Pengaruh Zaman Terhadap Fatwa
PENGARUH ZAMAN TERHADAP FATWA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada fenomena yang telah memasyarakat, yang mana sebagian orang memahami bahwa sebagian perkara yang dulu diharamkan, seperti radio, kini menjadi halal. Mereka mengatakan, bahwa berubahnya zaman atau tempat mempengaruhi fatwa. Kami mohon perkenan Syaikh yang mulia untuk menjelaskan kebenaran dalam hal ini. Dan bagaimana membantah orang yang mengatakan seperti itu? Semoga Allah memberi anda kebaikan.
Jawaban.
Sebenarnya, fatwa tidak berubah dengan berubahnya zaman, tempat atau pun individu, akan tetapi, hukum syari’at itu bila terkait dengan alasan, jika alasannya ada maka hukumnya berlaku, jika alasannya tidak ada maka hukumnya pun tidak berlaku. Adakalanya seorang pemberi fatwa melarang manusia terhadap sesuatu yang dihalalkan Allah karena sesuatu itu menyebabkan manusia melakukan yang haram, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Umar Radiyallahu anhu dalam masalah talak tiga, yaitu ketika ia melihat orang-orang menyepelekannya sehingga ia memberlakukannya. Sebelumnya, pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada masa Abu Bakar Radiyallahu anhu dan pada dua tahun pertama masa kekhilafahan Umar, talak tiga dianggap satu, lalu karena Umar melihat orang-orang banyak menyepelekannya maka ia melarang mereka yang melakukan itu untuk rujuk kepada isteri-isterinya. Demikian juga tentang hukuman peminum khamr, sebelumnya, pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pada masa Abu Bakar, hukumannya tidak lebih dari 40 kali cambukan, tapi karena orang-orang masih banyak yang suka minum khamr, maka Umar bermusyawarah dengan para sahabat Radiyallahu anhu, yang hasilnya menetapkan hukumannya menjadi 80 kali cambukan.
Jadi, hukum-hukum syari’at itu tidak mungkin dipermainkan manusia, jika mau mereka mengharamkan dan jika mau mereka halalkan, tapi hukum-hukum syari’at itu harus berdasarkan pada alasan-alasan syar’iyyah yang bisa menetapkan atau meniadakan.
Adapun tentang radio, tidak ada seorang pun yang mengharamkannya dari kalangan ulama analistis. Sedangkan yang mengharamkannya hanyalah orang-orang yang tidak mengetahui hakikatnya. Adapun para ulama analistis terutama Syaikh kita, Abdurrahman bin Sa’di tidak memandangnya sebagai hal yang haram, bahkan mereka memandang bahwa radio itu termasuk hal-hal yang diajarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia, terkadang bermanfaat dan terkadang pula merusak, tergantung isinya. Demikian juga pengeras suara (loudspeaker), pada awal kemunculannya diingkari oleh sebagian orang, tapi itu karena tanpa penelitian. Sedangkan para analis tidak mengingkarinya, bahkan mereka memandang bahwa pengeras suara itu termasuk ni’mat Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memudahkan mereka dalam menyampaikan khutbah dan wejangan kepada yang jauh.
(Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani)
PEMINTA FATWA TIDAK DIPERSALAHKAN SEHINGGA PERKARANYA JELAS
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Jika seorang awam mengikuti fatwa seorang ulama yang mu’tabar di negerinya dan melaksanakan petunjuk yang terkandung di dalamnya, lalu tampak kesalahan pada perbuatan tersebut, apakah hakim boleh menghukumnya akibat perbuatan tersebut yang sebenarnya berpatokan pada fatwa seorang ulama?
Jawaban:
Perlu diperhatikan perkara yang menimbulkan kesalahan itu, jika hal itu membahayakan atau merugikan orang lain, maka kesalahan dilimpahkan kepada pemberi fatwa, karena ia telah memberi fatwa dengan tergesa-gesa tanpa berdasarkan ilmu sehingga mengakibatkan lahirnya bahaya tersebut. Sang hakim hendaknya menghukum pemberi fatwa, karena ia telah memberi fatwa dengan cara yang tidak seksama, lalu hakim memperingatkan agar tidak tergesa-gesa dalam memberi fatwa karena bisa menimbulkan bahaya, walaupun pemberi fatwa itu tidak mengharuskan pelaksanaan fatwanya tersebut. Jika penerima fatwa itu salah dalam bertindak dan bertentangan dengan fatwa tersebut lalu menimbulkan bahaya terhadap orang lain, maka kesalahan tersebut ditimpakan kepada penerima fatwa, karena ia telah merubah fatwa dan menyelisihi apa yang diucapkan oleh pemberi fatwa. Jika hal tersebut tidak menimbulkan bahaya terhadap orang lain, tapi sekedar menggugurkan perbuatan tersebut, maka tidak ada yang dipersalahkan, baik pemberi fatwa maupun penerima fatwa, hanya saja perbuatan tersebut digugurkan dan diharuskan untuk diulang jika itu suatu kewajiban.
[Fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin yang beliau tanda tangani]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
- Home
- /
- A9. Fiqih Dakwah Masail...
- /
- Pengaruh Zaman Terhadap Fatwa