Usaha Haram dan Implikasi Buruknya
USAHA HARAM DAN IMPLIKASI BURUKNYA
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Setiap orang harus berusaha memenuhi kebutuhannya dengan segala kemampuan dan cara yang ada. Tidak seorang pun yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa berinteraksi dan berhubungan dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan satu cara yang mengatur pemenuhan kebutuhan mereka tersebut, salah satunya adalah pengelolaan harta, baik dengan jual beli atau yang lainnya. Karena itulah Allah Azza wa Jalla karuniakan kemampuan dan naluri kepada para hamba-Nya untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan, dan menuntun hamba-Nya tersebut dengan aturan dan bimbingan yang dapat menjauhkan mereka dari kemurkaan-Nya.
Sekarang ini masalah pemenuhan kebutuhan melalui usaha yang beragam bentuknya berkembang pesat dan cukup pelik untuk dimengerti, dari yang tradisional, konvensional sampai yang multi level. Hal ini menuntut setiap Muslim untuk mengerti hukum syariat tentang hal-hal itu, terlebih lagi ini kaum Muslimin saat ini banyak yang meremehkan dan tidak memperhatikan lagi masalah halal dan haram dalam usaha mereka. Bahkan sebagian mereka sudah tidak peduli lagi dengan masalah ini. Sungguh benar berita yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ؟!
Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?![1]
Berapa banyak seseorang yang menzhalimi saudaranya hanya dengan dalih harta, bahkan saling menumpahkan darah di antara mereka. Kemungkinan fenomena ini muncul karena kaum Muslimin tidak sabar dan teguh menghadapi fitnah harta yang pernah dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu haditsnya,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
Sesungguhnya setiap umat mendapatkan fitnah dan fitnah umat ini adalah harta.[2]
Tidak dipungkiri lagi bahwa ujian harta merupakan perkara yang sulit dan menghanyutkan banyak kaum Muslimina, apalagi ketika mereka jauh dari tuntunan syari’at. Padahal ketamakan terhadap harta merupakah salah satu tabiat manusia, seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ ؛ لاَبْتَغَى ثَالِثاً , وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ , وَيَتُوْبُ الله ُعَلَى مَنْ تَابَ
Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta; pasti ia menginginkan yang ketiga, sedangkan perut anak Adam tidaklah dipenuhi kecuali dengan tanah, dan Allah memberi taubat-Nya kepada yang bertaubat.[3]
Semua ini menghancurkan keimanan kaum Muslimin. Pergeseran cinta dunia dan takut mati telah menguasai atau dominan di hati mereka. Akhirnya, mereka menyatakan dengan tanpa ekspresi sebuah ungkapan: “Yang haram aja susah apalagi yang halal”. Mereka pun terjerumus dalam praktek usaha haram yang beraneka ragam.
Mengapa fenomena seperti ini banyak muncul di kalangan kaum Muslimin?
Sebab Terjerumusnya Kaum Muslimin Dalam Usaha Haram.
Bila melihat kejadian dan keadaan, nampaknya ada beberapa sebab penting yang membuat seseorang terjerumus dalam usaha yang haram, di antaranya:
1. Rendahnya kadar rasa takut dan malu kepada Allah Azza wa Jalla diakibatkan karena rendahnya kualitas iman. Iman yang rendah akan menyurutkan rasa takut dan malu kepada Allah Azza wa Jalla yang merupakan benteng utama seorang dari kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggambarkan rasa takut dan malu kepada Allah Azza wa Jalla yang benar dalam sabda beliau:
اسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ ، قُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّا نَسْتَحْيِيْ وَالْحَمْدُ ِللهِ ، قَالَ : لَيْسَ ذَاكَ ، وَلكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ : أَنْ تَحْفَظَ الرَّاْسَ وَمَا وَعَى ، وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى ، وَلْتَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا ، فَمَنْ فَعَلَ ذلِكَ ، فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
Malulah kepada Allah Azza wa Jalla dengan benar. Kami pun menyahut: “Wahai Rasulullah, alhamdulillâh kami memiliki rasa malu. Beliau menjawab: “Bukan itu, tapi rasa malu kepada Allah Azza wa Jalla yang benar adalah dengan menjaga kepala dan isinya (pikiran), perut dan sekitarnya serta ingat kematian dan kehancuran. Siapa yang menginginkan akhirat , niscaya meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang berbuat demikian, maka telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan benar.[4]
2. Ambisi mendapatkan hasil yang cepat. Manusia memang memiliki sifat tergesa-gesa dan memiliki ambisi yang dapat mengalahkan akal sehatnya. Berapa banyak orang yang tidak sabar dalam mencari rezeki sehingga menghalalkan segala cara agar mendapatkannya dengan mudah dan cepat menurut pandangannya. Hasil dalam pandangan mereka adalah tujuan segala-galanya. Padahal jelas, rezeki terkadang lambat diberikan dengan hikmah yang hanya Allah Azza wa Jalla yang tahu. Hal ini mendorong seseorang mencarinya dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan hal ini dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, beliau bersabda:
لَيْسَ مِنْ عَمَلٍ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ إِلاَّ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلاَ عَمَلٍ يُقَرِّبُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَلاَ يَسْتَبْطِئَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ رِزْقَهُ فَإِنَّ جِبْرِيْلَ أَلْقَى فِيْ رَوْعِيْ أَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَنْ يَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ فَاتَّقُوْا اللهَ أَيُّهَا النَّاسُ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ فَإِنِ اسْتَبْطَأَ أَحَدٌ مِنْكُمْ رِزْقَهُ فَلاَ يَطْلُبْهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُنَالُ فَضْلُهُ بِمَعْصِيَتِهِ
Tidak ada satu amalan pun yang mendekatkan kepada syurga kecuali telah aku perintahkan kepada kalian, dan tidak pula satu amalan yang mendekatkan kepada neraka kecuali aku peringatkan kalian darinya. Maka janganlah salah seorang di antara kalian menganggap lambat rezekinya, karena Jibrîl telah menyampaikan ke hatiku bahwa seorang dari kalian tidak akan meninggalkan dunia ini hingga sempurna rezekinya. Hendaknya kalian bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan memperbagus dalam mencarinya, karena siapa saja dari kalian yang mengganggap lambat rezekinya maka jangan sampai mencarinya dengan berbuat maksiat kepada Allah, karena keutamaan Allah tidak didapat dengan kemaksiatan.[5]
3. Sifat tamak dan rakus serta tidak menerima yang ada pada diri manusia, bisa menjadi sebab mereka berusaha dengan usaha yang haram. Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ ، أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ ، بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ ، وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
Tidaklah dua ekor srigala yang lapar dilepas pada seekor kambing lebih merusak baginya dari ketamakan seorang terhadap harta dan kehormatan terhadap agamanya.[6]
4. Tidak tahu bahaya usaha yang haram dan hukum usaha yang dilakukannya. Banyak sekali orang yang terjerumus dalam usaha haram disebabkan ketidaktahuannya terhadap hukum Islam, juga karena tidak mengetahui bahaya dan implikasi buruk usaha tersebut. Hal ini karena mereka meremehkan dan kurang memperhatikan tatanan dan tuntunan syari’at terhadap usahanya. Mungkin karena tidak adanya nara sumber dan pembimbing, dan mungkin juga karena keteledoran dan kelalaian mereka. Padahal para salaf umat ini sangat berhati-hati dalam hal ini. Untuk itu, perlu sekali dipaparkan bahaya dan implikasi buruk usaha yang haram bagi pelakunya.
Bahaya dan Implikasi Buruk Usaha yang Haram.
Allah Azza wa Jalla mengharamkan sesuatu yang berbahaya bagi makhluk-Nya. Usaha yang haram juga memiliki implikasi buruk dan bahaya terhadap pelakunya. Di antaranya adalah:
- Usaha yang haram mengotori hati dan membuat malas anggota tubuh dalam berbuat ketaatan serta hilangnya barakah rezeki dan umur. Usaha yang haram adalah kemaksiatan dan perbuatan dosa yang memiliki implikasi buruk sangat banyak sekali, di antaranya membuat hati kotor dan gelap. Ibnul-Qayyim t menegaskan: “Di antara implikasi buruk kemaksiatan adalah kegelapan yang didapatkan di hatinya, yang dapat ia rasakan sebagaimana merasakan kegelapan malam yang gelap gulita, sehingga gelapnya kemaksiatan di kalbu seperti kegelapan di matanya. Sebab, ketaatan adalah cahaya dan kemaksiatan adalah kegelapan. Semakin tebal kegelapan, maka keguncangannya pun akan semakin bertambah hingga terjerumus dalam kebid`ahan dan kesesatan serta perkara yang membinasakan tanpa ia sadari, seperti orang buta keluar di kegelapan malam berjalan sendiri. Kegelapan ini semakin kuat hingga nampak di mata kemudian menguat hingga nampak terlihat di wajah dan menjadikan warna hitam di wajah hingga semua orang dapat melihatnya”.[7]
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu menyatakan: “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya di kalbu dan sinar di wajah, kekuatan di badan, tambahan dalam rezeki serta kecintaan di hati para makhluk. Kejelekan (dosa) memberikan warna hitam di wajah, kegelapan di hati, kelemahan di badan, kekurangan dalam rezeki dan kebencian di hati para makhluk”.[8]
Demikian juga usaha yang haram ini menghilangkan barakah rezeki dan umur pelakunya.[9]
- Usaha yang haram tentunya akan menghasilkan harta dan makanan yang haram juga, sehingga pelakunya akan tumbuh dari makanan yang haram. Bila demikian, maka neraka lebih pantas baginya, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Sesungguhnya tidak berkembang daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali Neraka yang lebih pantas baginya.[10]
- Usaha yang haram mengakibatkan kemurkaan Allah Azza wa Jalla serta memasukkan pelakunya ke dalam neraka. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalan hadits Abu Umâmah al-Hâritsi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللَّهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ . فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ ».
Siapa yang mengambil hak seorang Muslim dengan sumpahnya, maka Allah Azza wa Jalla masukkan ke dalam neraka dan mengharamkannya surga. Seorang bertanya kepada beliau: “Walaupun hanya sesuatu yang remeh wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Walaupun hanya sepotong kayu siwak”.[11]
Juga dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُوْنَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya banyak orang beraktifitas pada harta Allah dengan tidak benar maka mereka berhak mendapatkan neraka di hari kiamat [12]
Inipun dipertegas dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِالْحَرَامِ
Tidak akan masuk surga tubuh yang diberi makan dengan yang haram.[13]
- Usaha yang haram dapat mengakibatkan tidak diterimanya doa dan amal shalih pelakunya, karena makanan dan minuman yang didapatkan dari usaha haram adalah haram dan makanan haram dapat mengakibatkan doa dan amal shalihnya tidak diterima, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيْمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan Allah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya,”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (al-Mukminûn/23:51). Dan Ia berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”, (al-Baqarah/2:172). Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut lagi berdebu, ia mengulurkan kedua tangannya ke arah langit sambil berdo’a: Ya Rabb, Ya Rabb, sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang haram. Maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?!”[14].
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan makan makanan yang halal. Sedangkan makan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan membuatnya tidak diterima”[15]
Demikian juga Prof. DR. `Abdurrazâq bin `Abdulmuhsin al ‘Abbâd hafizhahullâh menjelaskan hadits ini dengan menyatakan:’Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai hadits ini dengan isyarat akan bahayanya makan barang haram dan hal itu termasuk pencegah dikabulkannya do’a. Difahami darinya bahwa memperbagus makanan (memakan makanan halal) menjadi salah satu sebab dikabulkannya do’a, sebagaimana dikatakan Wahb bin Munabbih: ‘Siapa yang ingin dikabulkan do’anya oleh Allah Azza wa Jalla , hendaklah memperbagus makanannya’. Ketika Sa’d bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu ditanya tentang sebab dikabulkan do’a para sahabat Rasulullah; beliau berkata, “Aku tidak mengangkat sesuap makanan pun ke mulutku kecuali aku mengetahui dari mana datangnya dan dari mana ia keluar”.’[16].
Jika kita heran dan bertanya-tanya, ”Mengapa bencana menimpa kita, kemakmuran sulit dicapai, ketenangan hidup dan kemenangan tak juga diraih? Mengapa do’a-do’a kita tidak terkabulkan? Kemungkinan jawabannya adalah kelalaian kita dalam memenuhi kebutuhan primer dan sekunder yang baik dan ketidak pedulian kita tentang masalah halal dan haramnya. Hal ini telah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas dan juga para Ulama, di antaranya:
Yusuf bin Asbâth rahimahullah yang berkata, ”Telah sampai kepada kami bahwa do’a seorang hamba ditahan naik ke langit lantaran buruknya makanan (makanannya tidak halal)”[17].
Wajar saja bila Khalifah ‘Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu (walaupun masih banyak sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) memukul orang dengan dirrah, lalu berkata, ”Janganlah berdagang di pasar kami kecuali orang faqîh, (mengerti tentang jual beli), jika tidak maka dia makan riba”[18].
Demikian juga Khalifah Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu pernah berkata, ”Siapa yang berdagang sebelum mengerti fiqih, maka ia akan tercebur ke dalam riba, kemudian tercebur lagi dan kemudian akan tercebur lagi” artinya terjerumus ke dalamnya dan kebingungan.[19]
Ini di zaman Umar Radhiyallahu anhu dan Ali Radhiyallahu anhu yang masih banyak para Ulama. Bagaimana di zaman kita sekarang yang sudah beraneka ragam corak dan bentuk perdagangan dan sedikitnya para Ulama ?!!!
Tidak diragukan lagi bahwa makanan dan usaha yang halal menuntut setiap manusia agar sadar dan mengetahui dengan baik setiap muamalah yang dilakukannya, mana yang haram dan mana yang halal serta yang syubhat (tidak jelas).
Kiat Menghindari Usaha yang Haram
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang tidak mungkin terhindar dari usaha haram kecuali kembali merujuk kepada agama Islam dengan benar. Hal ini dapat kita rinci dalam kiat-kiat berikut ini:
- Belajar tauhid dan mengenal Allah Azza wa Jalla sampai tertanam kokoh di kalbu kita. Hal ini akan nampak dengan munculnya rasa takut dan malu kepada Allah Azza wa Jalla serta keyakinan yang kuat hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang memberikan rezeki kepada kita. Hal-hal ini merupakan benteng yang kuat dalam menjaga kita dari usaha yang haram.
- Belajar hukum-hukum Islam seputar usaha yang kita lakukan dengan cara menelitinya dengan merujuk kepada al-Qur’ân dan Sunnah bila mampu, bila tidak bisa dengan bertanya kepada para Ulama di bidang tersebut.
- Melatih diri untuk memiliki sifat qanâ’ah (menerima) dan zuhud dengan berlatih mengamalkan seluruh tuntunan syari’at yang telah dijelaskan dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya.
- Mengerti dan mengetahui kedudukan dunia yang fana dan meyakini serta mengingat selalu negeri akhirat yang penuh nikmat yang harus kita raih dalam perjuangan mengarungi dunia ini agar sampai ke negeri tersebut. Dunia ini akan hancur dan meninggalkan kita atau kita yang meninggalkan dunia ini untuk kemudian dihisab dihari kiamat nanti.
- Selalu ingat akan bahaya dan implikasi buruk dari usaha yang haram tersebut di dunia dan di akherat.
- Selalu berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar diberikan harta yang halal dan dimudahkan usaha yang halal.
Mudah-mudahan dengan bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla dan memohon terus kepada-Nya, kita semua dikaruniai usaha yang halal dan dijauhi dari usaha yang haram.
Semoga bermanfaat. Wabillâhit Taufîq.
Maraaji’
- Fiqhul Ad’iyah Wa al-Adzkâr, (bagian kedua), Prof. DR. `Abdurrazâq bin `Abdilmuhsin al ‘Abbâd, cetakan pertama tahun 1422H, Dâr Ibnu Affân dan Dâr Ibnul Qayyim, KSA
- Ba’i’ at-Taqsîth Ahkâmuhu wa Adâbuhu, Hisyam bin Muhammad bin Sa’id Alu Barghasy, cetakan pertama tahun 1419H, Dâr al-Wathan, KSA
- Al-Jawâb al-Kâfi Liman Sa’ala ‘an ad-Dawâ` asy-Syâfi, Ibnul-Qayyim , tahqîq Abu Hudzaifah `Abdullâh bin ‘Aliyah, cetakan pertama tahun 1413 H, dar al-Huda, KSA
- Buku-buku Syaikh al-Albâni dalam hukum terhadap hadits
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1] HR. al-Bukhâri 2059
[2] HR at-Timidzi dalam sunannya kitab Az-Zuhd
[3] HR al-Bukhâri no.6436, Muslim no.1049
[4] HR Ahmad 1/ 387 dan at-Tirmidzi 4/567 dan dishahîhkan al-Albâni dalam Al-Misykah no. 1608
[5] HR al-Hâkim dan dishahîhkan al-Albâni dalam Silsilah Ahâdits ash-Shahîhah no. 2607
[6] HR Ahmad 3/456 dan at-Tirmidi no. 2376
[7] Al-Jawâbul-Kâfi, ibnu al-Qayyim, hlm 98-99
[8] Ibid hlm 99
[9] Lihat lebih lanjut pengaruh maksiat yang lainnya dalam Al-Jawâbul-Kâfi
[10] Bagian dari hadits yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam sunannya kitab Al Sholat bab Fadhlu Sholat no. 614 dari Ka’ab bin ‘Ujrah pada sebahagian dari hadits panjang,. Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata, ”Hadits ini hasan Gharîb. Dan dishahîhkan oleh Ahmad Muhammad Syâkir dalam komentar beliau terhadap sunan at- Tirmidzi 2/515 dan al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 501
[11] HR Muslim no 370
[12] HR al-Bukhâri no 2886.
[13] HR al-Baihaqi dalan Syu’abil Iman dan dishahîhkan al-Albâni dalam Silsilah Ahadits ash-Shahîhah no. 2609
[14] HR Muslim dalam Az-Zakâh no.1015 dan at-Tirmidzi dalam Tafsîrul Qur`ân no.2989.
[15] Jâmi’ul’Ulûm wal Hikam 1/260 dinukil dari Ba’i’at- Taqsîth Ahkâmuhu wa Adâbuhu, Hisyam bin Muhammad bin Sa’îd Alu Barghasy, cetakan pertama tahun 1419H, Dârul Wathan, KSA hal 10
[16] Fiqh al- Ad’iyah Wal Adzkâr, (bagian kedua), Prof.DR. `Abdurrazâq bin `Abdilmuhsin al ‘Abbâd, cetakan pertama tahun 1422H, Dâr Ibnu Affân dan Dâr Ibnul Qayyim, KSA, hal 34.
[17] Jâmi’ul ‘Ulûm wa al-Hikam 1/275. dinukil dari Bai’ at-Taqsîth, hlm 11
[18] Dinukil dari kitab Bai’ at-Taqsîth, hlm 11
[19] Ibid
- Home
- /
- A9. Fiqih Muamalah7 Korupsi...
- /
- Usaha Haram dan Implikasi...