Ancaman Kaum Quraisy dan Izin Perang
ANCAMAN KAUM QURAISY DAN IZIN PERANG
‘Abdullah bin Ubay bin Salul adalah salah satu tokoh Madinah yang paling berpengaruh. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, penduduk kota itu sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk menobatkannya sebagai penguasa di kota yang sebelumnya dikenal dengan Yatsrib. Namun, rencana ini gagal total, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menjadi tokoh terkemuka dengan mahkota kenabian yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sandang. Kegagalan ini sangat mengecewakan ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Oleh karena itu, dia tidak segera menyatakan ke-Islamannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia memandang Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merampas kekuasaannya di Madinah. Atas dasar cara pandang seperti inilah, dia kemudian memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun sudah menyatakan masuk Islam. Permusuhan yang dia tampilkan berbeda dari kaum kafir Quraisy. Ia muncul dengan baju kemunafikan, dengan menampakkan diri sebagai seorang muslim, tapi dia sebenarnya memendam kekufuran besar dalam hatinya.
Mengetahui kenyataan keyakinan ‘Abdullah bin Ubay bin Salul tersebut, kaum kafir Quraisy tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mereka pun mengirim surat kepadanya, meminta dia melancarkan makar dan menjalankan peran kaum kafir Quraisy dalam merintangi dakwah dan gerak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam salah satu surat yang dikirim, mereka mengatakan, “Kalian telah melindungi kawan kami (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Demi Allah, kami meminta kalian memerangi Muhammad, atau mengusirnya atau kami akan menyerang kalian dengan seluruh kemampuan kami dan kami akan menghalalkan (menawan) wanita-wanita kalian.”[1]
Gayung pun bersambut. Reaksi positif muncul dari ‘Abdullah bin Ubay terhadap muatan surat yang dikirim. Kemudian, ia mengumpulkan orang-orang kafir yang berada di Madinah untuk memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat. Sebelum rencana itu dijalankan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendengar niat busuk Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya. Maka, beliau memperingatkan mereka.
Akhirnya, mereka bubar dan mengurungkan niat mereka memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan sendirinya, rencana busuk ‘Abdullah bin Ubay ini pun gagal
Gagal memanfaatkan tokoh kaum munafikin ini, tidak membuat kuffar Quraisy menyerah. Kebencian yang bergejolak dalam dada mendorong mereka untuk terus melakukan tekanan dan menebar ancaman terhadap kaum muslimin dengan berbagai cara. Jelas ini bukan sekedar omong kosong. Sebagai bentuk antisipasi terhadap makar kaum kafir Quraisy, kaum muslimin Madinah bergiliran menjaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap malam. Mereka terus berjaga-jaga sampai kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ
Dan Allah Azza wa Jalla menjagamu dari manusia (orang-orang kafir) [al-Mâidah/5:67]
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para Sahabat n yang setia menjaga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ انْصَرِفُوا فَقَدْ عَصَمَنِي اللَّهُ
Wahai sekalian manusia ! Bubarlah kalian karena Allah Azza wa Jalla telah menjagaku[2]
Ancaman itu tidak hanya diarahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi juga ditujukan kepada orang-orang yang beriman terhadap ajaran yang dibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di antara skenario besar yang akan dilakukan kaum kafir Quraisy dalam usaha menghalangi dan merintangi gerak dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu mereka berencana untuk menghalangi kaum Anshâr dari Masjidil Haram. Terbukti, mereka tidak memperkenankan kaum Anshâr beribadah di sana. Ini terlihat nyata pada sebuah peristiwa antara Sa’ad bin Mu’âdz dan Abi Jahl. Imam al-Bukhâri meriwayatkan kisah ini dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu ,beliau mengatakan, “Sa’ad bin Mu’adz Radhiyallahu anhu berangkat untuk menunaikan umrah. Di Mekah, Sa’ad Radhiyallahu anhu tinggal di kediaman Umayyah bin Khalaf bin Abu Sufyân. Kala itu, jika Umayyah sedang melakukan perjalanan dagang ke Syam dan melalui Madinah, dia biasa beristirahat di kediaman Sa’ad bin Mu’âdz Radhiyallahu anhu . Ketika dirasa ada kesempatan yang tepat untuk melakukan thawaf (beribadah dengan mengelilingi Ka’bah-red), Umayyah membawa tamunya untuk melakukannya. Tak disangka, mereka bertemu dengan Abu Jahal. Abu Jahal bertanya : “Siapakah yang sedang melakukan thawaf di Ka’bah ini?”
Sa’ad Radhiyallahu anhu menjawab : “Saya Sa’ad.”
Abu Jahl mengatakan : “Engkau melakukan thawaf dengan aman, sementara engkau telah melindungi Muhammad beserta para Sahabatnya ?”
Sa’ad Radhiyallahu anhu menjawab : “Ya.”
Kemudian kedua orang ini bersitegang, saling memaki. Umayyah mengatakan kepada Sa’ad Radhiyallahu anhu : “Janganlah engkau meninggikan suaramu di hadapan Abul Hakam (Abu Jahal), karena dia panutan penduduk lembah ini (Mekah)!”
Sa’ad Radhiyallahu anhu mengatakan: “Demi Allah, jika engkau melarangku melakukan thawaf di Ka’bah, maka sungguh saya akan menghalangi perjalanan dagangmu ke Syâm.”
Umayyah kembali mengingatkan Sa’ad Radhiyallahu anhu agar tidak mengeraskan suaranya kepada Abu Jahl seraya memegangi Sa’ad Radhiyallahu anhu . Akhirnya, Sa’ad Radhiyallahu anhu emosi dan mengatakan : “Tinggalkan kami ! Sungguh saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa dia akan membunuhmu.
Umayyah mengatakan : “Saya”.
Sa’ad menegaskan : “Ya. Dan Demi Allah Azza wa Jalla , Muhammad n kalau berbicara tidak bohong.”
Mendengar ini, Umayyah pulang menemui istrinya. Dia mengatakan : “Tahukah engkau, apa yang dikatakan oleh saudaraku yang berasal dari Madinah itu ?”
Istrinya balik bertanya : “Apa katanya ?”
Umayyah mengatakan : “Dia (tadi) berkata pernah mendengar Muhammad akan membunuhku.” Istrinya mengatakan : “Demi Allah, Muhammad tidak pernah berdusta !”
Ketika kafir Quraisy hendak berangkat menuju Badr (tempat Perang Badr meletus-red) dan seruan sudah terdengar, istri Umayyah mengingatkankan suaminya : “Tidakkah engkau ingat perkataan saudaramu yang berasal dari Madinah itu.” Mendengar ini, Umayyah hendak mengurungkan niatnya untuk berangkat, akan tetapi Abu Jahal terus membujuknya. Akhirnya dia berangkat ke Badr. Di sana, ia dan Abu Jahal tewas[3].
Izin Berperang
Pada masa-masa kritis seperti ini, saat kaum kafir Quraisy tidak menyadari kesesatan mereka bahkan terus menebar ancaman kepada kaum Muslimin, Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu [al-Hajj/22:39]
Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengatakan : “Saya pun tahu bahwa akan terjadi peperangan.”
Melalui ayat ini, Allah Azza wa Jalla mensyariatkan jihad melawan kaum kafir, namun belum diwajibkan, baru sebatas pemberian izin kepada orang yang terzhalimi untuk berperang (membela diri).
Allah al-Hakîm (Yang Mahabijaksana) telah menetapkan syariat jihad sesuai dengan situasi dan kondisi tepat. Syariat ini tidak diturunkan di Mekah, saat kaum Muslimin berjumlah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kaum kafir Quraisy. Ketika orang-orang kafir ini mulai berbuat melampaui batas, mengusir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah bahkan berniat membunuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , juga mengusir kaum Mukminin yang beriman kepada risalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manakala kaum Muslimin sudah menetap di Madinah dan kota Madinah berubah menjadi Negara Islam, Allah Azza wa Jalla baru mensyariatkan berjihad melawan orang-orang kafir yang memusuhi Islam.
Awal mulanya, jihad tidak diwajibkan, tapi baru diizinkan bagi yang terzhalimi. Kemudian Allah Azza wa Jalla mewajibkan kaum Muslimin untuk berjihad melawan musuh-musuh yang menyerang. Allah berfirman
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas [al-Baqarah/2:190]
Kemudian setelah itu Allah Azza wa Jalla mewajibkan kaum Muslimin untuk memerangi orang-orang musyrik semua. Allah Azza wa Jalla berfirman :
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa [at-Taubah/9:36]
Berdasarkan uraian diatas, bisa disimpulkan bahwa pensyari’atan jihad itu melalui empat pase yaitu
- Fase bersabar tanpa ada perang yaitu di Mekah
- Fase diizinkan berperang yaitu setelah hijrah ke Madinah
- Fase diperintahkan berjihad melawan orang-orang kafir yang menyerang terlebih dahulu
- Fase diperintahkan berjihad melawan seluruh orang musyrik.
Demikianlah, saat intensitas ancaman kaum kafir Quraisy semakin meningkat, Allah Azza wa Jalla memberikan izin kepada kaum Muslimin yang terzhalimi untuk mengadakan perlawanan. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemampuan dan kesadaran kepada kita semua untuk mengambil pelajaran dari penggalan sejarah di atas.
(Dinukil dari as-Sîratun Nabawiyah Fî Dhauil Mashâdiril Ashliyyah, DR Mahdi Rizqullah, 322-326)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Sunan Abu Daud, 3/404-405, no. 3004, sanadnya shahih
[2] Shahîh Sunan at-Tirmidzi, 3/46, no. 3250. Syaikh al-Albâni mengatakan : Hadits hasan.
[3] al-Bukhâri dalam al-Fat-h, (14/126, no. 3632)
- Home
- /
- B2. Topik Bahasan3 Sejarah...
- /
- Ancaman Kaum Quraisy dan...