Syubhat Seputar Nikah Mut’ah Dan Nikah Urfi

Bab II. PERNIKAHAN YANG DIHARAMKAN

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Keempat:
SYUBHAT SEPUTAR NIKAH MUT’AH DAN NIKAH ‘URFI.
Syaikh Ibnu Jibrin hafizhahullah ditanya bahwa nikah mut’ah itu halal, dan dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).”  [An-Nisaa/4: 24]

Nikah ini hanyalah diharamkan setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada dugaan kuat bahwa ‘Umar yang mengharamkannya. Khalifah keempat, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengatakan: “Seandainya ‘Umar tidak mengharamkan mut’ah, niscaya tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka.” Bagaimana kebenaran informasi ini?

Syaikh Ibnu Jibrin menjawab: “Nikah mut’ah dihalalkan pada awal Islam, karena mereka belum lama meninggalkan kekafiran. Jadi, ia diperbolehkan untuk menjinakkan mereka kemudian meng-haramkannya pada saat penaklukan Makkah hingga hari Kiamat. Bukan ‘Umar yang mengharamkannya, tapi ‘Umar hanyalah melarang menunaikan haji Tamattu’. Sebagian kalangan keliru menilai-nya. Adapun yang dinukil dari ‘Ali, maka itu hanyalah informasi dusta yang disebarkan oleh kaum Rafidhah. Adapun ayat tersebut mengenai pernikahan, dan al-ujuur ialah al-muhuur (mahar) sebagai-mana firman-Nya:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ

Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” [An-Nisaa/4: 4]

Wallaahu a’lam.[1]

Nikah ‘Urfi.
Apa nikah Urfi? Apakah ada suatu perbedaan dengan per-nikahan biasa yang sudah dikenal?
Syaikh Ibnu Jibrin menjawab: “Nikah Urfi oleh sebagian kalangan disebut pernikahan sementara, yaitu nikah mut’ah. Dan ini tidak dibolehkan. Itu terjadi ketika mereka menentukan batas waktunya pada saat akad, misalnya wali mengatakan: ‘Kami menikahkannya kepadamu untuk masa setahun atau setengah tahun. Setelah itu, kami mencabutnya darimu atau mengambilnya.’ Ini adalah nikah mut’ah, dan ini tidak boleh. Perbuatan ini hanyalah dilakukan oleh Rafidhah karena berlandaskan kepada hadits-hadits terdahulu yang telah dihapuskan. Hukumnya bahwa pernikahan ini diharamkan dan telah dihapuskan; oleh karenanya tidak boleh dilakukan. Adapun pernikahan biasa adalah laki-laki menikahi wanita karena menginginkannya, lalu dia menyerahkan maharnya kepadanya secara sempurna, walaupun dia menceraikannya setelah itu secara langsung, maka tidak ada larangan terhadap hal itu.”[2]

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya: “Mengapa Allah mengharamkan nikah mut’ah?”

Beliau menjawab: “Allah mengharamkan nikah mut’ah karena tujuan pernikahan adalah keutuhan, keharmonisan, serta membangun rumah tangga dan keluarga, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia mencipta-kan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…”  [Ar-Ruum/30: 21]

Sebab lainnya, karena nikah mut’ah dapat menyebabkan terluntanya anak-anak yang lahir melalui jima’ dalam pernikahan ini, dan juga karena pernikahan ini akan membawa banyak kerusakan di tengah umat. Karena inilah Allah Azza wa Jalla mengharamkannya.

Diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Nikah mut’ah adalah haram hingga hari Kiamat.” Ini menunjukkan bahwa tidak mungkin menghapuskan pengharaman ini sampai kapan pun. Karena seandainya bisa dihapuskan, niscaya ada kemungkinan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdusta, dan ini adalah suatu hal yang mustahil.”[3]

Kelima:
PERMASALAHAN: ORANG YANG MENIKAH DENGAN NIAT AKAN MENCERAIKAN.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat menikahinya hingga waktu tertentu kemudian menceraikannya; semisal musafir yang bepergian ke suatu negeri untuk bermukim di sana sekian waktu lalu dia menikah dengan niat jika dia telah kembali ke tanah airnya, maka dia akan menceraikannya; tetapi akad nikahnya adalah akad mutlak, maka mengenai hal ini terdapat tiga pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.

Ada yang berpendapat: “Ini adalah nikah yang dibolehkan, dan ini pendapat jumhur.”

Ada yang berpendapat: “Ini adalah nikah tahlil yang tidak dibolehkan.” Pendapat ini juga diriwayatkan dari al-Auza’i.

Ada yang berpendapat: “Ini adalah makruh, bukan diharamkan.”

Yang benar bahwa ini bukan termasuk nikah mut’ah dan tidak diharamkan. Sebab, dia berniat menikah dan menyukainya, berbeda dengan muhallil; tetapi dia tidak menghendaki wanita tersebut terus menyertainya. Dan ini bukan syarat; sebab wanita terus menyertainya bukanlah suatu kewajiban, bahkan dia berhak untuk menceraikannya. Jika seseorang berniat menceraikannya setelah beberapa waktu, maka dia meniatkan perkara yang diperbolehkan; berbeda dengan nikah mut’ah, seperti sewa yang berakhir dengan habis masanya, dan dia tidak mempunyai kuasa atasnya setelah waktunya habis. Adapun ini (yang sebelumnya) maka kepemilikannya adalah tetap dan mutlak, dan mungkin niatnya berubah lalu mempertahankannya selamanya, dan itu boleh baginya. Demikian pula seandainya dia menikahi wanita dengan niat mempertahankannya selamanya, kemudian dia ingin menceraikannya, maka itu boleh dilakukan. Seandainya dia menikahinya dengan niat jika wanita yang dinikahi mengagumkannya, maka dia mempertahankannya dan jika tidak, dia menceraikannya, maka ini diperbolehkan. Tetapi hal ini tidak disyaratkan dalam akad, tapi seandainya disyaratkan agar mempertahankannya dengan ma’ruf atau menceraikannya dengan ma’ruf, maka ini adalah konsekuensi akad menurut syari’at, dan ini syarat yang sah menurut jumhur, dan menetapinya adalah konsekuensi syari’at. Seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan dalam akad jual beli:

بَيعُ الْمُسْلِم لِلْمُسْلِمِ، لاَ دَاءَ وَلاَ غَائِلَةَ وَلاَ خَبِيْئَةَ.

Jual beli seorang muslim dengan muslim lainnya, tidak boleh ada cacat, tidak ada kerusakan, dan tidak ada yang disembunyikan.”[4]

Ini adalah konsekuensi akad. Al-Hasan bin ‘Ali sering bercerai. Mungkin, kebanyakan wanita yang dinikahinya dia niatkan untuk menceraikannya setelah beberapa waktu, dan tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa itu adalah nikah mut’ah. Ini pun (menikah dengan niat menceraikan.-ed.) tidak berniat menceraikannya hingga waktu tertentu; tetapi ketika tujuannya berakhir darinya dan dari negeri yang ditempatinya. Seandainya dia meniatkannya dalam waktu tertentu, maka boleh jadi niatnya akan berubah. Tidak ada dalam hal ini sesuatu yang mengharuskan untuk membatasi masa pernikahan, dan menjadikannya seperti akad kerja. Keinginan menceraikan -seandainya ditetapkan setelah akad nikah- tidaklah membatalkannya, dan hidup serumah bersama wanita tersebut tidak makruh, meskipun dia berniat menceraikannya, tanpa ada perselisihan tentang hal ini sepanjang yang saya ketahui…”

Baca Juga  Pernikahan yang Diharamkan

Syaikhul Islam melanjutkan: “Salah satu kelaziman pernikahan bahwa laki-laki mempunyai wewenang untuk menceraikan, jika berkeinginan. Ia tidak berniat kecuali terhadap apa yang menjadi haknya sebagai konsekuensi akad. Hal ini sebagaimana jika dia berniat untuk menceraikannya, jika isteri berbuat dosa, atau jika keuangannya menipis, dan sejenisnya. Niatnya untuk menceraikannya, ketika dia bepergian (atau kembali) kepada keluarganya, isterinya yang (selama ini) tidak ada (bersamanya) sudah datang, atau hajatnya selesai, termasuk dalam masalah ini.

Zaid (bin Haritsah) pernah berniat menceraikan isterinya, dan dengan niat itu tidak membuat isterinya keluar dari kedudukannya sebagai isteri. Bahkan ia tetap menjadi isterinya hingga dia benar-benar menceraikannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

اِتَّقِ اللهَ وَأَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ.

Bertakwalah kepada Allah, dan pertahankan isterimu.”[5]

Ada yang mengatakan, Allah telah memberitahukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau akan menikahinya, dan beliau menyembunyikan pemberitahuan ini dari orang-orang. Kemudian Allah mencelanya atas perkara yang disembunyikannya, dengan firman-Nya:

وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ

Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya.” [Al-Ahzaab/33: 37]

Yakni, terhadap pemberitahuan Allah kepadamu tentang hal itu.

Ada yang mengatakan, tetapi yang disembunyikannya ialah bahwa jika Zaid menceraikan, maka beliau akan menikahinya.

Yang pasti, niat Zaid untuk menceraikan isterinya tidak menodai pernikahan dalam kelangsungannya. Dan ini adalah perkara yang kami tidak mengetahui adanya perselisihan di dalamnya.

Jika ada ketetapan dengan nash (teks al-Qur-an dan hadits, -ed.) dan ijma’ bahwa niat untuk menceraikan isteri tidak berpengaruh dalam hal ini, maka ini sebagai jawaban atas pihak yang mengatakan: “Jika seseorang berniat dengan hatinya untuk menceraikan, maka perceraian itu telah terjadi.” Sebab, (dalam peristiwa tersebut) hati Zaid telah keluar darinya, sementara ia tetap menjadi isteri-nya hingga dia menyatakan cerai dengannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَجَـاوَزَ ِلأُمَّتِي عَمَّا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَا لَمْ تَتَكَلَّمْ أَوْ تَعْمَلْ بِهِ.

Allah memaafkan untuk umatku apa yang terbersit di dalam hatinya, selagi dia tidak mengucapkannya atau melakukannya.”[6] Ini adalah madzhab jumhur.[7]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Jika seseorang menikahi wanita dengan tanpa syarat, hanya saja ia berniat menceraikannya setelah sebulan atau setelah hajatnya selesai di negeri tersebut, maka pernikahannya sah, menurut pendapat mayoritas ulama, kecuali al-Auza’i. Yang benar bahwa hal ini tidak mengapa, dan niatnya tidak menyebabkan (pernikahan itu menjadi) rusak.”[8]

Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika seseorang datang ke suatu negeri dan ingin menikahi seorang wanita, sementara niat keduanya ialah tidak ingin mempertahankannya kecuali sebatas ia bermukim di negeri tersebut…” hingga beliau berkata, “… maka pria ini memegang niatnya, bukan niat wanita ini, atau niat wanita ini, bukan niat pria ini, atau niat keduaduanya sekaligus dan niat wali, hanya saja apabila keduanya melangsungkan akad pernikahan secara mutlak, tanpa mensyaratkan hal ini, maka nikahnya sah. Niat tidak merusak pernikahan sedikit pun, karena niat itu ucapan hati. Apa yang terbersit di dalam hati manusia dimaafkan. Adakalanya seseorang meniatkan sesuatu, tapi dia tidak melakukannya.”[9]

Yang mulia Syaikh bin Baaz rahimahullah ditanya: “Saya mendengar fatwa Anda pada sebuah kaset tentang bolehnya (seseorang) menikah di negeri asing sedangkan dia berniat meninggalkannya setelah waktu tertentu, seperti ketika berakhirnya konfrensi atau pendelegasian. Lalu apa perbedaan antara pernikahan ini dengan nikah mut’ah?”

Beliau menjawab: “Ya, telah dikeluarkan fatwa dari al-Lajnah ad-Daa-imah dan saya sendiri sebagai ketuanya, tentang bolehnya menikah dengan niat menceraikannya, jika niat itu antara dirinya dengan Rabb-nya. Ketika dia menikah di negeri asing dengan niat bila telah menyelesaikan studinya, pekerjaannya dan sejenisnya, dia akan menceraikannya, hal ini tidak mengapa (dengan niat ini), menurut jumhur ulama. Niat ini antara dirinya dengan Allah, dan bukan syarat. Perbedaan antara pernikahan ini dengan mut’ah, bahwa dalam nikah mut’ah disyaratkan masa tertentu seperti sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun, dan sejenisnya. Jika waktu tersebut telah habis, maka pernikahan tersebut batal, dan inilah nikah mut’ah yang bathil.”[10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang seorang pengembara yang berkelana di berbagai negeri; di masing-masing kota dia singgah selama sebulan atau dua bulan, dan dia khawatir akan terjerumus dalam kemaksiatan; Apakah dia boleh menikah pada masa bermukimnya di suatu negeri ini lalu ketika mengembara lagi, dia menceraikannya dan memberikan haknya; ataukah tidak boleh? Apakah nikahnya sah ataukah tidak?”

Beliau menjawab: “Ia boleh menikah, tetapi nikah secara mutlak yang tidak disyaratkan penentuan waktu di dalamnya di mana jika suka, dia tetap mempertahankannya dan jika mau, dia boleh menceraikannya. Seandainya dia berniat menceraikannya secara pasti ketika menyelesaikan perjalanannya, maka dimakruh-kan hal semacam ini. Dan tentang sahnya pernikahan, hal ini diperselisihkan. Seandainya dia berniat bahwa tatkala dia akan pergi wanita ini mengagumkannya, maka dia bisa mempertahankannya dan jika tidak, maka dia menceraikannya, hal itu dibolehkan…”[11]

Pendapat lainnya:
Rasanya cukup objektif jika kita menyebutkan pendapat lainnya, yang tidak menyelisihi pendapat pertama tentang sahnya pernikahan ini tetapi mengajak untuk tidak menyebarkan pernikahan ini karena berbagai kerusakan yang bakal kembali kepadanya, yaitu menghancurkan rumah tangga yang akan dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah, menghancurkan keluarga-keluarga Islam, dan mencerai-beraikan anak-anak yang bakal dilahirkan dari wanita tersebut karena laki-laki ini. Ini bisa berarti pengkhianatan kepada keluarga isteri dan juga kepada isteri sendiri. Ini akan berdampak buruk terhadap isteri, anak-anak, dan keluarga yang akan kacau balau jika masalah ini dibuka lebar-lebar. Berikut ini wahai saudaraku yang budiman, sebuah fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin tentang perkara ini, di mana beliau menjelaskan perkara ini dengan berbagai aspeknya.

Baca Juga  Hak Suami Atas Isterinya Ialah Melayani Kebutuhannya, Mengatur Rumah, Memasak

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya: “Ada seseorang yang hendak bepergian ke luar negeri karena diutus. Lalu dia ingin menjaga kemaluannya (dari perbuatan haram) dengan menikah di sana untuk waktu tertentu, kemudian setelah itu dia menceraikan sang isteri tanpa mengabarkan kepadanya (sebelumnya) bahwa dirinya akan menceraikannya. Apa hukum perbuatannya ini?”

Syaikh menjawab: Pernikahan dengan niat menceraikan ini tidak lepas dari dua hal:

Pertama, disyaratkan dalam akad bahwa dia akan menceraikannya untuk masa sebulan, setahun atau hingga studinya berakhir; ini adalah nikah mut’ah yang diharamkan.

Kedua, meniatkan hal itu dengan tanpa mensyaratkannya. Yang masyhur dari madzhab Hanabilah bahwa ini diharamkan dan akadnya rusak. Karena menurut mereka, sesuatu yang diniatkan itu seperti sesuatu yang disyaratkan; berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.

Amal itu tergantung dengan niatnya, dan setiap orang hanya diberi balasan sesuai apa yang diniatkannya.”[12]

Karena sekiranya seorang laki-laki menikahi isteri seseorang yang telah ditalak tiga dengan niat agar suaminya terdahulu dapat kembali kepadanya kemudian menceraikannya, maka nikahnya batal, meskipun dengan tanpa syarat. Karena yang diniatkan itu seperti yang disyaratkan. Jika niat tahlil (menikahi wanita agar suaminya bisa kembali kepadanya setelah menceraikannya) merusak akad, maka demikian pula niat “mut’ah” merusak akad ini. Ini adalah pendapat (kalangan) al-Hanabilah.

Pendapat kedua yang dipegang para ulama dalam masalah ini bahwa menikahi wanita dengan niat akan menceraikannya -jika meninggalkan negeri tersebut- adalah sah. Seperti orang-orang asing yang pergi untuk studi dan sejenisnya. Alasan mereka, karena ini tidak disyaratkan. Perbedaan antara pernikahan ini dengan nikah mut’ah bahwa nikah mut’ah bila masanya telah habis, maka otomatis terjadi perceraian, baik suami suka atau tidak, berbeda dengan pernikahan ini. Sebab, bisa jadi dia menyukai isterinya dan tetap menjadikannya sebagai isterinya. Ini adalah salah satu dari dua pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Menurut saya, ini benar bukan mut’ah, karena tidak disebut sebagai nikah mut’ah. Tetapi diharamkan dari segi pengkhianatan kepada isteri dan keluarganya, sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pengkhianatan dan penipuan. Sebab, jika isteri mengetahui bahwa orang ini tidak ingin menikahinya kecuali untuk masa tersebut, niscaya ia tidak mau menikah dengannya, demikian juga keluarganya. Demikian halnya dia tidak ridha seseorang menikahi puterinya dengan niat akan menceraikannya, jika hajatnya pada isterinya telah terlampiaskan. Lantas, bagaimana mungkin dia ridha untuk dirinya memperlakukan selainnya dengan semacam apa yang dia tidak merelakannya untuk dirinya sendiri. Hal ini menyelisihi keimanan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.

Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga dia mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya sendiri.”[13]

Karena saya mendengar bahwa sebagian orang menjadikan pendapat ini sebagai jalan menuju perbuatan yang tidak dilakukan seorang pun. Yaitu, mereka pergi ke berbagai negeri hanya untuk menikah saja. Mereka pergi ke negeri-negeri itu untuk menikah, kemudian tinggal sekian waktu bersama isteri yang pernikahan dengannya dia niatkan sementara waktu, kemudian kembali ke negerinya semula. Ini pun mempunyai bahaya besar dalam masalah ini. Oleh karenanya, menutup pintu ini lebih utama karena di dalamnya mengandung pengkhianatan dan penipuan serta perbuatan ini membuka pintu semacam ini. Sebab, manusia itu bodoh dan kebanyakan manusia suka memperturutkan hawa nafsu berupa melanggar larangan-larangan Allah.[14]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1] Fataawaa Islaamiyyah (III/234), dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid.
[2] Fataawaa Islaamiyyah (III/232), dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid.
[3] Fataawaa Islaamiyyah (III/233), dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid.
[4] HR. Al-Bukhari (no. 6980) kitab al-Hiyal, at-Tirmidzi (no. 1216) kitab al-Buyuu’, Ibnu Majah (no. 2251) kitab at-Tijaaraat, ad-Darimi (no. 625) kitab al-Muqaddimah.
[5] HR. Al-Bukhari (no. 7420) kitab at-Tauhiid, Muslim (no. 177) kitab al-Iimaan, at-Tirmidzi (no. 3212) kitab Tafsiirul Qur-aan, Ahmad (no. 12102, 25510, 25763).
[6] HR. Al-Bukhari (no. 2528) kitab al-‘Itq (no. 5269), kitab ath-Thalaaq (no. 6664), kitab al-Aimaan wan Nudzuur, Muslim (no. 127) kitab al-Aimaan, at-Tirmidzi (no. 1183) kitab ath-Thalaaq wal Li’aan, an-Nasa-i (no. 3433) kitab athThalaaq, Abu Dawud (no. 2209) kitab ath-Thalaaq, Ahmad (no. 8864).
[7] Majmuu’ al-Fataawaa (XXXII/147-150).
[8] Al-Mughni bisy Syarh al-Kabiir (VII/573).
[9] Al-Umm (V/118).
[10] Fataawaa Islaamiyyah, Syaikh bin Baaz, Ibnu ‘Utsaimin, Ibnu Jibrin (vol. iii), dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid.
[11] Majmuu’ al-Fataawaa (XXXII/106-107).
[12] HR. Al-Bukhari (no. 1) kitab Bad-ul Wahyi.
[13] HR. Al-Bukhari (no. 13) kitab al-Iimaan, Muslim (no. 45) kitab al-Iimaan, at-Tirmidzi (no. 2515) kitab Shifatul Qiyaamah war Raqaa-iq wad Dur’i, an-Nasa-i (no. 5016) kitab al-Iimaan wa Syaraa-i’uhu, Ibnu Majah (no. 66) kitab al-Muqad-dimah, Ahmad (no. 11591), ad-Darimi (no. 2740) kitab ar-Raqaa-iq.
[14] Fataawaa Islaamiyyah (III/236-237), dikumpulkan oleh Muhammad al-Musnid.

  1. Home
  2. /
  3. A6. Panduan Lengkap Nikah
  4. /
  5. Syubhat Seputar Nikah Mut’ah...