Mengadzani Bayi dan Memperlakukan Ari-Ari Bayi

HADITS MENGADZAN BAYI YANG BARU LAHIR

Pertanyaan.
Assalamu’alaikum. Apakah hadits dalam kitab Ibnu Sunni dari Hasan bin Ali yang menerangkan tentang adzan dan iqâmah untuk bayi yang baru lahir itu shahih ?

Jawaban.
Wa’alaikumussalam. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu as-Sunni  dari riwayat al-Husain bin Ali Radhiyallahu anhuma, bukan dari al-Hasan bin Ali seperti yang saudara tanyakan. al-Hasan bin Ali Radhiyallahu anhuma meriwayatkannya  secara marfu’ dengan lafadz :

مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَذَّنَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ

Barangsiapa dikaruniai anak, lalu dia mengumandangkan adzan di telinga kanannya dan iqâmah di telinga kirinya, maka bayi itu tidak bisa dicelakakan oleh ummu shibyân (nama setan).

Apakah derajat ini shahih sehingga bisa dijadikan hujjah ? Untuk menjawab pertanyaan ini, kami membawakan keterangan syaikh Muhammad bin Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dalam kitab Irwâ’ul Ghalîl, no. 1174 (4/401). Beliau rahimahullah mengatakan :

Hadits ini palsu. Dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, hlm. 200, hadits ke-617, penyusun kitab yaitu Ibnu as-Sunni rahimahullah  mengatakan, “Aku diberitahu oleh Abu Ya’la, beliau mengatakan, ‘Jabbarah bin al-Muflis telah menyampaikan kepadaku, beliau berkata, ‘Yahya bin al-Alâ’ telah menderitakan kepada kami dari Marwan bin Sâlim dari Thalhah bin Ubaidillah al-‘Aqili dari Husein bin Ali Radhiyallahu anhu beliau berkata, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : …. (lalu beliau sampaikan hadits dengan lafazh diatas).

Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Saya berpendapat bahwa sanad hadits ini palsu. Sumber permasalahannya adalah Yahya bin al-Alâ’ atau gurunya yaitu Marwân bin Sâlim. Salah satu dari dua orang ini lebih buruk dari yang lainnya. Adz-Dzahabi rahimahullah mencantumkan nama dua orang ini dalam kitab adh-Dhu’âfa, seraya mengatakan tentang orang yang pertama dari dua orang ini (yaitu Yahya-pent), ‘Ahmad (bin Hambal-pent) rahimahullah berkata, “Ia seorang pendusta yang memalsukan hadits.”  Sedangkan tentang orang kedua (yaitu Marwân), Beliau rahimahullah berkata, ‘Ahmad rahimahullah mengatakan, ‘Ia Tidak tsiqah (tidak kredibel).’”. Sedangkan al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan dalam kitab at-Taqrîb, “Orang ini matrûk (lemah sekali) dan imam as-Sâji dan yang lainnya menuduh orang ini memalsukan hadits.” al-Hâfizh mengomentari yang pertama dengan menyatakan, “Tertuduh memalsukan hadits.”

Baca Juga  Membentuk Sikap Hormat Terhadap Ketentuan Allah

Menurut Syaikh al-Albani rahimahullah yang menyebabkan hadits ini menjadi palsu, bukan karena keberadaan Jabarah dalam sanadnya, karena orang ini hanya masuk dalam deretan orang yang lemah tapi tidak sampai tertuduh memalsukan hadits. Sumber permasalahan dalam sanad ini sehingga menyebabkannya menjadi maudhu’ adalah keberadaan orang-orang sebelum jabarah yang tertuduh telah memalsukan hadits.

Wallahu a’lam.

(Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV/1432H/2011M).

MEMPERLAKUKAN ARI-ARI BAYI

Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA

Pertanyaan.
Assalâmu alaikum wa rahmatullâh ! Ustadz, bagaimanakah cara memperlakukan ari-ari bayi menurut ajaran Islam ? Apakah memang harus dipendam, apakah dibuang begitu saja atau bagaimana ?

Jawaban.
Wa’alaikum salâm warahmatullâhi wabarâkatuh. Merawat plasenta (ari-ari / tembuni) termasuk urusan dunia yang harus dikembalikan kepada ahlinya. Menurut kedokteran, plasenta adalah organ tubuh ibu hamil yang berfungsi sebagai saluran arus makanan untuk orok, ketika ia masih berada di dalam rahim. Manakala orok lahir, organ ini tidak diperlukan lagi dan biasanya keluar bersama bayi yang lahir. Hal ini dikarenakan fungsi yang harus dijalankan telah selesai dan tidak diperlukan lagi di dalam tubuh ibu.

Oleh karena itu, hendaknya kita memperlakukannya sebagaimana memperlakukan organ tubuh lain yang sudah tidak berfungsi, yaitu menguburnya di dalam tanah tanpa menggunakan tata cara khusus. Maksudnya agar plasenta tidak diacak-acak oleh binatang dan baunya tidak mengganggu orang lain, bila dibuang begitu saja. Jangan pula dibuang ke air, karena itu mencemarkannya.[1]

Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menguburkannya adalah lemah. Redaksinya adalah sebagai berikut :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n يَأْمُرُ بِدَفْنِ سَبْعَةِ أَشْيَاءَ مِنَ الإِنْسَانِ: الشَّعْرِ، وَالظُّفرِ، وَالدَّمِ، وَالْحِيْضَةِ، وَالسِّنِّ، وَالْعَلَقَةِ، وَالمَشِيمَةِ

Baca Juga  Hari Pertama Dari Kelahiran Anak

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur tujuh hal dari manusia : rambut, kuku, darah, haid, gigi, kulit yang dipotong saat khitan, dan plasenta.[2]

Hadits ini dihukumi dha’if (lemah) oleh a-Baihaqi, ad-Daraquthni, dan al-Albani,[3] sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum.

Ada adat yang berkembang di sebagian masyarakat berupa pelarungan plasenta di laut, menggantungnya di rumah atau menguburnya beserta barang-barang tertentu ditambah pemberian lampu dengan keyakinan agar anak terjaga dari marabahaya atau agar anak pintar. Praktek dan keyakinan ini adalah khurafat, yakni meyakini dan melakukan sebab yang tidak terbukti secara syariah atau ilmiah. Keyakinan seperti ini bisa menjadi syirik kecil atau besar, tergantung keyakinan si pelaku. Apapun itu, adat seperti harus ditinggalkan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Lihat: http://groups.yahoo.com/neo/groups/assunnah/conversations/topics/18322
[2] Nawâdirul Ushûl, al-Hakiem at-Tirmidzi 1/186.
[3] Lihat: Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah 7/259 no 3.263

  1. Home
  2. /
  3. A9. Wanita dan Keluarga...
  4. /
  5. Mengadzani Bayi dan Memperlakukan...