Hukum Wudhu’, Mandi Junub, Istinja’ Dengan Air Zamzam
TABARRUK DENGAN MEMINUM AIR ZAMZAM
Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
Hukum Wudhu’ Dan Mandi Junub Dengan Air Zamzam
Madzhab (pendapat) dari kebanyakan ulama menyebutkan bahwasanya tidak dimakruhkan berwudhu’ dan mandi dengan air zamzam. Dalam suatu riwayat dari Imam Ahmad bahwasanya ia memakruhkannya oleh karena telah ada kabar dari al-‘Abbas Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata tentang air zamzam, “Aku tidak menghalalkannya bagi siapa yang mandi, ia hanya halal dan boleh untuk orang yang meminumnya[1].[2]”. Dan karena ia menghilangkan apa yang menghalangi (seseorang) dari shalat, ia seperti menghilangkan najis dengannya[3].
Dan di antara dalil-dalil jumhur seperti apa yang telah disebutkan oleh an-Nawawi: “Nash-nash yang benar, jelas dan mutlak dalam segala air tanpa ada perbedaan, bahwasanya kaum Muslimin berwudhu’ darinya dengan tanpa diingkari.” Lalu ia berkata: “Tidaklah benar apa yang mereka sebutkan tentang al-‘Abbas Radhiyallahu anhu, namun hal itu hanya yang diriwayatkan dari ‘Abdul Muththalib[4].” Kalau pun hal itu benar dari al-‘Abbas, tidak boleh meninggalkan nash-nash yang ada karenanya. Maka, para sahabat kami menjawab -orang-orang bermazhab Syafi’i- bahwa hal itu mungkin saja dilakukannya pada waktu kesulitan air oleh sebab banyaknya orang yang minum[5].”[6]
Ibnu Qudamah[7] menguatkan ketidakmakruhannya: “Berlebih-lebihan padanya tidak harus membuatnya menjadi makruh untuk dipakai, seperti air yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangannya di dalamnya atau mandi darinya” [8]
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali Radhiyallahu anhu dalam kisah tentang Haji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau meminta sebuah bejana[9] penuh berisi air zamzam, lalu beliau minum darinya dan berwudhu” [10]
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat makruhnya mandi dengan air zamzam selain wudhu’, karena hadats janabah adalah lebih berat, maka mandi janabah termasuk menghilangkan hadats besar dari satu sisi, maka wajib mandi dari janabah seperti wajibnya mandi dari najis dan oleh karena itu larangan dari al-‘Abbas Radhiyallahu anhu hanya untuk mandi tidak untuk wudhu[11]’
Hukum Istinja’ (Cebok) Dengan Air Zamzam
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum istinja’ dengan air zamzam terbagi kepada tiga pendapat. Pertama, hal itu diharamkan walaupun ia telah suci dengannya oleh karena kehormatan air zamzam dan kemuliaannya, sebagian lain beralasan bahwa ia termasuk dari makanan pokok seperti halnya makanan, maka ia pun ikut menjadi haram karena dimakan atau diminum. Pendapat kedua adalah makruh dan yang ketiga adalah berlawanan dengan yang pertama,[12] dan tidak boleh menghilangkan najis dengannya apalagi istinja’, khususnya bila yang lainnya ada[13].
Dan hal-hal yang juga dilarang bersuci dengan air zamzam adalah dilarang memandikan mayat dengannya seperti yang diisyaratkan kepadanya oleh sebagian ulama[14]. Al-Fakihi[15], menyebutkan -ia merupakan ulama abad ketiga- bahwa penduduk Makkah memandikan mayat mereka dengan air zamzam, apabila mereka telah selesai memandikan mayat dan membersihkannya, mereka menjadikan akhir dari mandinya dengan maksud bertabarruk dengannya.”[16]
Hukum Memindahkan Air Zamzam Ke Luar Negeri Haram
Dibolehkan memindahkan air zamzam ke seluruh negeri dengan maksud bertabarruk dengannya, hal ini merupakan kesepakatan para ulama.[17] Dalil bolehnya hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwasanya ia membawa air zamzam dan mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membawanya.[18]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang membawa sesuatu dari air zamzam, maka hal itu adalah boleh dan sungguh para Salaf pun membawanya.”[19]
Al-Imam az-Zarkasyi berkata: “Dibolehkan membawa air zamzam atau lainnya dari air-air di negeri Haram dan memindah-kannya menuju seluruh negeri karena air akan terganti (mengalir lagi), berbeda dengan memindahkan batu dan tanah.[20]
Al-Imam as-Sakhawi[21] berkata: “Sering terdengar dari mulut ke mulut bahwasanya keutamaan air zamzam adalah apabila masih pada tempatnya dan apabila telah dipindahkan maka akan hilang, hal ini tidak memiliki dasar sama sekali.” Kemudian ia menyebut-kan beberapa dalil yang menerangkan tentang hal tersebut untuk bertabarruk dengannya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagian Sahabat Radhiyallahu anhum[22].
Dengan demikian -berkat taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala- berakhirlah pembahasan dalam pasal ini: “Tabarruk dengan Meminum Air Zamzam.”
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Al-Hill adalah halal, wal bill adalah mubah dari bahasa Humair. Syarhus Sunah, al-Baghawi (VII/300). Pendapat lain, al-Bill adalah pengobatan, dari perkataan, “Balla man maridhahu wa aball.” An-Nihaayah, Ibnul Atsir (I/154).
[2] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannif (V/114) dengan perkataan, “Dan ia bagi yang meminum dan bagi yang berwudhu’.” Dari ‘Abbas dan juga dari anaknya. Demikian pula al-Fakihi dalam Akhbaaru Makkah (II/63), al-Azraqi dalam Akhbaaru Makkah (II/58).
[3] Al-Mughni, Ibnu Qudamah (I/18) dan al-Majmuu’ Syarhul Muhadzadzab, an-Nawawi (I/91).
[4] Lihat Akhbaaru Makkah, al-Azraqi (II/43). Ibnu Katsir telah menguatkan bahwa dari ‘Abdul Muththalib sendiri karena ia yang memperbaharui peng-galian zam-zam, dan al-‘Abbas serta anaknya mengatakan hal serupa pada masa mereka berdua sebagai pemberitahuan dan informasi dengan apa yang disyaratkan oleh ‘Abdul Muththalib ketika menggali zamzam tersebut, wallaahu a’lam. Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah, Ibnu Katsir (II/247).
[5] Dalam riwayat al-Azraqi bahwasanya sebab-sebab dari perkataan ini adalah bahwa ‘Abbas Radhiyallahu anhu mendapatkan orang mandi di kolam zamzam dengan telanjang dalam riwayat lain darinya bahwasanya ada seseorang yang mandi dengan air zamzam, maka ia sangat marah dengan hal tersebut, lihat kitab Akhbaaru Makkah, al-Azraqi (II/58).
[6] Al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab (I/91).
[7] Beliau adalah ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi lalu al-Masyriqi ash-Shalihi al-Hanbali Abu Muhammad Muwaffiquddin, imam, ‘alim dan seorang mujtahid. Walaupun ia sangat berilmu ia sangat wara’, zuhud dan suka ibadah, berakhlak mulia, memiliki karya tulis yang banyak lagi bermanfaat, di antaranya al-Mughni fil Fiqh, Raudhatun Naazhir fii Ushuulil Fiqh, Mas-aalatul ‘Uluww, Dzammut Ta’-wil, Fadhaa-ilush Shahaabah, wafat di Dimasyqi pada tahun 620 H. Lihat Siyar A’lamin Nubalaa’ (XXII/165), al-Bidaayah wan Nihaayah (XIII/99), adz-Dziyalu ‘ala Thabaqatil Hanabilah, Ibnu Rajab (II/133) dan Syadzaaraatudz Dzahab (V/88).
[8] Al-Mughni (I/18).
[9] As-sajlu adalah bejana yang penuh berisi air. An-Nihaayah, Ibnul Atsir (II/344).
[10] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (I/76), az-Zarkasyi ber-kata tentang air zam-zam tersebut, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar berwudhu’ dengannya.” I’laamus Saajid, az-Zarkasyi (hal. 136). Hadits ini berasal dari Shahih Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu -telah lewat isyarat kepadanya- namun di dalamnya tidak disebutkan bahwa Nabi berwudhu’.
[11] Majmuu’ Fataawaa, Ibnu Taimiyyah (XII/600), lihat Badaa-i’ul Fawaa-id, Ibnul Qayyim (IV/48).
[12] I’laamus Saajid bi Ahkaamil Masaajid (hal. 136-137), ada perubahan dan peringkasan, lihat juga Badaa-i’ul Fawaa-id (IV/47).
[13] Syifaa-ul Gharaam bi Akhbaaril Baladil Haram, al-Fasi (I/258), dengan sedikit perubahan.
[14] Ibid, I/258.
[15] Beliau adalah Muhammad bin Ishaq bin ‘Abbas al-Faqihi Abu ‘Abdillah al-Makki, sejarawan, penulis kitab Akhbaaru Makkah fii Qadiimid Dahr wa Hadiitsihi, karya al-Fakihi. Wafat tahun 272 H, lihat Kasyfuzh Zhunuun (I/ 306), Hadiyyatul ‘Arifiin (VI/20), al-A’lam (VI/28). Muqaddimah pada juz pertama dari kitab Akhbaru Makkah karya al-Fakihi dengan peneliti ‘Abdul Malik bin ‘Abdillah bin Duhaisy
[16] Akhbaaru Makkah fii Qadiimid Dahr wa Hadiitsihi, al-Fakihi (II/48).
[17] Lihat Syarhus Sunnah, al-Bagawi (VII/300), Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (I/258), al-Jaami’ul Lathiif, Ibnu Zhahirah (hal. 277), bahkan pemindahan itu dianjurkan bagi madzhab Malik dan Syafi’i, lihat dua referensi terakhir.
[18] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya (III/295) kitab al-Hajj, ia berkata, “Hadits hasan gharib.” Juga al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/485) kitab al-Manaasik serta al-Fakihi dalam Akhbaaru Makkah (II/49).
[19] Majmuu’-atur Rasaa-ilil Kubra, Ibnu Taimiyyah (II/413), lihat Akhbaaru Makkah, al-Fakihi (II/50).
[20] I’laamus Saajid, hal.137.
[21] Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Syamsuddin bin Abul Khair as-Sakhawi al-Mishri asy-Syafi’i, imam, hafizh, sejarawan, sastrawan, pendatang ke negeri Makkah dan Madinah, bermusafir ke seluruh negeri untuk mencari ilmu, menulis banyak kitab, di antaranya Fat-hul Mughiits bi Syarhi Alfiatil Hadiits, adh-Dha-ul Laami’ li Ahlil Qarnit Tansi’, al-Qaulul Badii’ fish Shalaati ‘ala Habibisy Syafii’, at-Tuhfatul Lathiifah fii Akhbaaril Madinah asy-Syariifah, wafat tahun 902 H di Madinah. Lihat Syadzaaraatudz Dzahab (VIII/16), Hadiyyatul ‘Arifiin (VI/219) dan al-A’lam (VI/194).
[22] Lihat al-Maqaashidul Hasanah fii Bayaani Katsiirin minal Ahaaditsil Musy-taharah ‘alal Alsinah, as-Sakhawi (hal. 358), dan al-Aadabusy Syar‘iyyah, Ibnu Muflih al-Hanbali (III/110).
- Home
- /
- B2. Topik Bahasan5 Shalawat...
- /
- Hukum Wudhu’, Mandi Junub,...