Hukum Diyat
HUKUM DIYAT
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Pada edisi sebelumnya, telah dibahas tentang Qishâsh sebagai hukuman bagi pelaku jinâyât pada pembunuhan disengaja beserta syarat dan ketentuannya. Ada juga hukuman lain yang berhubungan dengan pelaku jinâyât yang dikenal dengan hukuman diyat. Lalu apakah hukuman diyat itu? berikut penjelasannya.
PENGERTIAN DIYAT
Kata diyat (دِيَةٌ ) secara etimologi berasal dari kata “wadâ – yadî – wadyan wa diyatan”( وَدَى يَدِى وَدْيًا وَدِيَةً). Bila yang digunakan mashdar wadyan (وَدْيًا ) berarti sâla ( سَالَ = mengalir) yang sering dikaitkan dengan lembah, seperti di dalam firman Allah Azza wa Jalla :
إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ ۖ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
Sesungguhnya Aku inilah rabbmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.[Thâhâ/20: 12].
Akan tetapi, jika yang digunakan adalah mashdar diyatan (دِيَةً), berarti ‘membayar harta tebusan yang diberikan kepada korban atau walinya dengan sebab tindak pidana penganiyaan (jinâyat).
Bentuk asli kata diyat (دِيَةٌ) adalah widyat (وِدْيَة) yang dibuang huruf wau-nya, seperti kata عِدَة dan صِلَة dari kata لْوَعْدُ dan.الوَصْلُ [1]
Sedangkan diyat secara terminologi syariat adalah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh pelaku jinâyat kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi, disebabkan jinâyat yang dilakukan oleh si pelaku kepada korban[2]
Definisi ini mencakup diyat pembunuhan dan diyat anggota tubuh yang dicederai, sebab harta ganti rugi ini diberikan kepada korban bila jinâyatnya tidak sampai membunuhnya dan diberikan kepada walinya bila korban terbunuh.
PENSYARIATAN HUKUMAN DIYAT
Hukuman diyat disyari’atkan dalam syariat Islam berdasarkan dalil dari al-Qur‘ân, Sunnah dan ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla :
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. [al-Baqarah/2:178]
Ini berlaku untuk pembunuhan disengaja Juga firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَن يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan tidak pantas bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin yang lain, kecuali karena tersalah tidak sengaja. Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[an-Nisâ‘/4:92]
Hal ini berhubungan dengan pembunuhan tidak disengaja dan mirip sengaja.
Sedangkan dari Sunnah di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل
Barangsiapa yang keluarganya terbunuh maka ia bisa memilih dua pilihan, bisa memilih diyat dan bisa juga memilih pelakunya dibunuh (qishâsh). [HR al-Jamâ’ah].
Demikian juga kaum Muslimin telah bersepakat tentang pensyariatan diyat pada jinâyat pembunuhan.
KAPAN DITERAPKAN HUKUMAN DIYAT?
Diyat merupakan sebagian dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atas:
- Orang yang telah terbukti secara sah menurut hukum membunuh orang Mukmin, secara tidak di sengaja atau mirip sengaja. Namun, apabila ahli waris korban merelakan diyat tersebut, terhukum dan keluarganya tidak wajib membayar diyat tersebut.
- Orang yang telah terbukti secara sah menurut hukum membunuh kafir dzimmi (orang kafir yang mengadakan perjanjian untuk tidak saling memerangi dengan orang Islam).
- Orang yang dijatuhi hukuman karena qishâsh (pembunuhan atau pelukaan dengan sengaja),tetapi dimaafkan oleh ahli waris korban.
UKURAN DIYAT PEMBUNUHAN
Diyat sebagai satu hukuman memiliki ukuran tertentu yang telah ditetapkan syari’at, tergantung kepada korban pembunuhan. Hal ini dapat diringkas sebagai berikut:
Muslim Laki-Laki Merdeka
Para Ulama sepakat menjadikan diyat Muslim merdeka seratus onta[3], tidak ada bedanya dalam hal ini antara pembunuhan sengaja, tidak sengaja dan mirip sengaja. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَلاَ إِنَّ قَتِيلَ الْخَطَاءِ قَتِيْلَ السَّوْطِ وَالْعَصَا فِيْهِ مِائَةٌ مِنْ اْلإِبِل
Ketahuilah, sesungguhnya dalam korban pembunuhan mirip sengaja, korban terbunuh oleh cambuk dan tongkat, diyatnya 100 onta [HR Ibnu Mâjah no 2618 dan dishahîhkan al-Albâni dalam kitab Shahîhul-Jâmi’ no 2638]
Namun diyat ketiga jenis pembunuhan ini berbeda dari sisi ringan dan beratnya diyat. Diyat pembunuhan sengaja diperberat dari tiga sisi dan diyat pembunuhan mirip sengaja diperberat dari satu sisi dan mendapat keringanan dari dua sisi. Sedangkan diyat pembunuhan tidak sengaja mendapat keringanan dari tiga sisi sekaligus. Perinciannya sebagai berikut:
a. Sisi pemberatan hukuman diyat pembunuhan disengaja adalah:
Pertama: Pembayarannya ditanggung sendiri oleh pelaku pembunuhan, tidak dibebankan kepada keluarga besarnya. Ini sudah menjadi ijmâ’ sebagaimana disampaikan Ibnu Qudâmah[4]
Kedua: Diwajibkan kontan dan tidak dibayar tempo karena disamakan dengan qishâsh dan ganti rugi jinâyât. Inilah pendapat yang râjih menurut jumhur Ulama.
Ketiga: Diperberat dari sisi usia onta. Onta yang harus diserahkan yaitu 30 ekor onta hiqqah, 30 onta Jaza’ah, 40 onta hamil yang mengandung janin diperutnya (khalifah) menurut pendapat yang rajah dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ قَتَلَ مُتَعَمِّدًا دُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُوْلِ فَإِنْ شَاءُوْا قَتَلُوْهُ وَإِنْ شَاءُا أَخَدُوْا الدِّيَةَ وَهِيَ ثَلاَثُوْنَ حِقَّةً وَثَلاَثُوْنَ جَذَعَةً وَأَرْبَعُوْنَ خَلِفَةً وَمَا صُوْ لِحُوْا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ
Siapa yang membunuh dengan sengaja maka diserahkan kepada para wali korban, apabila mereka ingin maka mereka membunuhnya dan bila ingin (lainnya) maka mengambil diyat yaitu 30 hiqqah (onta berusia 3 tahun), 30 jaza’ah (onta berusia 4 tahun) dan 40 khalifah (onta yang sedang mangandung janin). Semua yang mereka terima dengan damai maka itu hak mereka. [HR Ibnu Mâjah no 2626 dan dihasankan al-Albâni dalam Irwâ’ 2199 dan Shahîhul-Jâmi’ no. 6455.]
b. Sisi pemberatan dan keringanan dalam diyat pembunuhan mirip sengaja.
Diyat pembunuhan semacam ini diperberat dalam satu sisi saja yaitu usia ontanya sama dengan diyat pembunuhan disengaja. Hal ini didasarkan kepada hadits ‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ إِنَّ دِيَةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَنَا بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِا ئَةٌ مِنَالإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْ نِهِا أَوْلاَدُهَا
Ketahuilah bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta. Di antaranya empat puluh ekor yang sedang hamil.[5]
Namun mendapat keringanan dari dua sisi yaitu:
Pertama : Kewajiban ini dibebankan kepada keluarga besar pembunuh (al’-‘Aqilah), sebagaimana ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
اقْتَتَلَتِ امرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلِ فَِرَمَتْ إِحْدَا هُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِى يَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُو لِ اللَّهِ صًلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ دِيَةَ جَنِيْبِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَاِلِيْدَةٌ وٌَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْاَةِ عَلَى عَا قِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ
Dua orang wanita dari suku Hudzail saling berperang, lalu salah seorang dari mereka melempar batu kepada yang satunya, lalu membunuhnya dan membunuh juga janin isi kandungannya. Lalu kaum mereka memperadilkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memutuskan kewajiban membayar diyat janinnya ghurrah budak laki-laki atau wanita dan menetapkan diyat korban wanita tersebut atas kerabat wanita pembunuhnya. Kemudian anak korban dan kerabat yang bersamanya mewarisi diyat tersebut. [Muttafaq ‘alaihi]
Kedua: Diyat boleh diangsur selama tiga tahun menurut ijmâ’ sebagaimana dikatakan Ibnu Qudâmah rahimahullah, “Diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu dan Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwa keduanya menetapkan diyat kepada al-Aqilah (keluarga pembunuh) selama tiga tahun dan tidak ada yang menyelisihi keduanya di zaman mereka sehingga itu menjadi ijmâ’[6]
c. Sisi keringanan dalam diyat pembunuhan tidak sengaja dari tiga sisi
Pertama: Kewajiban ini dibebankan kepada al-Aqilah menurut ijmâ’ umat ini[7]. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Kami tidak mengetahui adanya khilâf di antara para Ulama bahwa diyat pembunuhan tidak sengaja diambil dari al-‘Aqilah (keluarga).[8]
Kedua: Dibayar dalam tiga tahun sebagaimana diyat pembunuhan mirip sengaja. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: “Tidak ada khilaf di antara mereka bahwa diyatnya tidak kontan (dibayar) tiga tahun”[9]
Ketiga: Mendapatkan keringan dari sisi usia ontanya menjadi lima jenis, yaitu 20 bintu makhâdh (onta betina berusia setahun), 20 ibnu makhâdh (onta jantan berumur setahun), 20 onta bintu labûn (onta betina usia dua tahun), 20 onta hiqqah dan 20 onta jaza’ah.[10]
Standar Pembayaran Diyat
Standar pembayaran diyat pembunuhan adalah onta menurut pendapat mayoritas Ulama dan pendapat yang dirâjihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[11] dan Ibnul-Qayyim rahimahullah serta Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh al-Fauzân[12], dengan dasar :
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkannya pada diyat pembunuhan mirip sengaja, seperti dalam hadits ‘Abdullâh bin ‘Amru di atas.
- Riwayat shahîh dari Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu ‘anhu ketika berbicara di atas mimbar:
أَلاَ إِنَّ اْلإِبِلَ ٌَدْ غَلَتْ قَالَ فَفَرَ ضَهَا عُمَرُعَلَى أَهْلِ الدَّهَبٍ أَلْفَ دِيْنَارٍ وَعَلَى أَهْلِ الْوَرِقِ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفًا وَعَلَى أَهْلِ الشَّاءِ أَلْفَيْ شَاةٍ
Ketahuilah bahwa harga onta telah naik (menjadi mahal). Lalu Umar mewajibkan diyat kepada orang yang punya emas sebanyak 1000 dinar, kepada pemilik perak 12000 dirham, pemilik sapi 200 sapi dan pemilik kambing 2000 kambing. [HR Abu Dâwud no. 4542 dan dihasankan al-Albâni dalam kitab al-Irwâ’ no. 2247]
Dalam hal ini nampak Umar Radhiyallahu ‘anhu menaikkan jumlah diyat selain onta disebabkan mahalnya harga onta, sehingga jadilah onta sebagai standar pembayaran diyat, sedangkan yang lain mengikuti nilai onta.
- Seluruh diyat anggota tubuh dibayar dan diukur dengan onta. Syariat selalu menentukan ukuran bagian diyat dengan onta, sehingga menunjukkan onta adalah standar (asal) pembayaran diyat. Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah menyatakan: “Orang-orang dari zaman dulu senantiasa menghukumi bahwa standar dalam diyat adalah onta. Diyat bagi kami sekarang ini dinilai dengan 1000 riyal, seandainya perak dijadikan sebagai standar maka diyat orang bernilai 3360 riyal”[13]
- Ditambah adanya perbedaan antara diyat pembunuhan sengaja dengan yang tidak sengaja. Hal ini tidak dapat diwujudkan menurut ijmâ’ dengan selain onta. Wallâhu a’lam.
Diyat Orang Kafir Ahli Kitab Yang Merdeka
Diyat lelaki ahli kitab yang merdeka baik sebagai seorang Mu’âhad, musta’man atau dzimmi adalah separuh diyat Muslim berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَنَّ رَسُوْ لَ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ عَقْلَ أَهْلِ الْكِتَابِ نِصْفُ غَقْلِ الْمُسْلِمِيْنَ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa diyat ahli kitab separuh diyat Muslimin. [HR Ahmad 6795 dan dihasankan al-Albâni dalam kitab al-Irwâ’ no 2251]
Diyat Orang Kafir Non Ahli Kitab
Mereka ini seperti majusi, baik ahli dzimmah atau musta’man atau mu’âhad dan orang kafir musyrik namun mu’âhad atau musta’man, maka diyatnya adalah 800 dirham islami sebagaimana dijelaskan dalam pernyataan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu :
وَدِيَةُ الْمَجُوسِيِّ ثَمَانُ مِائَةِ دِرْهَمٍ
Diyat al-Majusi 800 dirham. [HR at-Tirmidzi no, 1417] Ini adalah pendapat mayoritas Ulama.[14]
Diyat Wanita Muslimah
Diyat wanita Muslimah separuh diyat lelaki Muslim, sebagaimana dijelaskan dalam surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan kepada ‘Amru bin Hazm yang di antara isinya adalah:
دِيَةُ الْمَرْأَةِ عَلَى النِّصفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ
Diyat wanita itu separuh dari diyat lelaki. [HR al-Baihaqi dalam Sunanul-Kubra no. 16344 dan didhaîfkan al-Albâni dalam Irwâ‘ul-Ghalîl no. 2250]
Hal ini telah menjadi ijmâ’ sebagaimana disampaikan Ibnul-Mundzir rahimahullah : “Para Ulama berijmâ` bahwa diyat wanita separuh diyat lelaki”[15]
Ibnul-Qayyim rahimahullah menjelaskan hal ini dengan menyatakan: “Karena wanita lebih lemah dibandingkan laki-laki dan laki-laki lebih memiliki potensi darinya, lelaki bisa menduduki sesuatu yang tidak dapat diduduki oleh wanita berupa jabatan keagamaan, perwalian, menjaga perbatasan, jihad, membangun negeri, mengerjakan industri yang menjadi kesempurnaan maslahat dunia dan membela dunia dan agama. Maka nilai diyat keduanya tidak sama dalam diyat, karena diyat diberlakukan sebagaimana nilai harga budak dan selainnya berupa harta benda. Sehingga hikmah pembuat syari’at menuntut adanya penentuan separuh nilai diyat lelaki, karena perbedaan yang ada pada keduanya.[16]
Diyat Wanita Ahli Kitab
Diyat wanita ahli kitab dan majusi serta kaum musyrikin adalah separuh dari diyat laki-laki mereka, sebagaimana diyat wanita Muslimah adalah separuh dari laki-laki Muslim.[17]
Diyat Budak
Diyat budak, baik lelaki atau perempuan, kecil atau dewasa adalah sesuai harga budak itu sendiri selama harganya tidak mencapai nilai diyat lelaki merdeka. Ini sudah menjadi ijmâ’ di kalangan kaum Muslimin[18] karena budak adalah harta yang bernilai jual sehingga diganti seharga nilai budak tersebut.
Diyat Janin
Diyat janin baik laki-laki atau perempuan apabila keguguran atau mati dengan sebab akibat jinâyat atas ibunya baik pada pembunuhan sengaja atau tidak sengaja adalah ghurrah budak. Nilai ghurrah ini adalah 5 ekor onta berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
اقْتَتَلَتِ امرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلِ فَِرَمَتْ إِحْدَا هُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِى يَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُو لِ اللَّهِ صًلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ دِيَةَ جَنِيْبِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَاِلِيْدَةٌ وٌَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْاَةِ عَلَى عَا قِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ
Dua orang wanita dari suku Hudzail saling berperang,lalu salah seorang dari mereka melempar batu kepada yang satunya, lalu membunuhnya dan membunuh juga janin isi kandungannya. Lalu kaum mereka memperadilkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan kewajiban membayar diyat janinnya ghurrah budak laki-laki atau wanita dan menetapkan diyat korban wanita tersebut atas kerabat wanita pembunuhnya. Kemudian anak korban dan kerabat yang bersamanya mewarisi diyat tersebut.[Muttafaq ‘alaihi]
Demikianlah sebagian permasalahan seputar diyat, mudah-mudahan dapat memberikan wacana tentang keindahan dan kesempurnaan Islam, sehingga kita semua dapat menerapkannya dalam kehidupan kita di dunia ini.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/490
[2] Lihat Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/490
[3] Lihat keterangannya pada kitab Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/496
[4] Lihat Al-Mughni 12/13
[5] HR Abu Dâwud no. 4547, an-Nasâ‘i 2/247 dan Ibnu Mâjah no. 2627 lihat Irwâ’ul-Ghalîl 7/255-258 no.2197
[6] Al-Mughni 12/17
[7] lihat Al-Mulakhash al-Fiqhi 2/462
[8] Al-Mughni 12/21
[9] Ibid
[10] Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/497
[11] Lihat kitab Syarhul-Mumti’ 14/119
[12] Lihat kitab Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/496
[13] Syarhul-Mumti’ 14/118-119.
[14] Lihat Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/497-498
[15] Ibid 2/498
[16] Lihat I’lâmul-Muwaqqi’în 2/149 dan Zâdul-Ma’âd 3/175. Pernyataan ini dinukil dari Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/498
[17] Al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/498
[18] Ibid 2/499
- Home
- /
- A9. Fiqih Muamalah Hukum...
- /
- Hukum Diyat