Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Menetapkan Sifat Al-‘Uluw (Ketinggian) Bagi Allah Azza wa Jalla

Kedua belas:
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH MENETAPKAN SIFAT AL-ULUW (KETINGGIAN) BAGI ALLAH AZZA WA JALLA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Sifat al-‘Uluw merupakan salah satu dari Sifat-Sifat Dzatiyah Allah Azza wa Jalla yang tidak terpisah dari-Nya. Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini -sebagaimana sifat Allah lainnya- diterima dengan penuh keimanan dan pembenaran oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Sifat Allah ini ditunjukkan oleh sama’ (Al-Qur-an dan As-Sunnah), akal, dan fitrah. Telah mutawatir dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah tentang penetapan ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya.

Di antara dalil dari Al-Qur-an As-Sunnah tentang sifat al-‘Uluw adalah:

1. Firman Allah Azza wa Jalla :

نْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersamamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang.” [Al-Mulk/67: 16]

2. Firman Allah Azza wa Jalla :

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” [An-Nahl/16: 50]

3. Firman Allah Azza wa Jalla :

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah Nama Rabb-mu Yang Mahatinggi.” [Al-A’laa/87: 1]

4. Firman Allah Azza wa Jalla :

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا ۚ إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ۚ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ ۖ وَمَكْرُ أُولَٰئِكَ هُوَ يَبُورُ

Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” [Faathir/35: 10]

5. Pertanyaan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada seorang budak wanita:

أَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَناَ؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.

Dimana Allah?” Ia menjawab: “Allah itu di atas langit.” Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Siapa aku?” “Engkau adalah Rasulullah,” jawabnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang Mukminah.”[1]

Terdapat dua permasalahan yang terkandung di dalam hadits ini:

  • Pertama: Disyari’atkan untuk bertanya kepada seorang Muslim: “Di mana Allah?”
  • Kedua: jawaban yang ditanya adalah: “Di (atas) langit”

Maka, barangsiapa yang memungkiri dua masalah ini, berarti ia memungkiri al-Mushthafa (Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam).[2]

6. Hadits tentang kisah Isra’ dan Mi’raj.
Yaitu sebuah hadits yang mutawatir, sebagaimana disebutkan oleh sejumlah ulama antara lain Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahulla. Beliau berkata[3]: “Di dalam beberapa redaksi hadits menunjukkan kepada ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya, di antaranya ungkapan:

فَحُمِلْتُ عَلَيْهِ فَانْطَلَقَ بِي جِبْرِيْلُ حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَاسْتُفْتِحَ.

Lalu aku dinaikan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke langit yang terendah (langit dunia), ia pun mohon izin agar dibukakan (pintu langit).[4]

Kemudian naiknya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam hingga melewati langit ketujuh dan berakhir pada sisi Rabb-nya, lalu didekatkan oleh Rabb kepada-Nya dan difardhukan shalat atasnya.”

7. Jawaban Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada Dzul Khuwasyirah:

أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ؟

Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya oleh Allah yang ada di atas langit?[5]

Baca Juga  Penjelasan Sebagian Kaidah Dalam Mengambil Dan Menggunakan Dalil

Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata: “Ketinggian Allah di samping ditetapkan melalui Al-Qur-an dan As-Sunnah ditetapkan pula melalui akal dan fitrah. Adapun tetapnya ketinggian Allah mealui akal dapat ditunjukkan dari sifat kesempurnaan-Nya. Sedangkan tetapnya ketinggian Allah secara fitrah, maka perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju ke arah yang tinggi. Perkara ini terjadi pada siapa saja, yang besar maupun yang kecil, orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai-sampai di dalam sujud pun seseorang mendapat kecenderungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang pun dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke arah kiri dan kanan atau ke bawah.” [6]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Hadits shahih riwayat Muslim (no. 537), Abu ‘Awanah (II/141-142), Abu Dawud (no. 930), an-Nasa-i (III/14-16), ad-Darimi (I/353-354), Ibnul Jarud dalam al-Muntaqaa’ (no. 212), al-Baihaqi (II/249-250) dan Ahmad (V/447-448), dari Sahabat Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu.
[2] Lihat Mukhtasharul ‘Uluw (hal. 81) oleh Imam adz-Dzahabi, tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[3] Lihat Ijtimaa’ul Juyuusy al-Islaamiyyah (hal. 55) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun.
[4] HR. Al-Bukhari (no. 3887) dan Muslim (no. 164 (264)) dari Sahabat Malik bin Sha’sha’ah Radhiyallahu anhu. Lihat lafazh hadits ini selengkapnya pada pembahasan ke-25: Isra’ dan Mi’raj di halaman 254.
[5] HR. Al-Bukhari (no. 4351), Muslim (no. 1064) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri.
[6] Diringkas dari Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 389-390), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki, lihat juga kitab Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (II/347).

Ketiga belas:
‘ARSY (SINGGASANA) ALLAH AZZA WA JALLA

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa ‘Arsy Allah dan Kursi-Nya adalah benar adanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

Maka, Mahatinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” [Al-Mu’-minuun/23: 116]

Juga firman-Nya:

ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ

Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Mahamulia.” [Al-Buruuj/85: 15]

Apabila seseorang Muslim mengalami kesulitan, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan untuk membaca:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّماَوَاتِ، وَرَبُّ اْلأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمِ.

Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Yang Mahaagung lagi Maha Penyantun. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Rabb (Pemilik) ‘Arsy yang agung. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Rabb langit dan juga Rabb bumi, serta Rabb Pemilik ‘Arsy yang mulia.”[1]

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

…فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوْهُ الْفِرْدَوْسَ، فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ، وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ…

“… Apabila engkau memohon kepada Allah, maka mohonlah kepada-Nya Surga Firdaus. Sesungguhnya ia (adalah) Surga yang paling utama dan paling tinggi. Di atasnya terdapat ‘Arsy Allah yang Maha Pengasih…” [2]

‘Arsy yaitu singgasana yang memiliki beberapa tiang yang dipikul oleh para Malaikat. Ia menyerupai kubah bagi alam semesta. ‘Arsy juga merupakan atap seluruh makhluk.[3]

Baca Juga  Islam Adalah Agama Yang Haq Yang Dibawa Oleh Nabi Muhammad

‘Arsy Allah dipikul oleh para Malaikat, dan jarak antara pundak Malaikat tersebut dengan telinganya sejauh perjalanan burung terbang selama 700 tahun. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

أُذِنَ لِي أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلاَئِكَةِ اللهِ مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ إِنَّ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيْرَةُ سَبْعِ مِائَةِ عَامٍ.

Telah diizinkan bagiku untuk bercerita tentang sosok Malaikat dari Malaikat-Malaikat Allah Azza wa Jalla yang bertugas sebagai pemikul ‘Arsy, bahwa jarak antara daun telinganya sampai ke bahunya adalah sejauh perjalanan 700 tahun.”[4]

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِي الْكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ تِلْكَ الْفَلاَةِ عَلَى تِلْكَ الْحَلْقَةِ.

Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas cincin tersebut.”[5]

Adapun tentang Kursi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ

Dan Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” [Al-Baqarah/2: 255]

Dari Sa’id bin Jubair bahwasanya ketika Sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma menafsirkan firman Allah: وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَKursi Allah meliputi langit dan bumi,” beliau berkata:

اَلْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ وَالْعَرْشُ لاَ يَقْدُرُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى.

Kursi adalah tempat meletakkan kaki Allah, sedangkan ‘Arsy tidak ada yang dapat mengetahui ukuran besarnya melainkan hanya Allah Ta’ala.”[6]

Imam ath-Thahawi (wafat th. 321) rahimahullah berkata: “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang di bawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.”

Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan: “Bahwa Allah menciptakan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi Allah mempunyai hikmah tersendiri tentang hal itu.”[7]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 6345), Muslim (no. 2730), at-Tirmidzi (no. 3435) dan Ibnu Majah (no. 3883), dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma
[2] HR. Al-Bukhari (no. 2790, 7423), Ahmad (II/335, 339) dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 581), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[3] Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 366-367), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.
[4] Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4727), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, sanadnya shahih. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 151), Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 368) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.
[5] HR. Muhammad bin Abi Syaibah dalam Kitaabul ‘Arsy, dari Sahabat Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu anhu . Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (I/223 no. 109).
[6] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 12404), al-Hakim (II/282) dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 368-369), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki
[7] Ibid, hal. 372.

  1. Home
  2. /
  3. A3. Aqidah Ahlus Sunnah...
  4. /
  5. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah...