Wanita yang Dihalalkan Dan yang Diharamkan (Untuk Dinikahi)
Bab III. WANITA YANG DIHALALKAN DAN YANG DIHARAMKAN (UNTUK DINIKAHI)
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا ﴿٢٣﴾ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara pe-rempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isteri-mu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam per-kawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka mahar-nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…” [An-Nisaa/4: 23-24]
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Abbas, “Tujuh (golongan yang) dihalalkan untuk dinikahi karena alasan nasab, dan tujuh (golongan) karena alasan mushaharah (semenda/ ikatan perkawinan).” Kemudian dia membaca, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu…”[1]
Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Dalam riwayat ath-Thabrani dari jalur selain maula Ibnu ‘Abbas, dari Ibnu ‘Abbas, disebutkan di akhir hadits tersebut, ‘… kemudian dia membaca:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ ‘Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu-mu,’ hingga ayat: وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ ‘Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.’ Kemudian mengatakan: ‘Inilah senasab.’ Kemudian membaca, وَأُمَّهَاتُكُمُ الَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ ‘Ibu-ibumu yang menyusuimu, saudara perempuan sepersusuan,’ hingga ayat, وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ ‘Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,’ dan membaca: وَلاَ تَنكِحُـوا مَـا نَكَحَ ءَ ابَآؤُكُم مِّنَ النِّسَآءِ ‘Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.’ (An-Nisaa/4: 22), lalu mengatakan, ‘Inilah semenda.’”[2]
Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Menyebut sepersusuan dengan semenda (shahr) adalah boleh, demikian pula isteri orang lain. Mereka semua (haram untuk dinikahi selamanya), kecuali menghimpun di antara dua saudara dan isteri orang lain.
Termasuk dalam kategori orang-orang yang telah disebutkan ialah mantan isteri kakek, dan nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas. Demikian pula nenek dari pihak ayah, dan cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah. Demikian pula cucu perempuan dari anak perempuan, dan anak perempuan keponakan perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah. Demikian pula anak perempuan keponakan perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan keponakan laki-laki dari saudara laki-laki, saudara perempuan, dan bibi (dari pihak ayah) dan seterusnya ke atas. Demikian pula bibi ibu, baik dari pihak bapak maupun ibunya, dan seterusnya ke atas. Demikian pula bibi bapak (dari pihak ibu), nenek isteri dan seterusnya ke atas, dan anak perempuan dari anak tiri perempuan dan seterusnya ke bawah. Demikian pula anak perempuan dari anak tiri laki-laki, isteri cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak perempuan, serta menghimpun antara seorang perempuan dengan bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun wanita-wanita yang diharamkan karena nasab, maka ketetapannya bahwa semua kerabat seorang pria dari nasab adalah haram atasnya; kecuali anak-anak perempuan pamannya, baik dari pihak bapak maupun ibu, dan anak-anak perempuan bibinya, baik dari pihak bapak maupun ibu. Keempat golongan inilah yang dihalalkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dengan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
‘Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin…’” [Al-Ahzaab/30: 50]
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan bagi Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari wanita-wanita itu, empat golongan; dan Allah tidak menjadikan hal itu sebagai kekhususan bagi beliau sehingga tidak berlaku untuk kaum mukminin lainnya. Kecuali wanita yang menghibahkan dirinya (menawarkan diri untuk dinikahkan), maka Dia menjadikan hal ini sebagai kekhususannya. Beliau boleh menikahi wanita yang menghibahkan dirinya tanpa mahar, dan ini tidak berlaku untuk selain beliau; berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.”[4]
Kemudian, Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Adapun yang berkaitan dengan wanita yang diharamkan karena semenda, maka semua wanita semenda halal baginya kecuali empat golongan. Dan ini bertolak belakang dengan sanak famili, di mana keseluruhannya haram untuk dinikahi kecuali empat golongan.
Kaum kerabat kedua pasangan suami-isteri semuanya halal, kecuali empat golongan, yaitu mantan isteri ayah, mantan isteri anak laki-laki, ibu isteri (mertua), dan anak-anak isteri. Diharamkan atas kedua pasangan suami-isteri (untuk memihak) orang tua dan anak-anak masing-masing.
Diharamkan atas laki-laki menikahi ibu isterinya; termasuk nenek isteri dari pihak ibu dan ayah serta seterusnya ke atas. Ia juga diharamkan menikahi anak perempuan isterinya, yaitu anak tiri dan cucu perempuan dari anak perempuan isterinya serta seterusnya ke bawah. Juga anak perempuan dari anak tiri perempuan pun adalah haram.
Ia diharamkan menikah dengan isteri ayahnya dan seterusnya ke atas, dan isteri anak laki-lakinya serta seterusnya ke bawah.
Keempat golongan itulah yang diharamkan dalam Kitabullah karena semenda. Keempat golongan itu diharamkan dengan akad; kecuali anak tiri, maka ia tidak diharamkan hingga (kecuali) sang pria telah mencampuri ibunya.
Adapun anak-anak perempuan dari kedua wanita berikut ini dan (anak-anak perempuan dari) ibunya, maka tidak diharamkan. Ia boleh menikahi anak perempuan isteri ayahnyav dan (anak perempuan dari isteri) anak laki-lakinyau berdasarkan kesepakatan ulama; sebab dia bukan isteri. Berbeda halnya dengan anak perempuan tiri, karena anak dari anak tiri adalah cucu tiri. Begitu juga anak perempuan ibu isteri (ibu mertua) tidak diharamkan,² karena dia bukan ibu yang sesungguhnya. Karena itu kalangan fuqaha mengatakan: ‘Anak-anak perempuan dari wanita-wanita yang diharamkan adalah diharamkan -kecuali anak-anak perempuan bibi dari pihak bapak dan dari pihak ibu- begitu juga ibu isteri, dan mantan isteri ayah dan anak juga diharamkan.’ Dia menggolongkan anak perempuan dari anak tiri perempuan sebagai wanita yang diharamkan; namun tidak memberlakukan hal tersebut pada anak-anak ketiga wanita di atas. Inilah yang tidak saya ketahui ada per-selisihan di dalamnya.”[5]
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Ja’far menghimpun antara puteri ‘Ali dan isteri ‘Ali.
Ibnu Sirin berpendapat tidak mengapa. Sedangkan al-Hasan semula memakruhkannya, kemudian berpendapat tidak mengapa.[6]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, bahwa ia mengatakan: “وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ (An-Nisaa/: 24), para wanita yang bersuami lagi merdeka adalah haram, إِلاَّ مَـا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ‘Kecuali budak-budak yang kamu miliki,’ (An-Nisaa/4: 24). Ia berpendapat, tidak mengapa seseorang mengambil hamba sahaya wanitanya dari hamba sahaya laki-lakinya.”
Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Kebanyakan yang dimaksud dengan muhshanaat ialah para wanita yang bersuami, yakni bahwa mereka adalah haram, dan yang dimaksud dengan pengecualian dalam firman-Nya, إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ‘Kecuali budak-budak yang kamu miliki,’ ialah para tawanan wanita; jika mereka bersuami, maka mereka halal bagi siapa yang menawannya.”[7]
Diharamkannya Anak Tiri Perempuan dan Menghimpun Dua Wanita Bersaudara.
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
“… Dan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan)…” [An-Nisaa/4: 23]
Menurut Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, (yang dimaksud dengan) dukhul (mencampuri), masis dan lamas (menyentuh) ialah jima’ (bersetubuh).[8]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Zainab, dari Ummu Habibah Radhiyallahu anha, ia mengatakan: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan puteri Abu Sufyan?’ (Dalam sebuah riwayat: ‘Nikahilah saudara perempuanku, puteri Abu Sufyan’). Beliau menjawab: ‘Aku akan berbuat apa?’ Aku mengatakan: ‘Engkau menikahinya.’ Beliau bertanya: ‘Apakah engkau suka?’ Aku men-jawab: ‘Aku tidak cemburu kepadamu, dan wanita yang paling aku sukai menyertaiku bersamamu ialah saudara perempuanku.’ Beliau bersabda: ‘Ia tidak halal untukku.’ Aku mengatakan: ‘Aku mendapat kabar bahwa engkau tengah meminang.’ Beliau bertanya: ‘Puteri Ummu Salamah maksudnya?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau mengatakan: ‘Seandainya dia bukan anak tiriku, dia tetap tidak halal untukku; aku dan ayahnya sama-sama disusui oleh Tsuwaibah. Oleh karena itu, jangan menawarkan puteri-puteri kalian dan saudara-saudara perempuan kalian kepadaku.'”[9]
Menurut al-Hafizh rahimahullah, yang dimaksud dengan rabibah adalah anak perempuan isteri (anak tiri). Kemudian dia mengatakan: ‘Abdurrazzaq, Ibnul Mundzir dan selainnya mengatakan dari jalur Ibrahim bin ‘Ubaid dari Malik bin Aus. Ia mengatakan: “Aku mempunyai isteri yang sudah melahirkan anak untukku. Ketika dia mati, aku melihat di pangkuannya. Lalu ketika aku bertemu ‘Ali bin Abi Thalib, dia bertanya: ‘Apa yang menimpamu?’ Aku pun menceritakan kepadanya. Dia bertanya: ‘Apakah dia mempunyai anak wanita (yakni dari pria selain kamu)?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Dia bertanya: ‘Apakah ia dalam pengasuhanmu?’ Aku men-jawab: ‘Tidak, ia di Tha-if.’ Dia mengatakan: ‘Nikahilah!’ Aku bertanya: ‘Lalu bagaimana dengan firman-Nya, وَرَبَـائِبُكُم ‘Dan anak-anak perempuan isterimu?’ Dia menjawab: ‘Ia tidak dalam pengasuhanmu.’” Atsar ini shahih dari ‘Ali z.[10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Pengharaman menghimpun dua wanita bersaudara berdasarkan nash (teks) al-Qur-an; dan tidak boleh pula (menggabungkan) antara wanita dengan bibinya dari pihak ayah dan antara wanita dengan bibinya dari pihak ibu. Tidak boleh wanita yang lebih tua dinikahi setelah saudara wanitanya yang lebih muda (dinikahi), atau sebaliknya. Karena telah termaktub dalam hadits shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. melarang hal itu. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda:
أَنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ بَيْنَ أَرْحَامِكُمْ.
‘Jika kalian melakukan hal itu, maka kalian telah memutuskan ikatan kekerabatan di antara kalian.’
Walaupun salah satu dari keduanya merelakan yang lainnya untuk dinikahi, tetap tidak boleh. Sebab, tabi’at itu berubah-ubah. Karena itu, ketika Ummu Habibah menawarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menikahi saudara perempuannya, beliau bertanya kepadanya: ‘Apakah kamu suka?’ Ia menjawab: ‘Aku tidak lagi sendirian, dan wanita yang paling berhak menyertaiku dalam kebajikan adalah saudara perempuanku.’ Tapi beliau mengatakan: ‘Ia tidak halal bagiku.’ Dikatakan kepada beliau: ‘Kami berbincang-bincang bahwa engkau akan menikahi gadis puteri Abu Salamah.’ Beliau menjawab:
لَوْلَمْ تَكُنْ رَبِيْبَتِيْ فِيْ حِجْـرِيْ لَمَا حَلَّتْ لِيْ، فَإِنَّهَا بِنْتُ أَخِيْ مِنَ الرَّضَاعِ، أَرْضَعَتْنِيْ وَأَبَاهَا أَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ أُمُّ أَبِيْ لَهَبٍ، فَلاَ تَعْرُضْنَ عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلاَ أَخَوَاتِكُنَّ.
‘Seandainya dia bukan anak tiriku yang berada dalam pengasuhanku, dia tetap tidak halal bagiku; sebab dia adalah anak saudaraku sepersusuan. Aku dan ayahnya disusui oleh Tsuwaibah, ibunda Abu Lahab. Oleh karena itu, janganlah menawarkan anak-anak perempuan kalian atau saudara-saudara perempuan kalian kepadaku.’[11] Dan hal ini disepakati oleh kalangan ulama.”[12]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita dinikahi bersama bibinya, baik bibi dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.”[13]
Diharamkan dari Sepersusuan Sebagaimana yang Di-haramkan dari Nasab:[14]
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anha, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengabarkan kepada ‘Umrah binti ‘Abdurrahman bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di sisinya dan dia mendengar suara seorang pria yang meminta izin di rumah Hafshah. Ia mengatakan: “Aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, ada orang yang meminta izin di rumahmu.’ Beliau mengatakan: ‘Aku melihatnya si fulan.’ Ternyata paman Hafshah dari sepersusuan.” ‘Aisyah bertanya: “Seandainya si fulan masih hidup -paman ‘Aisyah dari sepersusuan- apakah dia boleh menjengukku?” Beliau menjawab: “Ya, sepersusuan diharamkan sebagaimana seperanakan.”[15]
Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan: “Ditanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Mengapa engkau tidak menikahi puteri Hamzah?’ Beliau menjawab: ‘Ia adalah puteri saudaraku sepersusuan.'”[16]
Masa Penyusuan.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya, sedang di sisinya ada seorang pria, maka sepertinya wajah beliau berubah (seperti) tidak menyukai hal itu. ‘Aisyah ber-kata, “Ia saudaraku.” Beliau bersabda:
اُنْظُرْنَ مَا إِخْوَانُكُنَّ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ.
“Perhatikanlah saudara-saudara kalian. Sebab penyusuan itu hanyalah (yang diberikan sebagai penyelamatan dari) kelaparan.”[17]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, Al-Muhlib berkata: “Diharamkannya sepersusuan hanyalah (yang terjadi) di masa kecil hingga penyusuan itu mengatasi kelaparan.” Abu ‘Ubaid berkata: “Arti “perhatikan apa yang ada pada saudara-saudara kalian… dan seterusnya,” adalah bayi yang lapar, dan makanan yang mengenyang-kannya adalah susu dari penyusuan.” Sabda beliau: “Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah (yang diberikan sebagai) penyelamatan dari kelaparan”, maksudnya penyusuan yang menetapkan keharaman, dan dihalalkan ‘Aisyah berdua dengannya adalah apabila yang disusui itu masih bayi, di mana susu itu mengatasi kelaparannya. Di antara hadits-hadits pendukungnya ialah hadits Ibnu Mas’ud: “Tidak ada penyusuan kecuali apa yang dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.”[18] Dan hadits Ummu Salamah: “Tidak diharamkan dari sepersusuan kecuali yang mengenyangkan usus-usus.”[19]
Kemudian, al-Hafizh rahimahullah berkata: “Ini dapat dijadikan sebagai dalil bahwa sekali susuan tidaklah menjadi haram, karena tidak menghilangkan rasa lapar.” Al-Hafizh mengatakan tentang masa penyusuan. Dikatakan, tidak lebih dari usia dua tahun. Ini adalah riwayat Wahb dari Malik, dan demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Argumen mereka adalah hadits Ibnu ‘Abbas: “Tidak ada penyusuan kecuali dalam (usia) dua tahun.”[20]
Jumlah Susuan.
Para ulama berselisih tentang jumlah penyusuan yang me-nyebabkan haramnya (pernikahan). Ada sejumlah hadits yang berbeda-beda dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anha, ada yang menyebutkan sepuluh kali, tujuh kali, dan lima kali susuan; dan yang paling shahih adalah riwayat Muslim yang menyebutkan lima kali susuan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha: “Di antara ayat al-Qur-an yang diturunkan ialah tentang sepuluh susuan yang telah dikenal. Kemudian dihapuskan dengan lima susuan yang telah dikenal. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan itulah yang dibaca.”[21]
Sedangkan dalam riwayat ‘Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, ia mengatakan: “Tidak menyebabkan haram kurang dari lima susuan yang dikenal.”[22] Imam Asy-Syafi’i berpendapat demikian. Ini pun termasuk riwayat Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit dengan sanad yang shahih bahwa dia mengatakan: “Tidak menyebab-kan haram sekali susuan dan tiga kali susuan.” Hadits yang terkuat di antara hadits-hadits tentang masalah ini ialah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha tentang lima kali susuan. Adapun (maksud) hadits: “Tidak menyebabkan haram sekali susuan dan dua kali susuan,” maka mungkin sekedar misal dari penyusuan yang kurang dari lima kali. Jika tidak demikian, maka pengharaman dengan tiga kali susuan dan seterusnya hanyalah diambil dari mafhum (konteks) hadits. Tetapi ini ditentang oleh mafhum hadits lain yang diriwayatkan oleh Muslim, yaitu lima kali susuan.[23]
Menyusu dari Air Susu.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahiihnya dari ‘Urwah bin az-Zubair, dari ‘Aisyah, dia bercerita kepadanya bahwasanya Aflah, saudara Abul Qu’ais, datang untuk meminta izin kepadanya -ia adalah pamannya sepersusuan- setelah turun ayat tentang hijab. ‘Aisyah berkata: “Tapi aku menolak memberi izin kepadanya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, aku memberitahukan kepada beliau tentang apa yang aku lakukan, maka beliau menyuruhku agar mengizinkannya menemuiku.”
Dalam satu riwayat: “Sebab, dia adalah pamanmu. Semoga engkau diberkahi.”
Abul Qu’ais adalah suami wanita yang menyusui ‘Aisyah Radhiyallahu anha.[24]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhari (no. 5105), kitab an-Nikaah.
[2] Fat-hul Baari (IX/154).
[3] Fat-hul Baari (IX/155).
[4] Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62).
v Yang dimaksud dengan isteri ayahnya di sini adalah yang selain ibu kandung-nya, sedang anak perempuannya bukan yang terlahir dari pernikahan dengan ayahnya, tetapi dengan laki-laki lain.-ed.
u Yaitu yang terlahir dari pernikahan dengan laki-laki lain bukan dari pernikahan dengan anak laki-lakinya, sebab anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) haram untuk dinikahi.-ed.
² Maksudnya, tidak diharamkan selama-lamanya. Adapun selama dia masih terikat pernikahan dengan isterinya, maka haram baginya untuk menikahinya, karena adanya larangan menghimpun dua wanita yang bersaudara.-ed.
[5] Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62).
[6] HR. Al-Bukhari (no. 5105) kitab an-Nikaah.
[7] Fat-hul Baari (IX/154).
[8] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 25), dan lihat Fat-hul Baari (IX/157).
[9] HR. Al-Bukhari (no. 5106) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1449) kitab ar-Radhaa’, an-Nasa-i (no. 3284) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2056) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1939) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 25954).
[10] Fat-hul Baari (IX/158).
[11] HR. Al-Bukhari (no. 5101) kitab an-Nikaah.
[12] Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62).
[13] HR. Al-Bukhari (no. 5108) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1408) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1126) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3288) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1929) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no. 7413).
[14] HR. Al-Bukhari (no. 2645) kitab asy-Syahaadah, Muslim (no. 1444) kitab ar-Radhaa’ah, an-Nasa-i (no. 3302) kitab an-Nikaah.
[15] HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1444) kitab ar-Radhaa’.
[16] HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1446) kitab ar-Radhaa’.
[17] HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1455) kitab ar-Radhaa’.
[18] Disebutkan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/148).
[19] HR. Ibnu Majah (no. 1946) kitab an-Nikaah, dari ‘Abdullah bin az-Zubair z, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 1582) dan lihat al-Irwaa’ (no. 2150).
[20] HR. At-Tirmidzi (no. 1166) kitab ar-Radhaa’, Ibnu Majah (no. 1942) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 919) dan lihat al-Irwaa’ (no. 2047), serta Fat-hul Baari (IX/146).
[21] HR. Muslim (no. 1452) kitab ar-Radhaa’.
[22] Disebutkan oleh al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/147).
[23] Fat-hul Baari (IX/147).
[24] HR. Al-Bukhari (no. 2644) kitab asy-Syahaadah, Muslim (no. 1445) kitab ar-Radhaa’ah, at-Tirmidzi (no. 1148) kitab ar-Radhaa’ah, an-Nasa-i (no. 3301) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1948) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 23534).
- Home
- /
- A6. Panduan Lengkap Nikah
- /
- Wanita yang Dihalalkan Dan...