Shalat-Shalat Sunnah

SHALAT-SHALAT SUNNAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

A. Keutamaannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَـابَ وَخَسِرَ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَةٍ شَيْئًا، قَـالَ الرَّبُّ تَبَـارَكَ وَتَعَالَى: اُنْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَيُكَمَّلُ بِهِ مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى نَحْوِ ذَلِكَ.

Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka beruntung dan selamatlah dia. Namun, jika rusak, maka merugi dan celakalah dia. Jika dalam shalat wajibnya ada yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci dan Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Jika ia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian dihisablah seluruh amalan wajibnya sebagaimana tadi.”[1]

B. Disunnahkan Mengerjakannya di Rumah
Dari Jabir, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ فِـي مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيْباً مِنْ صَلاَتِهِ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ نُوْرًا

Jika salah seorang di antara kalian telah menunaikan shalat di masjidnya, maka hendaklah ia memberi jatah shalat bagi rumahnya. Karena sesungguhnya Allah menjadikan cahaya dalam rumahnya melalui shalatnya.”[2]

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِي بُيُوْتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ.

Kerjakanlah shalat (sunnah) di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat wajib.”[3]

C. Macam-Macamnya
Shalat sunnah ada dua bagian : Muthlaqah dan Muqayyadah
Muthlaqah adalah yang dikenal dengan sunnah rawatib, yaitu yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib. Ia terdiri dari dua bagian: muakkadah (yang ditekankan) dan ghairu muakkadah (tidak ditekankan).

1. Shalat sunnah muakkadah ada sepuluh raka’at
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku ingat sepuluh raka’at dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya. Dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya’, serta dua raka’at sebelum shalat Shubuh. Pada saat itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm tidak mau ditemui. Hafshah Radhiyallahu anhuma menceritakan padaku bahwa jika mu-adzin mengumandangkan adzan dan fajar (yang kedua) telah terbit, beliau shalat dua raka’at.”[4]

Baca Juga  Shalat Sunnah Witir

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka’at sebelum shalat Zhuhur, dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh.”[5]

2. Shalat sunnah ghairu muakkadah: Dua raka’at sebelum shalat ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya’.
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، ثُمَّ قَـالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ.

Di antara dua adzan (antara adzan dan iqamat-ed.) ada shalat, di antara dua adzan ada shalat.” Kemudian beliau berkata pada kali yang ketiga, “Bagi siapa saja yang menghendakinya.”[6]

Disunnahkan untuk menjaga empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar. Beliau memisahkan antara raka’at-raka’at tadi dengan mengucapkan salam pada para Malaikat muqarrabiin (yang didekatkan kepada Allah), dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan muslimin dan mukminin.”[7]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

رَحِمَ اللهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا.

Semoga Allah merahmati orang yang shalat empat raka’at sebelum ‘Ashar.”[8]

Riwayat yang mengabarkan bacaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebagian shalat tersebut

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

نِعْمَتِ السُّوْرَتَانِ يُقْرَأُ بِهِمَا فِي رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَقُلْ يَآ أَيُّهَا اْلكَافِرُوْنَ.

Dua surat yang paling baik dibaca pada dua raka’at sebelum Shubuh adalah qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) dan qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun).[9]

Dari Abu Hurairah Radhiyalllahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sebelum Shubuh.” [10]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Pada dua raka’at shalat sunnah fajar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca: quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa, yaitu ayat dalam surat al-Baqarah pada raka’at pertama. Dan pada raka’at terakhir: aamannaa billaahi wasyhad bi annaa muslimuun.”[11][Ali ‘Imran/3: 52].

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku tidak bisa menghitung berapa kali aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca: qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sesudah Maghrib dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh.[12]

Baca Juga  Shalat Berjama'ah

Shalat Sunnah Witir

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1] Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 451, 452)], Sunan at-Tirmidzi (I/258 no. 411), Sunan an-Nasa-i (I/232).
[2] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 375)], Shahiih Muslim (I/239 no. 778)
[3] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/517 no. 6113)], Shahiih Muslim (I/539 no. 781), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/321 no. 1434) dan Sunan an-Nasa-i (III/198).
[4] Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 440)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/58/ no. 1180, 1180), ini adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (I/271 no. 431), dengan lafazh hampir serupa
[5] Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1658)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/58 no. 1182), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/134 no. 1240) dan Sunan an-Nasa-i (III/251).
[6] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/110 no. 627)], Shahiih Muslim (I/573 no. 838), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/162 no. 1269), Sunan at-Tirmidzi (I/120 no. 185), Sunan an-Nasa-i (II/28), Sunan Ibni Majah (I/368 no. 1162).
[7] Hasan: Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 353)], Sunan at-Tirmidzi (I/269 no. 427).
[8] Hasan: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 354)], Sunan at-Tirmidzi (I/270 no. 428), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/149 no. 1257).
[9] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 944)], Shahiih Ibni Khuzaimah (II/163 no. 1114), Ahmad (al-Fat-hur Rabbani) (IV/225 no. 987), Sunan Ibni Majah (I/363 no. 1150).
[10] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 360)], Shahiih Muslim (I/502 no. 726), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/135 no. 1243), Sunan an-Nasa-i (II/156), Sunan Ibni Majah (I/363 no. 1148).
[11] Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 905)], Shahiih Muslim (I/502 no. 727), Sunan an-Nasa-i (II/155), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/137 no. 1246).
[12] Hasan shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 355)], Sunan at-Tirmidzi (I/ 270 no. 429).