Yang Ma’shum Hanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam

YANG MA’SHUM HANYA NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Allâh Azza wa Jalla telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar beliau mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapapan menuju cahaya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan kewajiban ini dengan sebaik-baiknya, menunaikan amanah, menyampaikan risalah, dan menasehati umat.

Dan kedudukan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntut umat untuk mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh perkara yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan. Kedudukan ini tidak dimiliki oleh manusia siapapun selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisa’/4: 65]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla bersumpah dengan diri-Nya yang mulia, yang suci, bahwa seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim dalam segala perkara. Maka apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam putuskan adalah haq, wajib diikuti secara lahir dan batin. Oleh karena inilah Allâh berfirman, (yang artinya), “kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” Yaitu jika mereka telah menjadikanmu sebagai hakim, mereka mentaatimu dalam batin mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya lahir batin, serta menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa menolak dan membantah”.[1]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allâh dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. [Al-Ahzab/33: 36]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini umum (mencakup) segala perkara, yaitu jika Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menyelisihinya, dan di sini tidak ada pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak ada juga pendapat dan perkataan.”[2]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah berkata, “Bahwa tidak ada perbedaan antara keputusan Allâh Azza wa Jalla dengan keputusan Rasul-Nya, orang mukmin tidak ada pilihan untuk menyelisihi keduanya, dan bahwa maksiat kepada Rasul sama dengan maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla , itu merupakan kesesatan yang nyata.”[3]

Yang Ma’shum Hanya Nabi
Dengan penjelasan di atas, maka kita mengetahui bahwa derajat manusia yang ditaati secara mutlak hanyalah derajat kenabian. Seandainya seorang Nabi berbuat kesalahan, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala segera mengingatkannya, sehingga kesalahannya tidak diikuti oleh umat. Adapun selain Nabi, seperti para Ulama atau lainnya, maka mereka tidak ma’shûm, sehingga tidak semua perkataannya harus diikuti. Karena tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khâliq.

Kema’shuman adalah terjemah dari kata ‘ish-mah dalam bahasa Arab, berasal dari kata ‘ashoma (عَصَمَ). Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, “’Ashama (عَصَمَ) artinya mana’a, darinya muncul kata ‘ish-mah (اَلْعِصْمَةُ) dalam agama, yaitu: terjaga dari kemaksiatan.[4]

Menurut Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah, kema’shûman adalah sifat para Nabi, yaitu mereka semua terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan agama. Mereka juga terjaga dari dosa-dosa besar. Adapun dosa-dosa kecil, atau lupa, atau keliru, maka para Nabi terkadang mengalaminya. Dan jika mereka berbuat kesalahan, maka Allâh Ta’ala segera meluruskannya.

Para ulama yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Dâimah lil Buhûts al-‘Ilmiyyah wal Iftâ’ (Lembaga Tetap untuk Penelitian Ilmiyyah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arabia menyatakan, “Para Nabi dan Rasul terkadang berbuat kesalahan, tetapi Allâh Azza wa Jalla tidak membiarkan mereka dalam kesalahan mereka, bahkan Allâh menjelaskan kesalahan mereka kepada mereka, karena kasih sayang (Nya) kepada mereka dan umatnya, dan Allâh memaafkan ketergelinciran mereka serta menerima taubat mereka, karena karunia dan rahmat dari-Nya, dan Allâh Maha Pengampun dan Pengasih.”[5]

Baca Juga  Mimpi Bertemu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Ahlus Sunnah menetapkan sifat ma’shûm ini hanya untuk para Nabi, bukan untuk manusia selainnya. Karena manusia selain Nabi sangat banyak berbuat kesalahan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak melakukan kesalahan adalah mereka yang banyak bertaubat. [HR. Ibnu Mâjah, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu ; dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam al Misykah dan Shahîh Sunan Ibni Mâjah]

Demikian juga Ahlus Sunnah menetapkan sifat ma’shûm ini bagi umat Islam ketika mereka ijmâ’ dalam suatu perkara. Oleh karena itu ijma’ wajib diikuti, karena itu merupakan kebenaran.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : إِنَّ اللَّهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِى – أَوْ قَالَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ – – عَلَى ضَلاَلَةٍ

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh tidak akan mengumpulkan umatku –atau umat Muhammad- di atas kesesatan”. [HR. Tirmidzi; dishahihkan oleh al-Albâni]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah tidak menjadikan perkataan seseorang dari mereka ini (yakni para Ulama seperti imam Mâlik, Syâfi’i, Ahmad, dan lainnya-pen) ma’shûm (terjaga dari kesalahan) yang wajib diikuti. Bahkan jika mereka berbeda pendapat tentang sesuatu, mereka mengembalikan kepada Allâh dan Rasul-Nya.”[6]

Kalau dikalangan umat ini tidak ada seseorang yang ma’shûm selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ umat, maka perkataan siapa saja selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan umat ini, tidak harus diikuti secara mutlak. Jika perkataan itu sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka diterima, dan jika bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ditolak, siapapun orangnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahuhullah berkata, “Sesungguhnya perkataan seorang ma’shûm (orang yang terjaga dari kesalahan) tidak akan kontradiksi. Dan tidak ada perselisihan di antara kaum Muslimin bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ma’shûm dalam perkara yang dia sampaikan dari Allâh Azza wa Jalla . Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ma’shûm dalam perkara yang beliau syari’atkan untuk umat dengan ijma’ kaum Muslimin. Demikian juga umat (Islam) ini ma’shûm dari bersepakat di atas kesesatan, berbeda dengan selainnya. Oleh karena itu pendapat imam-imam agama adalah setiap manusia, pendapatnya bisa diambil dan bisa ditinggalkan, kecuali Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allâh telah mewajikan kepada seluruh manusia beriman kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentaatinya, juga (mewajibkan) menghalalkan apa yang beliau halalkan, dan mengharamkan apa yang beliau haramkan. Dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh memisahkan antara orang Mukmin dengan orang kafir, penduduk surga dengan penduduk neraka, petunjuk dengan kesesatan, dan antara ikut hawa nafsu dengan ikut kebenaran. Adapun orang-orang Mukmin, penduduk surga, orang yang mengikuti petunjuk dan kebenaran, mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan orang-orang kafir, penduduk neraka, orang yang mengikuti hawa nafsu dan kesesatan, mereka adalah orang-orang yang tidak mengikuti beliau (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).”[7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa mewajibkan taat kepada seseorang selain Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dalam seluruh perkara yang dia perintahkan; Dan mewajibkan orang meyakini kebenaran seluruh perkara yang dia beritakan; dan menetapkan sifat ma’shûm atau terjaga dari kesalahan dalam seluruh perkara yang dia perintahkan dan dia beritakan dari perkara agama, maka dia telah menjadikan pada orang tersebut tandingan dan keserupaan bagi Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang menjadi kekhususan para rasul sesuai dengan kadarnya. Baik yang dijadikan tandingan bagi Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah sebagian sahabat, atau kerabat Nabi, atau imam, atau syaikh, atau pemimpin dari kalangan para raja dan lainnya.[8]

Beliau juga berkata, “Ini termasuk perkara yang disepakati oleh Ulama Islam: yaitu wajib mengimani semua Nabi, dan barangsiapa mengingkari satu orang Nabi maka dia kafir, dan barangsiapa mencela seorang Nabi, dia wajib dibunuh berdasarkan kesepakatan Ulama. Adapun kepada selain Nabi, maka tidak demikian, baik selain Nabi itu dinamakan wali, imam, orang bijak, Ulama’, atau lainnya. Barangsiapa menjadikan selain Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang ma’shûm, yang wajib diimani semua perkataannya, maka dia telah memberikan kepadanya makna/sifat kenabian, walaupun dia tidak memberikan lafazh kenabian kepadanya (yakni tidak menyebutnya sebagai Nabi-pen).”[9]

Baca Juga  Hakikat Cinta Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam

Termasuk Kesesatan Rafidhah
Setelah kita mengetahui keterangan di atas, kita melihat bahwa berbagai firqah yang menyimpang memiliki keyakinan kema’shûman untuk selain para Nabi, dan mereka tidak mampu mendatangkan dalil yang shahih (kuat) dan sharîh (jelas) yang mendasari aqidah mereka ini. Dalil mereka hanya syubhat dan hawa nafsu belaka.

Di antara kelompok menyimpang itu adalah Syi’ah Imâmiyah. Mereka meyakini kema’shûman para imam dua belas mereka, bahkan mereka tinggikan derajat para imam itu melebihi derajat para Nabi dan malaikat. Mereka menyatakan bahwa ‘ishmah (kema’shûman) adalah, “Kekuatan dalam akal yang menghalangi pemiliknya dari menyelisihi beban (aturan syari’at) padahal dia mampu menyelisihi”.[10]

Khumaini menyatakan, “Sesungguhnya kema’shûman yang dimiliki oleh al-ma’shûm (imam dua belas menurut Syi’ah-pent) hanyalah karena sebab kedudukan yang tinggi dan maqâm yang terpuji yang tidak dicapai oleh malaikat yang dekat (dengan Allâh) dan Nabi yang diutus. Juga dengan sebab kekuasaannya (imam ma’shûm) yang berkaitan dengan alam semesta, yang seluruh atom alam ini tunduk terhadap kekuasaannya.”[11]

Lihatlah bagaimana ghuluwnya kelompok Syi’ah ini, sampai mereka mengangkat derajat imam mereka ke derajat ketuhanan. Demi Allâh, ini adalah syirik yang nyata. Ya Allâh ! Tunjukkanlah dan tetapkanlah kami di atas jalan yang lurus.

Termasuk Kesesatan Shufi
Sebagaimana Syi’ah, maka kelompok shûfiyah juga menetapkan sifat ma’shûm kepada panutan mereka yang dianggap sebagai wali. Walaupun mereka mengecoh umat dengan mengunakan istilah hifzh (penjagaan) sebagai ganti istilah ‘ishmah (kema’shûman).

al-Qusyairi, seorang tokoh shûfi, menerangkan definisi wali sebagai berikut, “Orang yang selalu taat tanpa diselingi kemaksiatan, dan bahwa Allâh mengurusi hifzh (penjagaan) terhadapnya, sehingga Allâh tidak menciptakan khidzlân (penghinaan), yaitu kemampuan berbuat kemaksiatan.”[12]

Karena keyakinan demikian, maka tidak aneh dalam praktek perbuatan di kalangan shufi seorang mursyid (pembimbing; syaikh; guru) dianggap memiliki sifat ma’shûm, sehingga seorang murid sama sekali tidak boleh membantah gurunya, walaupun di dalam hatinya! Sehingga tidak ada amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap guru.

Mereka mengatakan, “Diantara adab murid terhadap gurunya adalah tidak membantahnya dalam seluruh perkara yang dilakukan oleh guru, walaupun zhahirnya haram. Dan seorang murid di hadapan gurunya menjadi seperti mayit di hadapan orang yang memandikannya.” [13]

Al-Qusyairi berkata, “Barangsiapa menemani seorang guru, kemudian dia membantahnya dengan hatinya, maka lepaslah perjanjian persahaatan (dengan gurunya itu).”[14]

Dengan penyimpangan pemahaman adanya selain Nabi yang memiliki sifat ma’shûm, kemudian diiringi dengan ketaatan mutlak untuknya, maka sesungguhnya hal ini akan memunculkan berbagai penyimpangan dalam beragama, fanatisme guru dan golongan, bahkan perpecahan dan keburukan lainnya. Maka tidak ada jalan selamat kecuali kembali kepada agama yang dibawa oleh Rasul yang mulia, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang telah diamalkan oleh para muridnya yang utama, para sahabat yang setia, dengan meninggalkan seluruh bid’ah (perkara baru) di dalam agama, yang telah merusak keindahan Islam yang telah sempurna.

Semoga Allâh menunjukkan kebenaran kepada kita sebagai kebenaran, dan memberikan kepada kita kekuatan untuk mengikutinya. Dan semoga Allâh menampakkan kepada kita kebatilan sebagai kebatian dan memberikan kepada kita kekuatan untuk meninggalkannya. Amiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Nisa’/4:65
[2] Tafsîr Ibnu Katsîr, surat al-Ahzâb/33:36
[3] al-Hadîts Hujjatun Binafsihi, hlm. 33
[4] at-Taqrîb 1/324, karya imam Ibnu Qutaibah; Dinukil dari Kitab Naskh Aqîdatil Imam Ma’shûm, hlm. 3
[5] Fatâwâ al-Lajnah ad-Dâimah lil Buhûts al-‘ilmiyyah wal Iftâ’, 3/264, fatwa no. 6290
[6] Minhâjus Sunnah an-Nabawiyah, 4/123
[7] Majmû’ Fatâwâ, 33/28
[8] Jâmi’ur Rasâ’il, 1/273
[9] Minhâjus Sunnah, 6/187-188
[10] asy-Syî’ah fii ‘Aqâidihim wa Ahkâmihim, hlm. 322; karya al-Kazhimi a-Qazwaini
[11] al-Hukûmah al-Islâmiyyah, hlm. 47
[12] ar-Risâlah al-Qusyairiyah; dinukil dari Kitab Auliyâ’ullâh baina al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj as-sunni as-salafi, karya syaikh Abdurrahman Dimasyqiyyah
[13] Tanwîrul Qulûb fii Mu’âmalati ‘Allâmil Ghuyûb, hlm. 479 dan 529; dinukil dari Kitab Auliyâ’ullâh baina al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj as-sunni as-salafi, karya syaikh Abdurrahman Dimasyqiyyah
[14] ar-Risâlah al-Qusyairiyah, hlm. 150; dinukil dari Kitab Auliyâ’ullâh baina al-mafhûm ash-shûfi wal manhaj as-sunni as-salafi, karya syaikh Abdurrahman Dimasyqiyyah

  1. Home
  2. /
  3. B2. Topik Bahasan1 Cinta...
  4. /
  5. Yang Ma’shum Hanya Nabi...