Sudahkah Bank Syariah Di Negeri Ini Sesuai Dengan Syariah?
SUDAHKAH BANK SYARIAH DI NEGERI INI SESUAI DENGAN SYARIAH?
Ungkapan syariat murni sudah sering kita dengar, namun benarkah klaim tersebut? Ataukah hanya sekedar istilah syariat yang digunakan? Semua ini menuntut kaum muslimin untuk mengetahui hakekat istilah tersebut agar jangan sampai tertipu dan terpedaya dengannya. Perlu diketahui ada kaedah dalam fikih mu’amalah bahwa yang terpenting dan dijadikan pedoman adalah hakekat sesuatu bukan istilah dan lafazhnya.
Oleh karena itu kami mengajak para dewan pengawas syariat, praktisi perbankan syariat dan masyarakat untuk mengetahui hakekat istilah-istilah tersebut dan membandingkannya dengan yang telah diaplikasikan perbankan syariat di negeri ini, agar semuanya berjalan dengan ilmu dan berhentipun dengan ilmu.
Bagaimana Produk Perbankan Syariat?
Umumnya mu’amalat yang dilakukan bank syariat berkisar pada transaksi Wadi’ah, Ijaarah, Al-Qardh (hutang), adh-Dhamaan, al-Wakalah, al-Hiwalah dan syarikat. Sebagian lainnya merupakan susunan dari dua atau tiga atau empat dari transaksi-transaksi ini.
1. Wadi’ah (tabungan) dan Hakikat Rekening Bank[1].
Tabungan pada perbankan berbeda dengan pengertian tabungan secara etimologi yang bermakna amanah yang harus dijaga. Sebagian ekonom islam memandang tabungan yang ada pada bank lebih dekat konsepnya kepada transaksi tabungan perbankan biasa daripada konsep wadi’ah yang dikenal dalam syari’at.
Cara seperti ini dalam kenyataan hasilnya bertentangan dengan transaksi wadi’ah yang dikenal dalam syariat. Diantara proses yang perlu dicermati adalah penggunaan pihak bank pada uang yang disimpan pada tabungan tersebut untuk kemaslahatannya.
Dari sini jelas prinsip dasar wadi’ah tidak dapat diterapkan terhadap tabungan wadi’ah dalam perbankan. Bank tidak akan bermaksud menjaga dzat uang tersebut, tapi bermaksud menggunakannya untuk mengembalikan yang semisalnya. Ditambah lagi selama bank diizinkan menggunakan titipan tersebut maka telah hilang keharusan menjaganya karena wadi’ah tersebut hilang dengan digunakan.
Apabila kita melihat kepada tuntunan wadi’ah dalam syariat islam maka ia tidak keluar secara umum dari perwakilan atau istinaabah dalam menjaga harta . apabila diizinkan menggunakan dan memanfaatkannya oleh yang dititipi, maka berubah menjadi ‘Ariyah (pinjam meminjam) dan bila yang dititipkan tersebut uang yang akan habis bila digunakan maka ‘Ariayahnya berubah menjadi Qardh (hutang).
Oleh karena itu banyak ulama yang menetapkan uang yang ada dalam tabungan wadi’ah diperbankan adalah hutang. Penabung adalah kreditor dan bank adalah debitor. Inilah pendapat kebanyakan fuqaha` di zaman ini[2] dan menjadi keputusan Mujamma’ al-Fiqh al-Islami.[3]
1. Keputusan ini berdasarkan, Bank memegang tabungan (rekening) dan memiliki hak untuk beraktifitas padanya serta mengikat dirinya dengan kesedian untuk mengembalikan uang yang sepadan saat pemiliknya menariknya. Ini adalah makna hutang, sekalipun dinamakan titipan (tabungan), karena ia titipan tidak dengan makna syar’i. Sebab kalau disebut titipan, maka bank tidak berhak beraktifitas padanya, sebab titipan berpijak kepada prinsip penjagaan dan harus dikembalikan barangnya apa adanya.[4]
Alasan di atas disanggah, tindakan bank terhadap dana tabungan berpijak kepada izin penabung berdasarkan kebiasaan. Tentunya ini tidak mengeluarkan titipan dari maknanya, yaitu penjagaan dengan tetap mengembalikan yang semisal dengannya karena yang semisal adalah sama dengan sesuatu itu sendiri[5].
Namun sanggahan ini pun dibantah. Sanggahan di atas tidak diterima, karena aktifitas pada titipan (wadi’ah) mengeluarkannya dari hakekat titipan, sekalipun dengan izin pemiliknya. Apabila beraktifitas dengan mengambil manfaatnya dan barangnya masih tetap utuh maka ia adalah pinjaman (’Aariyah), bila yang memegang titipan menggunakannya sehingga ia habis maka ia adalah hutang yang wajib diganti[6].
2. Bank mengharuskan dirinya mengembalikan dana yang semisal pada saat penabung menariknya sehingga bertanggung jawab terhadap harta bila ia hilang, baik bank lalai atau tidak lalai. Ini jelas adalah konsekuensi akad hutang-piutang. Lain halnya dengan titipan, ia harus dikembalikan sebagaimana sedia kala dan penerimanya tidak bertanggung jawab bila ia hilang, kecuali bila ia melakukan tindak pelanggaran padanya atau lalai[7].
Alasan ini disanggah, keharusan bank untuk mengembalikan saat terjadi kehilangan sekalipun bank tidak melakukan tindak pelanggaran padanya atau lalai hanyalah berlaku sesuai dengan kebiasan transaksi perbankan. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan tabiat titipan syar’i sebagai sebuah amanat yang tidak ditanggung manakala tidak terjadi pelanggaran atau kelalaian.[8]
Sanggahan di atas dijawab, hakikat-hakikat syar’i tidak patut dibenturkan dengan kebiasaan perbankan dan hakekat tersebut tidak berubah karenanya. Terjadinya hal itu hanyalah disebabkan opini bahwa uang-uang tersebut adalah titipan.[9]
Ada sebagian yang menyelisihi pendapat diatas dengan dasar argument:
1. Rekening tersebut berada dalam kewenangan nasabah, dia bisa menariknya dana secara keseluruhan kapan dia mau tanpa terhambat syarat apa pun, inilah makna titipan (wadi’ah).[10]
Alasan ini disanggah, bahwa di samping maksud dari titipan adalah mengembalikannya saat ia diminta pemiliknya, juga agar pemegangnya tidak beraktifitas terhadapnya. Sementara bank bisa beraktifitas terhadap rekening bank dan mengembalikan gantinya, ini adalah makna hutang.[11]
2. Tujuan penabung bukan meminjamkan uangnya kepada bank. Juga tidak menjadikan bank berserikat dengannya pada keuntungan atau manfaat. Namun penabung hanya ingin menyimpan uangnya di bank agar bank menjaganya. Selama penabung tidak bermaksud menghutangkan, maka ia tidak patut disebut hutang.[12]
Alasan ini disanggah, keadaan penabung tidak bermaksud menghutangkan tetap tidak mempengaruhi hakikat akad (transaksi), karena kebanyakan penabung tidak memilah antara makna hutang dengan titipan dan terminologi bagi mereka tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah hasil riil. Penabung tidak akan rela menabung jika tanpa jaminan tanggung jawab penjagaan dan tangan jaminan tanggung jawab berlaku dengan hutang bukan titipan. Sementara itu, pihak bank sendiri tidak menerima tabungan kecuali dengan tujuan beraktifitas dengannya. Inilah sebenarnya hutang, sehingga terbukti bahwa tujuan mereka adalah memberi hutang bukan menitipkan dalam pengertian fikihnya. Dalam perkara akad yang dilihat adalah maknanya bukan kata-kata dan redaksinya.[13]
3. Bank tidak menerima uang tabungan sebagai hutang-piutang, akan tetapi sebagai titipan. Buktinya bank memungut biaya administrasi atas penjagaannya terhadap uang tersebut dengan tetap sangat berhati-hati dalam beraktifitas terhadap harta dan mengembalikannya dengan segera saat pemiliknya memintanya.
Alasan ini disanggah, Ini tidak bisa diterima, karena bank memungut biaya demi pelayanan yang ia berikan kepada penabung seperti menerbitkan daftar cek, kartu ATM dan sebagainya, bukan demi penjagaan yang diberikannya.[14]
Adapun pernyataan bank beraktifitas padanya dengan sangat hati-hati, maka tidak bisa diterima, karena bank mencampur uang satu nasabah dengan nasabah yang lain dan beraktifitas padanya seolah-olah pemilik yang sebenarnya.
Kalaupun kita bisa menerima alasan bank bertindak ekstra hati-hati, maka hal itu karena pertimbangan sisi-sisi kerugiannya akibat tidak adanya sikap tersebut. Adapun alasan bank mengembalikannya dengan segera, maka hal itu berpijak kepada tabiat akad di antara kedua belah pihak dan demi menjaga kepercayaan masyarakat serta menarik minat pemilik uang untuk meletakkan uang mereka padanya.[15]
Kemudian nasabah berhak menuntut ganti hutang (uang yang dia pinjamkan ke bank) saat itu juga; karena memang dalam pertanggungan bank saat itu juga, maka dia berhak menagihnya sama dengan hutang-hutang yang sudah jatuh tempo. Disamping itu permintaannya merupakan sebab yang mewajibkan bank mengembalikan semisalnya atau seharga dengannya, maka ia menjadi kontan saat itu juga.[16]
Dari keterangan di atas maka pendapat yang rajih tentang sudut pandang fikih terhadap uang tabungan di bank adalah hutang, hal itu dengan pertimbangan berikut:
1. Hakikat syar’i dari uang tersebut sejalan dengan hakikat hutang yang definisinya adalah, “Menyerahkan uang kepada orang lain untuk dimanfaatkan dan mengembalikan gantinya.”[17]
2. Tanggung jawab untuk menjamin secara mutlak, dalam keadaan lalai atau tidak adalah sejalan dengan akad hutang piutang. Berbeda dengan titipan yang berpijak kepada dasar bahwa penerimanya adalah orang yang dipercaya sehingga dia tidak bertanggung jawab kecuali bila melakukan pelanggaran atau melalaikan.[18]
Wallahu a’lam.
Tabungan dengan rekening seperti ini dinamakan dalam bahasa Arab dengan al-hisab al-Jaariyah atau wadi’ah Tahta ath-thalab yang merupakan jenis wadi’ah perbankan yang paling banyak digunakan. Disana ada juga wadi’ah lainnya yang dinamakan al-Wadi’ah al-Idikhaarriyah atau al-Hisaab al-idikhaari. Juga ada al-Wadi’ah al-Istitsmariyah dan wadi’ah al-Watsaa’iq wal Mustanadaat.
2. Mudharabah.
Beberapa kritikan seputar layanan Mudharabah pada perbankan syari’at yang disampaikan DR. Muhammad Arifin Badri dalam buku Riba dan Tinjauan Praktis Perbankan Syariat (hlm 163-173), diantaranya:
a. “Peranan Ganda Perbankan.”
Perbankan syariat yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang mereka jalankan. Baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, atau transaksi antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Akan tetapi, pada penerapannya, saya mendapatkan sauatu kejanggalan, yaitu status ganda yang saling bertentangan yang diperankan oleh perbankan.
Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, dimana bank berperan sebagai pemodal, yaitu ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.
Status ganda yang diperankan oleh perbankan ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu karena bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan amanah dari pemodal ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil (keuntungan,) sehingga tidak semestinya bank kembali menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Akan tetapi bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik nasabah.
Imam an-Nawawi berkata, “Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil.”[19]
Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali, ia berkata, “Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. …….Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, as-Syafi’i dan aku tidak mengetahui ada ulama’ lain yang menyelisihinya.”[20]
Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam ini, atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara (calo). Para ulama’ menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah: karena hasil/ keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.[21]
b. Bank Tidak Siap Menanggung Kerugian.
Masalah kedua berkenaan dengan mudharabah yang ada di perbankan syariat adalah ketidaksiapan praktisi dan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang berbunga alias riba.
Para ulama’ dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari’ah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil[22]. Dan dalam ilmu fiqih, bila pada suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka solusinya ada adalah satu dari dua hal berikut:
1. Akad beserta persyaratan tersebut tidak sah, sehingga masing-masing pihak terkait harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan akadnya.
2. Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan tersebut.
Sebagai contoh misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal kepada Pak Ahmad –misalnya- sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp. 20.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, Bank Syariah Yogyakarta akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya utuh, yaitu Rp. 100.000.000,-.
Mungkin operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan demikian perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka kita katakan: Alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha: dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali:
Pertama, ia telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak mendapatkan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari bank.
Contoh lain dari produk perbankan syariat ialah bai’ al-Murabahah. Bentuknya kurang lebih demikian; bila ada seseorang yang ingin memiliki motor, ia dapat mengajukan permohonan ke salah satu perbankan syariah agar Bank tersebut membelikannya. Selanjutnya pihak bank akan mengkaji kelayakan calon nasabahnya ini. Bila permintaannya diterima, maka bank akan segera mengadakan barang yang dimaksud dan segera menyerahkannya kepada pemesan, dengan ketentuan yang sebelumnya telah disepakati.[23]
Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan tetapi bila kita cermati lebih seksama, maka akan nampak dengan jelas bahwa pihak bank berusaha untuk menutup segala risiko. Oleh karenanya, sebelum bank mengadakan barang yang dimaksud, bank telah membuat kesepakatan jual-beli dengan segala ketentuannya dengan nasabah. Dengan demikian, bank telah menjual barang yang belum ia miliki, dan itu adalah terlarang.
عن ابن عباس قال قال رسول الله : (مَنِ ابْتاعَ طَعامًا فلا يَبِعْهُ حتَّى يَقْبِضَهُ) قال ابن عباس: وأَحْسِبُ كُلَّ شيءٍ بمَنْزِلَةِ الطَّعامِ
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas ia menuturkan: Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya” Ibnu ‘Abbas berkata: Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” [Muttafaqun ‘alaih]
Pemahaman Ibnu ‘Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ ابْتَعْتُ زَيْتًا فِي السُّوقِ فَلَمَّا اسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِي لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحًا حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فَقَالَ لاَ تَبِعْهُ حَيْثُ ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ
رواه أبو داود والحاكم
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” [HR Abu Dawud dan Al Hakim].[24]
Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena barang yang belum diterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas ketika muridnya yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
“Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: Bagaimana kok demikian? Ia menjawab: Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”[25]
Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu ‘Abbas di atas sebagaimana berikut: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja.”[26]
c. Semua Nasabah Mendapatkan Bagi Hasil.
Perbankan syariah mencampur adukkan seluruh dana yang masuk ke padanya. Sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan.
Hal ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar Islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil. Sebab keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari pengelolaan modal nasabah selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah disalurkan.
Inilah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena itu tidak mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. Yaitu suatu keadaan di mana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu menyalurkan seluruh dana yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa perbankan syariat untuk menyimpan dana yang tidak tersalurkan tersebut di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk Sertifikat Wadiah. Sebagai contoh: pada periode Januari 2004 dilaporkan, perbankan syariat berhasil mengumpulkan dana dari nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah akan tetapi, dana yang berhasil mereka gulirkan hanya 5,86 triliun rupiah.[27]
Solusi Perbankan dalam masalah Mudharabah.
Lalu DR. Muhammad Arifin Badri dalam buku Riba dan Tinjauan Praktis Perbankan Syariat hlm 179-181 memberikan solusi dalam masalah Mudharabah. Beliau menyatakan: Untuk menyiasati beberapa kritikan diatas, maka berikut beberapa usulan yang mungkin dapat diterapkan oleh perbankan yang benar-benar ingin menerapkan sistem perbankan yang Islami.
1. Pemilahan Nasabah Berdasarkan Tujuan Masing-masing.
Secara global, kita dapat mengelompokkan nasabah yang menyimpan dananya di bank menjadi dua kelompok besar.
-Kelompok pertama, nasabah yang semata-mata bertujuan untuk mengamankan hartanya.
-Kelompok kedua, nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang ada.
Masing-masing kelompok nasabah ini memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda, sebagaimana yang telah dijabarkan di atas. Berdasarkan pemilahan ini pula, pihak operator perbankan dapat menentukan hak dan kewajibannya terhadap masing-masing kelompok. Dana yang berhasil dikumpulkan oleh bank dari nasabah jenis pertama dapat dimanfaatkan dalam membiayai berbagai usaha yang menguntungkan, dan sepenuhnya keuntungan yang diperoleh menjadi milik bank. Dari hasil investasi dengan dana nasabah jenis pertama ini, bank dapat membiayai operasionalnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bahwa bank akan mendapat keuntungan yang surplus bila dibanding dana oprasionalnya.
Di antara keuntungan pemilahan ini, perbankan akan terhindar dari overlikuidasi, karena bank tidak akan pernah menerima dana investasi, melainkan setelah membuka peluang usaha yang benar-benar halal dan dibenarkan. Sebagaimana pihak perbankan tidak berkewajiban untuk memberikan keuntungan kepada nasabah kecuali bila dananya benar-benar telah disalurkan dan menghasilkan keuntungan. Dengan cara ini pula, prinsip mudharabah benar-benar akan dapat diterapkan, sehingga penghitungan hasil akan dapat ditempuh dengan metode yang simpel nan transparan, yaitu dengan mengalikan jumlah keuntungan yang berhasil dibukukan dengan nisbah masing-masing nasabah.
2. Perbankan Menerapkan Mudharabah Sepihak.
Pada saat sekarang ini, amanah dan kepercayaan susah untuk didapatkan, bahkan yang sering terjadi di masyarakat kita ialah sebaliknya; pengkhianatan dan kedustaan. Oleh karena itu, sangat sulit bagi kita, terlebih-lebih bagi suatu badan usaha untuk menerapkan sistem mudharabah dengan sepenuhnya. Untuk mensiasati keadaan yang memilukan ini, saya mengusulkan agar perbankan syari’at yang ada menerapkan mudharabah sepihak.
Yang saya maksud dengan mudharabah sepihak ialah, perbankan menerima modal dari masyarakat untuk menjalankan berbagai unit usaha yang ia kelola, akan tetapi perbankan tidak menyalurkan modalnya ke masyarakat dengan skema mudharabah. Dengan cara ini, dana nasabah yang disalurkan ke perbankan syari’ah dapat dipertanggung jawabkan dengan jelas, dan perbankan terhindar dari berbagai kejahatan berbagai pihak yang tidak memiliki amanah dan rasa takut kepada Allah Ta’ala.
______
Footnote
[1] Yang dimaksud dengan rekening bank adalah daftar catatan muamalat (transaksi) antara nasabah dengan bank. Lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya Husain Kamil, majalah Mujamma’ al-Fiqh al-Islami no. 9 juz 1 hal. 689. Rekening ini dinamakan dalam bahasa Arab dengan الحساب الجاري (perhitungan yang berjalan) karena ia terus bergerak, bertambah atau berkurang. Lihat Bunuk Tijariyah bila Riba hal. 74. Adapun simpanan rekening bank dan inilah yang dimaksud di sini maka ia didefiniskan dengan, “uang yang dititipkan oleh pemiliknya di sebuah bank di mana bank siap membayarkannya kepada pemiliknya kapan dia mengambilnya”. Lihat Mu’jam al-Mushthalahat at-Tijariyah wal Maliyah wal Mashrafiyah hal. 269, al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Hasani hal. 70, Buhuts fi Qadhaya Fiqhiyah Muashirah karya Qadhi al-Utsmani hal. 350.
[2] Lihat ar-Riba wal Muamalat al-Mashrafiyah fi Nazhar asy-Syari’ah hal. 346, al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Hasani hal. 101 dan Buhuts fi Qadhaya az-Zakah al-Muashirah hal. 352.
[3] Keputusan dan nasihat Mujamma’ al-Fiqh al-Islami hal. 196, teks keputusan no. 86, 3/9 tersebut adalah, “Tabungan bank, baik di bank Islam maupun bank konvensional adalah hutang dari sudut pandang fikih, di mana tangan bank penerima tabungan adalah tangan yang bertanggung jawab. Secara syar’i bank mengharuskan dirinya untuk mengembalikannya kepada penabung saat dia menariknya dan keadaan bank (debitor) yang kaya tidak mempengaruhi hukum hutang.”
[4] Lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Hasani hal. 103 dan Aqd al-Wadi’ah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah karya Nazih Hammad hal. 61-72.
[5] Lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah 34 karya al-Amin hal. 2
[6] Lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Hasani hal. 102, Lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya Sami Hamud, makalah di majalah Mujamma’ al-Fiqh al-Islami no. 9/1/674. Hanabilah menyatakan bahwa titipan berubah dari titipan menjadi pinjaman bila pemegangnya beraktifitas padanya. Sebagaimana dikatakan dalam Kasysyaf al-Qanna’, “Titipan dengan makna akad (akad yang dibolehkan dari kedua belah pihak) karena ia salah satu bentuk wakalah, (bila pemilik mengizinkan) kepada penerima harta (untuk bertindak), yakni menggunakannya (lalu dia melakukannya), yakni menggunakannya menurut izin yang didapatkan, (maka ia berubah menjadi pinjaman yang ditanggung) seperti gadai, bila pemiliknya mengizinkan kepada penerimanya untuk menggunakannya. Bila tidak menggunakannya maka ia adalah amanat, karena pemanfaatan bukan sesuatu yang menjadi tujuan dan ia memang tidak ada, sehingga wajib mempertimbangkan apa yang menjadi maksud.”
[7] Lihat ar-Riba wal-Muamalat al-Mashrafiyah hal. 347 dan Buhuts fi Qadhaya Fiqhiyah Muashirah hal. 253
[8] Lihat al-Masharif al-Islamiyah karya al-haiti hal. 264.
[9] Lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah hal. 101
[10] Lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Amin hal. 233
[11] Lihat al-Manfa’ah wal Qardh hal. 304.
[12] Lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Amin hal. 233.
[13] Lihat Ahkam al-Wada`i’ al-Mashrafiyah dalam Buhuts fi Qadhaya Fiqhiyah Muashirah hal. 253
[14] Lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Amin hal. 233.
[15] Lihat al-Manfa’ah wal Qardh hal. 305
[16] Lihat Bada`i’ ash-Shana`i’ 7/396, Nihayah al-Muhtaj 4/231, Syarh Muntaha al-Iradat 2/102. Lihat Aqd al-Qardh fi asy-Syaria’ah al-Islamiyyah karya Nazih Hammad hal. 61.
[17] Lihar Radd al-Muhtar 5/161, Bulghah as-Salik 3/290, Mughni al-Muhtaj 3/29, Kasysyaf al-Qanna’ 3/312 dengan sedikit perbedaan di antara mereka.
[18] Lihat Bada`i’aash-Shana`i’ 6/211, at-Taj wal Iklil 7/268, Nihayah al-Muhtaj 6/116, Kasysyaf al-Qanna’ 4/167, Aqd al-Wadi’ah fi asy-Syaria’ah al-Islamiyyah karya Nazih Hammad hal. 61.
[19] Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi 5/132, silakan baca juga at-Tahzib oleh Imam al-Baghawi 4/392, Mughni al-Muhtaj oleh as-Syarbini 2/314, & Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 202.
[20] al-Mughni oleh Ibnu Qudamah al-Hambali 7/156.
[21] Baca: Al-Aziz oleh Ar Rafi’i 6/27-28, Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi 5/132, al mughni oleh Ibnu Qudamah 7/158, Mughnil Muhtaaj oleh As Syarbini 2/314, & Syarikatul Mudharabah Fil Fiqhil Islaamy oleh Dr. Saad bin Gharir As Silmy, hal: 202.
[22] Baca: Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/145, Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 38/64.
[23] Bank Syariah dari teori ke praktek oleh Muhammad Syafi’i Antonio 171.
[24] Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqiq. Baca Nasbu ar-Rayah 4/43 , dan at-Tahqiq 2/181.
[25] Riwayat Bukhari dan Muslim.
[26] Fathu al-Bari, oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 4/348-349.
[27] Majalah MODAL edisi 19/II-MEI 2004, hal 25
Disalin dari alsofwah
- Home
- /
- A9. Fiqih Muamalah1 Ekonomi...
- /
- Sudahkah Bank Syariah Di...