbeli di pasar. Sedangkan saudara-saudaraku dari Anshar disibukkan oleh pengelolaan harta mereka. Adapun aku seorang miskin yang selalu mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama perutku berisi. Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku ingat dan paham saat mereka lupa.”[49]
Dalam lafazh Imam Ahmad: “Sedangkan aku adalah seorang yang i’tikaf (berdiam diri di masjid (Ahlus Sifah), dan paling banyak turut serta dalam majelis-majelis Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aku hadir saat mereka tidak hadir, dan aku menghafalnya
ketika mereka lupa”[.50]
Dalam lafazh Al Hakim: “Sungguh, isteri ataupun jual-beli di pasar tidak menyibukkan (melalaikan) kami dari turut serta bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam, melainkan aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu kalimat yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepadaku, atau sesuap makanan yang Beliau berikan kepadaku”.[51]
Kita lihat dalam pernyataan dan sejarah Abu Hurairah, ia telah mencurahkan seluruh kemampuannya untuk mendengar, menghafal dan menyaksikan seluruh peristiwa yang berkaitan dengan diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ditambah dengan kekuatan hafalan dan lamanya waktu bermulazamah setelah berdatangan orang untuk masuk Islam. Tentu hal ini meembuatnya dapat menghafal hadits-hadits yang tidak ditemui di kalangan sahabat lainnya.
Terbukti. Kita mendapati sebagian besar kibar sahabat (tokoh-tokoh besar sahabat) telah menyadari dan mengakui, bahwa mereka telah disibukkan dengan jual-beli di pasar daripada mendengarkan sebagian hadits-hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana telah dilukiskan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Lihatlah, Al Faruq Umar bin Khaththab mendengar sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari, lalu ia mengingkarinya, sampai kemudian Abu Sa’id Al Khudri bersaksi menguatkan Abu Musa Al Asy’ari, bahwa ia mendengar hadits itu juga, lalu Umar (pun) berkata: “Aku belum mengetahui hadits ini termasuk perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jual-beli di pasar telah melalaikanku dari mendengar hadits ini”.[52]
Bahkan tidak hanya jual-beli semata yang melalaikannya. Juga tempat tinggal beliau (Umar bin Al Khaththab) yang berada di ‘Awali [53] Madinah telah pula melalaikannya. Tidak seperti Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang hanya beberapa langkah dari kamar ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Sehingga tidaklah aneh jika Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh sahabat-sahabat lama (tokoh besar sahabat).[54]
Dengan demikian tertolaklah tuduhan orangorang yang beralasan dengan sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh kibarush shahabah (sahabat senior) untuk menolak dan mendustakan riwayat-riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang telah banyak meriwayatkan hadits. Tidak lain, mereka sendirilah yang telah berdusta. Sedikitnya riwayat dari sahabat senior Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak lain karena mereka telah wafat sebelum dibutuhkan umat. Dan yang banyak riwayatnya, hanyalah dari Umar bin Al Khaththab dan Ali bin Abi Thalib. Sebab, keduanya dijadikan pemimpin (kaum muslimin), sehingga ditanya dan memutuskan perkara kaum muslimin.
Seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para pemimpin tauladan yang dicontoh dan dikenang semua amal yang mereka kerjakan. Mereka dimintai fatwa dan berfatwa; mereka mendengar hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyampaikannya. Sehingga banyak sahabat-sahabat senior yang lebih sedikit haditsnya dibanding dengan lainnya; seperti: Abu Bakar, Utsman, Thalhah, Az Zubair, Sa’ad bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Sa’ad bin Zaid bin Amr bin Naufal, Ubay bin Ka’ab, Sa’ad bin Ubadah, Ubadah bin Ash Shamith, Usaid bin Khudhair, Muadz bin Jabal dan lainnya yang segenerasi dengan mereka g . Mereka tidak kita dapatkan banyak meriwayatkan hadits sebagaimana para sahabat-sahabat muda, seperti: Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id Al Khudri, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Abdullah bin Amr bin Al Ash, Abdullah bin Abbas, Rafi’ bin Khudaij, Anas bin Malik, Al Barra’ bin Azib dan yang segenerasi dengan mereka; sebab mereka hidup (setelah para tokoh tua sahabat) dan berumur panjang, sehingga orang-orang membutuhkan mereka. Sementara itu, banyak para sahabat sebelum dan setelahnya meninggal bersama ilmunya. Sebagian mereka ada yang tidak menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mungkin lebih lama bersahabat, belajar dan mendengar hadits Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan dengan orang yang meriwayatkan hadits. Tetapi kita memahami hal ini, karena mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Atau yang bersangkutan tidak perlu menyampaikan, karena sudah banyak sahabat-sahabat lainnya yang telah meriwayatkan hadits. Atau karena kesibukkan mereka dengan ibadah dan pergi berjihad di jalan Allah hingga mereka wafat, dan tidak satu pun hadits yang diriwayatkannya.
Al Mu’allimi rahimahullah berpendapat, disana ada dua tugas. Yang pertama, menerima hadits dan mendapatkan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang kedua, adalah tugas menyampaikan. Adapun menerima hadits dan penjelasan langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (talaqqi), maka para sahabat tidak mampu terus-menerus secara konsisten bermulazamah (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ini berbeda dengan Anas dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma yang secara terus-menerus mengikuti dan melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga secara pasti menunjukkan, bahwa keduanya menerima langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak, dibandingkan dengan talaqqi para sahabat yang sibuk dengan perdagangan dan pertaniannya. Disamping itu, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu memiliki antusiasme yang tinggi terhadap ilmu, juga talaqqi hadits-hadits yang dihafal orang-orang yang telah mendahuluinya bergaul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga terkadang Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkannya dari mereka.[55]
Adapun dalam hal menyampaikan. Sesungguhnya Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu hanya hidup pada masa penyampaian hadits selama kurang lebih dua tahun, dan dalam keadaan sibuk melaksanakan tugas menata permasalahan kaum muslimin. Sedangkan Umar Radhiyallahu ‘anhu -pada masa Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, – ia disibukkan dengan tugas kementerian (pendamping Abu Bakr) dan perdagangan. Setelah wafatnya Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, Umar pun sibuk menata dan mengatur urusan kaum muslimin.
Diriwayatkan dalam kitab Al Mustadrak, bahwa Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu mewasiatkan sahabat-sahabatnya untuk mencari ilmu. Lalu ia menyebutkan kepada mereka nama-nama: Abu Darda’, Salman, Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Sallam, Radhiyallahu anhum. Lalu Yazid bin Umairah berkata,”Lalu (bagaimana) Umar bin Al Khaththab?” Muadz Radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Janganlah anda bertanya kepada Umar, sebab ia orang yang sibuk.”
Demikian juga Utsman dan Ali Radhiyallahu anhuma pada masa hidupnya disibukkan dengan tugas-tugas kementerian (pendamping Khalifah) dan lainnya, kemudian disibukkan dengan tugas sebagai khalifah dan menghadapi berbagai macam fitnah dan ujian. Orang yang semangat dan gemar mencari ilmu, mengejar mereka dan yang semisalnya; memandang seluruh sahabat adalah orang-orang yang tsiqah (terpercaya). Karenanya mereka menganggap cukup dengan kedudukan sahabat- sahabat. Para sahabat generasi senior memandang, bukan menjadi suatu keharusan yang mendesak atas mereka untuk menyampaikan (hadits), kecuali jika dibutuhkan. Juga memandang cukup, jika amal sudah dilakukan berdasarkan hal tersebut, sehingga tidak ada sedikitpun dari Sunnah Nabi yang diabaikan. Disebabkan para sahabat masih sangat banyak dan masa tinggal serta kehidupan mereka akan panjang. Begitu pula berbagai kegiatan yang membutuhkan tabligh (penyampaian hadits) amatlah banyak. Atas itu semua, Allah Ta’ala telah berjanji menjaga syari’atNya. Meskipun demikian, mereka pun sangat berhati-hati terhadap dirinya, karena takut salah. Mereka juga berpendapat, jika ada salah seorang diantara mereka keliru saat dibutuhkan menyampaikan (hadits), maka yang bersangkutan termaafkan; (ini) berbeda jika menyampaikannya sebelum dibutuhkan lalu ia keliru. Sekalipun demikian, mereka sangat suka orang lain yang mencukupkannya. Walaupun demikian adanya, mereka tetap meriwayatkan berbagai macam hadits. Sampai kepada mereka dari sebagiannya, bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits dan tidak ada yang mengingkarinya. Yang ada, hanyalah kisah yang menunjukkan, bahwa memperbanyak riwayat menyalahi yang utama.[56]
Yang aneh bin ajaib, ada orang yang kaget dengan banyaknya hadits Abu Hurairah. Dan lebih aneh lagi dibahas pada abad kedua puluhan ini! Apakah kaget dengan hafalan Abu Hurairah yang mampu menghafal 5.374 hadits? Atau kaget bila beliau menghafal sejumlah ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tiga tahunan? Jika kaget dengan kuatnya hafalan beliau, maka ini bukanlah sarana untuk mencelanya, karena banyak orang Arab yang telah menghafal lebih banyak dari hafalan Abu Hurairah. Kita lihat, banyak para sahabat yang telah hafal Al Qur’an, hadits dan syair-syair. Lalu apa katanya tentang mereka? Apa yang ia katakan tentang hafalan Abu Bakar nasab Arab? Apa yang dikatakannya tentang Hammad Ar Rawiyah, orang yang paling mengetahui sejarah, syair, berita, nasab dan bahasa orang Arab? Apa yang dikatakan padanya jika ia menyampaikan untuk setiap huruf hija’iyah seratus qasidah yang panjang dari syair jahiliyah saja? Apa yang dikatakannya tentang hafalan hibrul umat Ibnu Abbas dan hafalan Imam Az Zuhri, Sya’biy dan Qatadah bin Da’amah As Sadusi? Jadi hafalan Abu Hurairah bukanlah baru dan aneh. Apalagi bila diketahui, bahwa hadits-hadits yang berjumlah 5.374 itu tidak semuanya shahih; sehingga Abu Hurairah tidak dapat dituduh hanya karena banyaknya hafalan dan hadits yang beliau riwayatkan ini. Jika kaget dengan kemampuan Abu Hurairah menerima hadits-hadits yang banyak ini dari Rasulullah selama 3 tahun, maka ia telah lupa bahwa Abu Hurairah bersahabat dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun-tahun yang penting. Masa terjadinya peristiwa-peristiwa sosial, politik dan pensyari’atan secara umum, sehingga memungkinkan beliau menghafal seluruhnya.[57]
PENUTUP
Tuduhan dan syubhat yang dilontarkan musuh Islam seputar sahabat Abu Hurairah masih sangat banyak, namun sebagaian yang telah dibantah di atas mudah-mudahan dapat menjadi ibrah bagi kaum muslimin dan menjadi peringatan terhadap bahaya yang mengancam mereka.
Sebagai penutup, kami bawakan pernyataan Ibnu Khuzaimah yang dinukil Dr. Muhammad ‘Ajaj Al Khathib dalam kitab As Sunnah Qabla At Tadwin dari Al Mustadrak ‘Ala Ash Shahihain karya Imam Al Hakim. Nashnya sebagai berikut:
Orang yang telah buta hatinya mencela Abu Hurairah hanya karena ingin menolak haditsnya, karena mereka tidak faham maknanya. Orang tersebut adakalanya seorang mu’aththil jahmi (pengikut aliran sesat Jahmiyah, Pen) karena mendengar hadits-hadits Abu Hurairah yang menyelisihi madzhab mereka yang kufur, lalu mencela Abu Hurairah dan menuduhnya dengan tuduhan yang Allah telah sucikan darinya. Tuduhan ini untuk membentuk opini pada orang awam, bahwa hadits-hadits Abu Hurairah tidak benar. Adakalanya ia seorang Khawarij yang mengangkat pedang kepada kaum muslimin dan menganggap tidak adanya kewajiban mentaati khalifah dan. Jika ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairah dari Nabi n yang menyelisihi madzhabnya yang sesat, tidak dapat menolak berita-berita beliau ini dengan hujjah, maka ujung-ujungnya dengan cara mencela Abu Hurairah. Atau seorang Qadariy (pengikut aliran sesat Qadariyah) yang meninggalkan Islam dan kaum muslimin, dan mengkafirkan kaum muslimin yang mengikuti takdir yang telah ditetapkan Allah dahulu sebelum hamba itu melakukannya. Jika melihat hadits-hadits yang beliau sampaikan dari Nabi n dalam menetapkan taqdir, tidak mendapatkan hujjah yang mendukung pendapat mereka yang merupakan kekufuran dan kesyirikan, maka kemudian mereka berhujjah dengan menyatakan bahwa berita-berita Abu Hurairah tidak boleh dipakai sebagai hujjah. Atau seorang bodoh yang ingin menjadi faqih dan mencarinya bukan dari tempatnya; jika mendengar berita Abu Hurairah menyelisihi pendapat madzhab orang yang dipilihnya secara taklid tanpa hujjah, maka orang tersebut mencela Abu Hurairah dan menolak riwayat-riwayatnya yang menyelisihi madzhab mereka, kemudian berberhujjah dengan hadits-hadits Abu Hurairah atas orang yang menyelisihinya jika haditsnya tersebut sesuai dengan madzhabnya.[58]
Demikianlah sebagian syubhat yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam atas diri Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan masih banyak syubhat-syubhat yang mereka lontarkan. Semoga pengupasan yang sedikit ini
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[36]. Saqifah, op.cit. hlm. 14.
[37]. Saqifah, op.cit. hlm. 16.
[38]. Lihat Abu Hurairah dalam pengakuan para sahabat dalam mabhas edisi ini.
[39]. Al Bidayah Wan Nihayah, oleh Ibnu Katsir, VIII/106.
[40]. Zhulumatu Abi Ar Rayyah, hlm. 43.
[41]. Al Bukhari, dalam Shahih-nya, kitab Al Libas, Bab Al Mustawsyimah, no. 5490, hlm. VII/214.
[42]. Muslim, dalam Shahih-nya, kitab Al Ilmu, Bab Sardu Al Hadits, no. 3303.
[43]. Fathul Bari, VII/389-390.
[44]. Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jana’iz, Bab Fadhlu ‘Alash Shalat Wa Ittiba’uha, no. 1574.
[45]. Abu Hurairah Rawiyatul Islam, hlm. 278, yang dikutip apa yang dituduhkan oleh Al Iskafi dari Syarhu Nahji Al Balaghah, I/468, Cetakan Beirut.
[46]. Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 123.
[47]. Ibid, hlm. 87, dengan perubahan.
[48]. As Sunnah Qabla At Tadwin, op.cit. hlm. 450.
[49]. Al Bukhari,dalam Shahih-nya, kitab Al Buyu’, Bab Ma Ja’a Fi Qaulihi Ta’ala Faidza Qadhaita Ash Shalat, no. 1906-III/135 dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad, hadits no. 7273.
[50]. Al Musnad, XIV/122.
[51]. Al Mustadrak, III/510 dengan sanad yang shahih.
[52]. Muslim, VI/179.
[53]. Nama daerah di kota Madinah. Hingga kini masih dikenal dengan nama tersebut.
[54]. Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 72-75 secara singkat
[55]. Al Anwa’u Al Kasyifah, hlm. 141, kami nukil dari Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 91.
[56]. Difa’un ‘An Abi Hurairah, op.cit. hlm. 91.
[57]. Dinukil secara bebas dari As Sunnah Qabla At Tadwin, op.cit. hlm. 449.
[58]. As Sunnah Qabla At Tadwin, op.cit. hlm. 467-468
- Home
- /
- B2. Topik Bahasan2 Cinta...
- /
- Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu...