Hadits-Hadits Dha’if Dan Palsu Seputar Amaliyah Haji
HADITS-HADITS DHAIF DAN PALSU SEPUTAR AMALIYAH HAJI
Ibadah haji merupakan ibadah yang sangat agung. Setiap musim haji tiba, kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia datang ke kota suci Makkah al-Mukarramah untuk memenuhi ibadah ini demi memenuhi panggilan Ilahi. Banyak di antara para jamaah haji yang menghabiskan biaya cukup besar untuk bisa menunaikan ibadah mulia ini. Tak terkecuali jamaah haji Indonesia. Meskipun demikian mereka rela dan senang, karena cita-cita yang telah dipendamnya sejak sekian lama sebentar lagi kesampaian, yaitu menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah al-Mukarramah.
Sesampainya di Makkah, sebagian jamaah haji mengeluh, cemas dan khawatir karena tidak bisa melaksanakan sebagian “amalan-amalan haji”, yang mereka yakini bahwa amalan-amalan itu memiliki keutamaan yang besar. Sebagian ada yang merasa hajinya kurang sempurna, bahkan merasa tidak sah jika tidak melaksanakan amalan-amalah itu.
Saking semangatnya, sebagian di antara jamaah haji itu melakukan amalan-amalan itu, yang justru terjatuh ke dalam perbuatan zhalim, seperti menyakiti jamaah haji lain, bertengkar, dan lain sebagainya. Padahal, jika dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para jamaah haji tersebut ditinjau dan diperhatikan, ternyata banyak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebagian berderajat dhaif (lemah), dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagiannya sampai pada derajat maudhu` (palsu). Di antara hadits-hadits yang menjadi landasan amalan-amalan itu ialah sebagai berikut.
Hadits Pertama
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ وَ لَمْ يَزُرْنِيْ فَقَدْ جَفَانِيْ .
Barang siapa menunaikan ibadah haji ke Baitullah, kemudian tidak menziarahi-ku, maka dia telah berpaling dariku.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi (al-Kâmil, 7/2480), Ibnu Hibbân (adh-Dhu’afâ`, 2/73) dan Ibnul-Jauzi (al-Maudhu’ât, 2/217) dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Derajat hadits ini adalah maudhu` (palsu), sebagaimana dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi (Mizânul-I’tidâl, 3/237). Begitu juga ash-Shaghâni, az-Zarkasyi dan asy-Syaukâni; mereka menggolongkan hadits ini ke dalam kumpulan hadits-hadits palsu.
Sisi cacat dalam hadits ini adalah Muhammad bin Muhammad bin Nu’man bin Syibl sebagaimana yang dikatakan oleh ad-Dâruquthni. Demikian juga Ibnu ‘Adi dan Ibnu Hibbân (juga) berkata: “Dia (Muhammad bin Muhammad bin Nu’mân bin Syibl) telah meriwayatkan hadits-hadits palsu dari orang-orang tsiqah (dapat dipercaya) dan meriwayatkan hadits-hadits terbalik dari al-Atsbat (orang-orang yang jujur)”.
Al-Albâni rahimahullah berkata:
“Indikasi yang menunjukkan hadits ini palsu, bahwa sikap berpaling dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan dosa besar, bahkan bisa sampai pada derajat kekufuran. Oleh karena itu, barang siapa yang tidak menziarahi (makam) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di waktu menunaikan ibadah haji), maka dia telah melakukan dosa besar. Hal ini berkonsekuensi munculnya suatu hukum bahwa menziarahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di waktu menunaikan ibadah haji) adalah wajib seperti halnya haji.
Perkataan seperti ini, tidak ada seorang muslim pun yang berkata demikian, karena menurut para ulama, hukum menziarahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun termasuk perbuatan baik, akan tetapi tidak melebihi hukum sunnah. Bagaimana mungkin orang yang meninggalkannya dikatakan sebagai orang yang berpaling dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [Lihat Silsilah Dha’ifah, 1/122, hadits no. 45].
Hadits Kedua
مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ مَوْتِيْ كاَنَ كَمَنْ زَارَنِيْ فِيْ حَيَاتِيْ .
Barang siapa menunaikan ibadah haji, kemudian menziarahi kuburanku setelah aku meninggal dunia, maka dia seakan-akan mengunjungiku di masa hidupku.
Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrâni (al-Mu’jamul-Kabîr, 3/203/2 dan al-Mu’jamul-Ausath, 1/126/2), Ibnu ‘Adi (al-Kâmil), ad-Dâruquthni (as-Sunan, hlm. 279), al-Baihaqi (as-Sunan al-Kubra, 5/403) dan as-Silafi (ats-Tsâni ‘Asyar Minal-Masyikhah al-Baghdadiyah, 2/54). Semuanya dari jalan Hafsh bin Sulaimân Abi ‘Umar dari al-Laits bin Abi Sulaim dari Mujâhid dari Ibnu ‘Umar Radhiyyalu anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Derajat hadits ini adalah dha’îf jiddan (lemah sekali). Sanad hadits ini mengandung dua cacat.
- Lemahnya Laits bin Abi Sulaim karena hafalannya kacau.
- Hafsh bin Sulaimân Abi ‘Umar dha’îf jiddan (lemah sekali).
- Ibnu Ma’in rahimahullah berkata, “Dia (Hafsh) adalah pendusta”.
- Ibnu Kharrasy rahimahullah berkata, “Dia adalah pendusta dan pemalsu hadits …”.
- Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Matrukûl-hadits (haditsnya ditinggalkan orang)”.
[Lihat Silsilah Dha’îfah, 1/124, hadits no. 47].
Hadits Ketiga
مَنْ مَاتَ فِيْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَاجٍّ أَوْ مُعْتَمِرٍ ، لَمْ يُعْرَضْ وَ لَمْ يُحَاسَبْ ، وَ قِيْلَ لَهُ ادْخُلِ الْجَنَّةَ .
Barang siapa meninggal dunia (pada waktu) melaksanakan Ibadah haji atau umrah, maka dia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya dan tidak akan dihisab dan dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam surga”.
Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dâruquthni (288), Abu Ya’la (al-Musnad, 8/79/4708), al-‘Uqaili (adh-Dhuafâ‘, 3/310), Ibnu ‘Adi (al-Kâmil, 5/354) dari Aisyah Radhiyallahu anha dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Derajat hadits ini adalah munkar.
Sisi cacat hadits tersebut, pada sanadnya terdapat perawi bernama A’idz bin Nushair. Dia berderajat munkarul-hadîts (haditsnya munkar) sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘Uqaili rahimahullah. Ibnu Ma’in rahimahullah juga berkata: “Dia telah meriwayatkan hadits-hadits munkar”. [Lihat Silsilah Dha’îfah, 5/186 hadits no 2187].
Hadits Keempat
الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ يَمِيْنُ اللهِ فِيْ الْأَرْضِ يُصَافِحُ بِهَا عِبَادَهَ .
Hajar Aswad adalah Tangan kanan Allah yang berada di bumi, dengannya Allah berjabatan tangan dengan hambanya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakr Ibnu Khallâd (al-Fawâ`id, 1/224/2), Ibnu ‘Adi (17/2), Ibnu Busyrân (al-‘Amâli, 2/3/1) dan al-Khathîb al-Baghdâdi (6/328) darinya Ibnul-Jauzi meriwayatkan di al-Wâhiyât (2/84/944) dari Jabir Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Derajat hadits ini adalah munkar. Sisi cacat hadits tersebut adalah:
- Pada sanadnya terdapat Ishâq bin Bisyr al-Kâhili, ia sering meriwayatkan hadits-hadits munkar dari orang-orang tsiqah berdasarkan keterangan al-Khathîb al-Baghdâdi rahimahullah.
- Pada sanadnya juga terdapat Abu Ma’syar, ia adalah dhaif (lemah) berdasarkan keterangan Ibnul-Jauzi rahimahullah. [Lihat Silsilah Dha’îfah, 1/390/223].
Demikianlah, semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan petunjuk kepada kita untuk selalu mengamalkan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah6 Haji...
- /
- Hadits-Hadits Dha’if Dan Palsu Seputar...