Status Anak Zina

STATUS ANAK ZINA

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Tidak dapat dipungkiri lagi, musibah perzinaan sudah mulai merebak di negara ini. Kebejatan dan kenistaan  tindak perzinaan telah dikaburkan dengan istilah yang berkonotasi lain. WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria Idaman Lain), PSK (Penjaja Seks Komersial), Gadis Pendamping dan yang sejenisnya mengesankan permasalahan ini dianggap ringan oleh sebagian kalangan. Ditambah lagi, syari’at Islam secara umum dan hukuman bagi para pezina khususnya tidak dilaksanakan. Kondisi-kondisi ini mendukung tersebarnya wabah buruk ini di tengah kaum muslimin.

Perzinaan yang mewabah ini menimbulkan berbagai problematika social yang menyakitkan. Tidak hanya pada kedua pelakunya saja, namun juga pada anak yang lahir melalui hubungan haram tersebut. Predikat “anak zina” sudah cukup menyebabkan si bocah menderita kesedihan mendalam. Apalagi bila menengok masalah-masalah lain yang mesti ia hadapi di kemudian hari.  Seperti penasaban, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin ia hindari.

Nasab Anak Zina
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana nasib anak mulâ’anah[1]  yang dinasabkan kepada ibunya, bukan ke bapaknya. Sebab, nasab kedua anak ini terputus dari sisi bapak.[2] Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam menyatakan tentang anak zina:

ِلأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا

(Anak itu) untuk keluarga ibunya yang masih ada[3]

Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam juga menasabkan anak mulâ’anah kepada ibunya. Ibnu Umar Radhiyallahu anhu pernah menuturkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَعَنَ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَتِهِ ، فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا ، وَاَلْحَقَ الْوَلَدَ باِلْمَرْأَةِ 

Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengadakan mulâ’anah antara seorang lelaki dengan istrinya. Lalu lelaki itu mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya.[4]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan konsekuensi hukum dari sebuah mula’aanah antara seorang suami dengan istrinya menyatakan: “Hukum keenam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menetapkan untuk tidak dipanggil anak tersebut dengan nasab bapak. Inilah yang benar dan merupakan pendapat mayoritas Ulama”.[5]

Syaikh Mushthafâ al’Adawi hafizhahullah mengatakan : “Inilah pendapat mayoritas ulama, nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya. Sebab, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menetapkan agar tidak dinasabkan kepada bapaknya. Inilah pendapat yang benar”[6]

Senada dengan pendapat di atas, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah mengatakan: “Anak zina diciptakan dari sperma tanpa pernikahan. Maka dia tidak dinasabkan kepada seorang pun, baik kepada lelaki yang menzinainya atau suami wanita tersebut apabila ia bersuami. Alasannya, ia tidak memiliki bapak yang syar’i (melalui pernikahan yang sah, red)”.[7]

Nasab anak hasil selingkuh atau perzinaan, apabila ditinjau dari status ibunya, dapat dikategorikan menjadi dua:

1. Si ibu berstatus sebagai istri orang.
Seorang wanita bersuami yang terbukti selingkuh (baca : berbuat zina) kemudian melahirkan anak dari hubungan haram tersebut, maka tidak lepas dari dua keadaan:

  • Sang suami tidak mengingkari anak tersebut atau mengakui sebagai anaknya.

Yakni, apabila seorang wanita yang bersuami melahirkan seorang anak dan sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuhan dengannya, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits dari Aa’isyah Radhiyallahu anhuma :

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ

Anak yang lahir adalah milik pemilik ranjang (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian[8]

Yang dimaksud dengan kata al-firâsy di sini adalah lelaki yang memiliki istri atau budak wanita yang sudah pernah digaulinya. Dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pernah bersabda :

الْوَلَدُ لِصَاحِبِ الْفِرَاشِ

Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami)[9]

Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah menyatakan: “Ketika seorang wanita telah menjadi firâsy, baik sebagai istri atau budak wanita, kemudian dia melahirkan seorang anak, maka anak itu menjadi milik pemilik firâsy.[10]Beliau rahimahullah menambahkan: “Dengan adanya kepemilikan firâsy ini, maka keserupaan fisik atau pengakuan seseorang dan lainnya sudah tidak dianggap”[11]

  • Sang suami mengingkarinya

Apabila suami mengingkari anak tersebut, maka si wanita (sang istri) tidak lepas dari dua keadaan :

  1. Ia mengakui kalau itu memang hasil perselingkuhan atau terbukti dengan persaksian yang sesuai syari’at. Jika seperti ini keadaannya, maka si wanita dijatuhi hukum rajam dan status anaknya adalah anak zina serta nasabnya dinasabkan ke ibunya.
  2. Wanita itu mengingkari kalau anak yang lahir sebagi hasil perselingkuhan. Maka, solusi dari syariat, pasangan suami istri itu saling melaknat (melakukan proses mulâ’anah). Lalu mereka berdua dipisahkan dan ikatan pernikahan kedua insan ini terputus untuk selama-lamanya. Anak yang diperselisihkan ini menjadi anak mulâ’anah bukan anak zina. Meski bukan anak zina, namun tetap dinasabkan kepada ibunya.

2. Bukan berstatus sebagai istri orang
Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum pernah menikah secara sah sama sekali, kemudian melahirkan anak, maka anak tersebut berada dalam dua kondisi :

  • Bila tidak ada seorang lelaki pun yang pernah menzinainya meminta anak tersebut dinasabkan kepada dirinya, maka si anak tidak dinasabkan kepada lelaki manapun. Nasab anak itu dihubungkan ke ibunya.
  • Ada lelaki yang mengaku telah menzinai wanita tersebut dan mengklaim anak tersebut anaknya. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat :

Pendapat pertama : Menyatakan anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang mengaku itu.
Ini merupakan pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (Imam madzhab yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad rahimahumullah)[12] dan pendapat Ibnu Hazm rahimahullah[13]. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni.

Dasar pendapat ini adalah:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam:

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ

Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian[14]

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam tidak menasabkan sang anak kepada selain suami ibunya. Ini berarti menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi kandungan hadits ini.

2. Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:

قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.

Seorang berdiri seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini adalah anak saya, saya telah menzinahi ibunya dizaman Jahiliyah.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallammenjawab: “Tidak ada pengakuan anak dalam islam. Masa jahiliyah sudah hilang. Anak adalah milik suami wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan kerugian.[15]

Baca Juga  Zina

3. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam :

لاَ مُسَاعَاةَ فِى الإِسْلاَمِ مَنْ سَاعَى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلاَ يَرِثُ وَلاَ يُورَثُ

Tidak ada perzinahan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashabah) dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan.[16]

4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَضَى أَنَّ كُلَّ مُسْتَلْحَقٍ اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِى يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ وَرَثَتُهُ فَقَضَى أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا فَقَدْ لَحِقَ بِمَنِ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ مِمَّا قُسِمَ قَبْلَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ شَىْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلاَ يُلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِى يُدْعَى لَهُ أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لاَ يُلْحَقُ بِهِ وَلاَ يَرِثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِى يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ كَانَ أَوْ أَمَةٍ.

Sungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam ingin memutuskan permasalahan setiap anak yang dinasabkan kepada seseorang setelah (meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak yang berstatus miliknya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan suami istri), maka si anak dinasabkan kepada yang meminta penasabannya  dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya. Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinahinyanya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya.[17]

Ibnu al-Qayyim menyatakan: Hadits ini membantah pendapat Ishaaq dan yang sepakat dengannya.[18]

5. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam :

أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا ، لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرِثُ

Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan.[19]

6. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyampaikan alasannya bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya. Ini menunjukkan bahwa anak itu tidak dianggap anak secara syar’i sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali.[20]

Pendapat kedua : Menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta penasabannya.
Inilah pendapat Ishâq bin Rahuyah rahimahullah, ‘Urwah bin az-Zubeir rahimahullah, Sulaiman bin Yasâr rahimahullah dan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : Ada dua pendapat ulama dalam masalah pezina yang meminta anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila wanita yang dizinahinya tidak bersuami. Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ

Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.

Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menjadikan anak tersebut milik suami (al-Firaasy) bukan pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firâsy) maka tidak masuk dalam hadits ini.[21]

Ibnu Taimiyah rahimahullah berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar bin Al-Khaththâb sebagaimana diriwayatkan imam Mâlik dalam al-Muwaththa’ dengan lafadz:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – z – كَانَ يُلِيْطُ أَوْلاَدَ الْجَاهِلِيَّةِ بِمَنِ ادَّعَاهُمْ فِي الإِسْلاَمِ .

Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dahulu menasabkan anak-anak jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam.[22]

Demikian juga ia berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah salah satu  pasangan berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya dan mewarisinya serta adanya nasab antara anak tersebut dengan kerabat ibunya padahal ia berzina dengan lelaki (bapaknya) tersebut. Anak itu ada dari air kedua pasangan tersebut dan berserikat padanya dan keduanya sepakat itu adalah anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan anak tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya tidak mengakuinya? Ini adalah qiyas murni.[23]

Yang râjih Wallahu A’lam adalah pendapat jumhûr dengan keshahihan dalil kedua dan keempat yang menguatkan pendapat jumhûr.

Setelah membahas perbedaan pendapat dalam masalah ini dan menyampaikan hadits keempat dari pendapat pertama, Ibnul Qayyim rahimahullahmenyatakan : Apabila hadits ini shahîh maka wajib berpendapat dengan kandungan hadits ini dan mengambilnya. Apabila hadits ini tidak shahih maka pendapat  (yang rajah-pent) adalah pendapat Ishâq rahimahullah dan orang-orang yang bersamanya.[24]

Anak Zina dan Warisan.
Hukum warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris anak mulâ’anah karena nasab mereka sama-sama terputus dari sang bapak.[25] Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari konsekwensi nasabnya.

1. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara seorang anak dengan bapaknya ada dengan keberadaan salah satu diantara sebab-sebab pewarisan (Asbâb al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’i kepada lelaki yang telah menzinahi ibunya maka konsekuensinya adalah tidak ada waris-mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian, anak zina tersebut tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang tersebut dan kerabatnya. Begitu juga lelaki tersebut, tidak bisa mendapatkan harta waris dari anak hasil perbuatan zinanya.

2. Anak Zina dengan ibunya
Sedangkan antara anak hasil perbuatan zina dengan ibunya maka tetap ada saling mewarisi. Anak hasil zina ini sama seperti anak-anak yang lain dari ibunya tersebut. Karena ia adalah anaknya, maka ia masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

 يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [an-Nisâ/4: 11]

Baca Juga  Mengendalikan Syahwat

Dia berhak mendapatkan warisan dari sang ibu karena ia dinasabkan kepada ibunya dan nasab merupakan salah satu sebab diantara sebab-sebab pewarisan. Dalam hal ini status anak zina sama dengan anak mulâ’anah yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam memutuskan perkara mulâ’anah. Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu mengatakan :

فَكَانَتْ سُنَّةً أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلاَعِنَيْنِ وَكَانَتْ حَامِلاً ، فَأَنْكَرَ حَمْلَهَا وَكَانَ ابْنُهَا يُدْعَى إِلَيْهَا ، ثُمَّ جَرَتِ السُّنَّةُ فِى الْمِيرَاثِ أَنْ يَرِثَهَا ، وَتَرِثَ مِنْهُ مَا فَرَضَ اللَّهُ لَهَا .

Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mulâ’anah padahal sang wanita tersebut dalam keadaan hamil. Sang suaminya mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada wanita tersebut. Kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut sesuai dengan ketetapan Allah.[26]

Ibnu Quddâmah rahimahullah berkata : “Seorang lelaki apabila melakukan mulâ’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya serta hakim telah memisahkan antara keduanya, maka anak tersebut lepas darinya dan terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mulâ’anah ini. Ia tidak mewarisinya dan juga tidak seorangpun ahli waris (‘Ashabah)nya. Dia hanya diwarisi oleh ibunya dan dzawu al-Furudh (ahli waris yang mendapatkan bagian-bagian tertentu-red) dari arah ibu. Juga waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.[27]

Mahramkah Anak Zina dengan Keluarga Lelaki yang Menzinai Ibunya?
Telah lalu dijelaskan menurut pendapat yang rajih  (lebih  kuat) bahwa anak zina terputus nasab dan hak warisnya dari lelaki yang menzinahi ibunya. Dengan dasar ini maka anak zina tersebut bukanlah mahram bagi keluarga lelaki tersebut, sebab status mahram didapatkan dengan tiga sebab yaitu nasab, persusuan dan perkawinan. Ketiga sebab ini tidak ada pada anak zina. Oleh karena itu ia bukanlah mahram bagi lelaki tersebut, saudara dan anak-anak lelaki tersebut yang dilahirkan dari pernikahan yang sah. Konsekwensinya seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan kebolehan melihat, khalwat dan safar dilarang diantara mereka.

Bolehkan Lelaki Tersebut Menikahi Anak Hasil Perbuatan Zinanya?
Permasalahan ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan beliau menjawab :

Menurut mayoritas ulama besar kaum muslimin, ia tidak boleh menikahinya sampai-sampai imam Ahmad rahimahullah  mengingkari adanya perbedaan pendapat dalam hal ini dikalangan salaf. Beliau rahimahullah mengatakan : “Siapa yang berbuat demikian (menikahi anak hasil perbuatan zinanya-red) maka dihukum bunuh. Disampaikan kepada beliau rahimahullah sebuah pendapat dari imam Mâlik bahwa beliau membolehkannya, maka imam Ahmad rahimahullah mendustakan penukilan dari imam Mâlik rahimahullah tersebut. Pengharaman hal ini adalah pendapat Abu Hanifah rahimahullah dan pengikutnya, Ahmad rahimahullah dan pengikutnya, Mâlik dan mayoritas pengikutnya dan juga merupakan pendapat banyak pengikut madzhab Syafi’i. Beliau rahimahullah juga mengingkari berita bahwa imam Syafi’i berpendapat yang berbeda dengan ini. Para ulama mengatakan :  “Imam Syafi’i hanya mengatakan anak perempuan dari susuan bukan anak hasil perbuatan zina.[Majmû’ fatâwâ 32/143]

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga ditanya tentang seorang yang menzinahi seorang wanita, lalu lelaki tersebut meninggal dunia. Apakah anak dari lelaki yang berzina tersebut diperbolehkan menikahi wanita yang dizinai ayahnya?

Beliau menjawab : Ini dilarang dalam madzhab Abu Hanîfah, Ahmad dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Mâlik dan dalam pendapat kedua beliau membolehkan. Dan ini juga madzhab Syâfi’i. [Majmû’ Fatâwâ 32/143]

Dengan demikian jelaslah status anak zina dalam nasab, warisan dan mahram. Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.

Wabillahi Taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1429/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Mulâ’anah (الملاعنة) adalah kata dasar (Mashdar) dari لاَعَنَ – يُلاَعِنُ – مُلاَعَنَةً وَ لِعَانًا bermakna melaknat
[2]  (Lihat al-Mughnî 9/123),
[3]  Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, kitâbuth Thalâq, Bab Fi Iddi’â` Walad az-zinâ no. 2268.  (Shahîh Sunan Abi Dawud no. 1983)
[4]  HR al-Bukhâri, Kitâbuth-Thalâq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah. Lihat Fathul Baari (9/460).
[5] Zâdul Ma’âd 5/357
[6]  Jâmi’ Ahkâmin Nisâ` (4/232)
[7]  Syarhul Mumti’ (4/255)
[8] HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi, lihat Fathul Bâri, 12/52
[9]  HR al-Bukhâri dalam Kitabul Farâid, Bab al-Walad Lil Firâsy Hurratan kânat au Amatan, lihat Fathul Bâri,12/32
[10] al-Fatâwâ as-Sa’diyah hal. 552.
[11]  Ibid hal. 553.
[12]  Lihat Ikhtiyârât Ibnu Taimiyah, Ahmad al-Mûfi 2/828.
[13]  Lihat al-Muhallâ 10/323.
[14] HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi. Lihat Fathul Bâri 12/52
[15]  HR Abu Daud, Kitabutth-Thalâq Babul-Walad Lil Firâsy no.  2274 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud dan Shahîhul-Jâmi’ no. 2493.
[16] HR Abu Daud no. 2264 namun hadits ini didhaifkan oleh syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Dha’îful -Jâmi no. 6310 dan Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqiq Zâd al-Ma’âd 5/382
[17] HR Abu Daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albâni dalam shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-Arna`uth dalam Tahqîq Zâd al-Ma’âd 5/383
[18]  Zâd al-Ma’âd 5/384
[19]  HR At-Tirmidzi, kitab a-Farâ`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh al-Jâmi’ no. 2723.
[20]  Al-Mughnî, 7/129-130 dinukil dari Ikhtiyârât Ibni Taimiyah 2/828.
[21]  Majmu’ Fatâwâ 32/112-113.
[22] Al-Muwaththa’ 2/740
[23]  Zâd al-Ma’âd 5/ 381.
[24]  Ibid.
[25]  Lihat al-Mughni 9/122.
[26] HR al-Bukhâri, Kitab at-Tafsîr no. 4746. Lihat Fathu al-Bâri 8/448 dan Muslim dalam kitab al-Li’ân 10/123 (Syarh an-Nawâwi)
[27]  Al-Mughnî 9/114.