Shahih Al-Bukhâri Dalam Pandangan Ulama

SHAHIH AL-BUKHARI DALAM PANDANGAN ULAMA

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Fenomena kemunculan orang-orang yang mengaku sebagai pembaharu dan intelektual yang menggugat dan merendahkan kedudukan Shahîh al-Bukhâri, ditambah lagi dengan ketidaktahuan sebagian kaum Muslimin terhadap sumber rujukan besar dalam mengenal islam ini menjadikan masalah ini sangat perlu dipaparkan kepada khalayak ramai. Apalagi menyebarnya agama syi’ah yang banyak menggugat dan mempertanyakan hadits-hadits dalam kitab Shahîh al-Bukhâri ini bahkan tidak mengakui keberadaannya.

Kedudukan Kitab Shahih Al-Bukhari
Kitab yang memiliki nama lengkap al-Jâmi’ ash-Shahîh al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi karya al-Imam al-Bukhâri dikenal khalayak ramai dengan Shahîh al-Bukhâri. Kitab ini memiliki kedudukan tinggi dan penting serta memiliki kekhususan yang tidak dimiliki karya-karya tulis lainnya. Hampir semua tempat yang tersentuh dakwah islam mesti di sana ada kitab Shahîh al-Bukhâri.

Kitab ini adalah pendorong penting umat islam untuk menggelari beliau rahimahullah dengan gelar Imam Muhadditsîn dan amîrul Mukminin dalam hadits. Belum ada karya seorang ulamapun yang mendapatkan keutamaan dan sambutan seperti kitab Shahîh al-Bukhâri ini.

Syeikh Abdussalâm al-Mubarakfûri rahimahullah menyifati kitab ini dengan pernyataan beliau rahimahullah , “al-Jâmi’ ash-Shahîh adalah sebuah kitab yang seandainya kita berusaha menyusun sejarahnya dan menjelaskannya dari semua sisi, tentu akan membutuhkan berjilid-jilid tebal kitabnya[1].

Sedemikian tinggi dan pentingnya Shahîh al-Bukhâri ini sehingga al-‘Allâmah Ibnu Khaldun rahimahullah menyatakan, “Sungguh aku telah mendengar para guru kami –Rahimahumullâhu- menyatakan, “Syarah (penjelasan) kitab al-Bukhâri adalah hutang yang ditanggung umat ini.[2]

Ibnu Khaldun adalah seorang ahli sejarah abad ke-8 yang wafat diawal abad ke-9 dan menyelesaikan kitab Muqaddimahnya pada tahun 779 H. Beliau rahimahullah menyampaikan pernyataan ini sesuai dengan pengetahuan yang sampai padanya. Oleh karena itu imam Abul Khari as-Sakhâwi rahimahullah salah seorang murid imam Ibnu Hajar rahimahullah ketika mengomentari kitab Fathul Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri menyatakan, “Seandainya Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarah shahîh al-Bukhâri hingga sekarang adalah hutang yang ditanggung umat ini membaca kitab ini tentu akan senang dan mengakui (hutang) itu sudah tertunaikan dan cukup”[3]

Demikianlah kitab Shahîh al-Bukhâri ini mendapatkan sambutan dari umat Islam. Kitab ini sebelumnya telah dikritisi dan diteliti oleh para Ulama baik dimasa beliau masih hidup maupun setelah beliau rahimahullah wafat. Diantara Ulama yang mengkritisi hadits-hadits yang ada dalam Shahîh al-Bukhâri adalah al-Imâm ad-Daraquthni dalam kitab at-Tatabbu’ wal Ilzâmât. Namun akhirnya umat islam menerimanya sebagai kitab paling Shahîh setelah al-Qur’an.

Imam an-Nawawi rahimahullah mengungkapkan, “Para ulama –rahimahumullâhu- telah sepakat menyatakan bahwa kitab yang paling Shahîh setelah al-Qur`an adalah ash-Shahîhain ; Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim. Ummat telah menerima keduanya dengan baik. Kitab Shahîh al-Bukhâri adalah yang tershahîh dari keduanya dan lebih banyak mengandung faedah dan pengetahuan, baik yang nampak maupun masih samar. Memang benar bahwa imam Muslim dahulu termasuk yang mengambil faedah dari al-Bukhâri dan mengakui bahwa al-Bukhâri tiada tandingannya dalam ilmu Hadits. Semua yang telah kami sampaikan berupa tarjîh kitab Shahîh al-Bukhâri adalah madzhab terpilih yang menjadi pendapat mayoritas Ulama pakar dan ahli dalam masalah-masalah detail hadits.[4]

Baca Juga  Nikmat Lautan Dalam Perspektif Fikih

Pernyataan imam Nawawi rahimahullah ini sudah cukup untuk menunjukkan betapa tinggi dan penting kedudukan Shahîh al-Bukhâri.

Kedudukan ini selain karena izin dan anugrah dari Allâh Azza wa Jalla, juga tidak lepas dari sebab ketakwaan dan kehati-hatian beliau rahimahullah dalam memasukkan hadits-hadits ke dalam kitab ini. Beliau rahimahullah tidak memasukkan satu hadits kecuali setelah mandi dan shalat dua rakaat. Ini disampaikan Abul Haitsâm al-Kasymihani setelah mendengar Muhammad bin Yusuf al-Farabri rahimahullah menyatakan, “al-Bukhâri rahimahullah pernah menyatakan, ‘Aku tidak meletakkan satu hadits dalam kitab as-Shahîh kecuali aku mandi sebelumnya dan shalat dua rakaat.[5]

Syeikh Abdussalâm al-Mubârakfûri rahimahullah menyampaikan juga pernyataan orientalis barat bernama Tomas William Bill yang menyatakan, “Shahîh al-Bukhâri dimuliakan melebihi kitab apapun juga setelah al-Qur`an dan dijadikan sandaran dalam urusan ruhani dan keduniaan.”

Tomas juga menyatakan, “Kitab ini tidak hanya memuat wahyu yang turun kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ilham, perbuatan dan perkataan beliau saja, bahkan bersamanya juga berisi tafsir mayoritas bagian yang sulit dalam al-Qur`an.[6]

Masa Penyusunannya
Al-Imam al-Bukhâri rahimahullah telah menyusun kitabnya secara sungguh-sungguh dan teliti selama enam belas tahun sehingga menjadi seperti yang kita lihat dan baca hari ini. Kesungguhan dan ketelitian ini disampaikan sendiri oleh imam al-Bukhâri dan juga dari para Ulama lainnya.

Al-Warâq menyampaikan pernyataan imam al-Bukhâri, “Aku susun kitab al-Jâmi’ dari enam ratus ribu hadits dalam waktu enam belas tahun.”[7]. Juga Ibnu ‘Adi menyampaikan berita dari beberapa guru beliau bahwa imam al-Bukhâri menyusun judul bab dalam shahihnya antara kuburan Nabi dengan mimbarnya dan beliau shalat dua rakaat untuk setiap judul babnya.[8]

Demikian juga al-Warâq menceritakan bahwa suatu ketika beliau bersama imam al-Bukhâri ketika beliau menyusun kitab at-Tafsîr (salah judul dalam shahihnya) dan beliau dapati imam al-Bukhâri shalat di satu malam hingga lima belas sampai dua puluh kali.

Berita-berita ini menunjukkan kesungguhan dan konsentrasi beliau rahimahullah dalam menyusun kitab Shahihnya ini. Setelah tersusun beliau rahimahullah tidak lupa menyampaikanya kepada para guru beliau untuk dilihat dan dikoreksi serta mengambil arahan dan bimbingan mereka.

Abu Ja’far al-‘Uqaili berkata, “Ketika al-Bukhâri menyusun kitab Shahîh, beliau menyerahkannya kepada Ali Ibnu al-Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in dan yang lainnya. Lalu mereka menerima kitab tersebut dengan baik dan memastikan keshahihannya kecuali empat hadits.” al-‘Uqaili menyatakan, “Yang benar dalam hal ini adalah pendapat al-Bukhâri dan keempat hadits tersebut shahih.[9]

Perhatian Ulama Terhadap Kitab Ini[10]
Urgensi kitab Shahîh al-Bukhâri begitu jelas, sehingga para Ulama sejak dahulu memberikan perhatian besar, baik dengan membacakan dan mengajarkannya, meringkasnya atau menulis penjelasan (syarah)nya.

Semua ini terbukti dengan banyaknya karya tulis seputar kitab shahîh al-Bukhâri. Diantaranya adalah:

Mereka yang meringkas kitab Shahîh al-Bukhâri :

  1. Jamaluddin Ahmad bin Umar al-Anshâri al-Qurthubi, wafat tahun 656 H dalam kitab Mukhtashar Shahîh al-Bukhâri
  2. Zainuddin Ahmad bin Ahmad bin Abdillathif asy-Syarji az-Zabîdi, wafat tahun 894 H dalam kitab at-Tajrîd ash-Sharîh li Ahâdîts al-Jâmi’ ash-Shahîh
  3. Abdullah bin Sa’ad bin Abi Jamrah al-Azdi, wafat tahun 675 H dalam kitab an-Nihâyah fi Bad`i al-Khair wal Ghâyah
Baca Juga  Nikmat Berujung Bencana Pelajaran Dari Kehancuran Kaum Saba'

Mereka yang mensyarah judul bab (Tarâjum al-Bâb), Diantaranya :

  1. Imam Nashiruddin Ahmad bin al-Munayyir dalam kitab al-Mutawâri ‘ala Tarâjum al-Bukhâri.
  2. Muhammad bin Manshûr bin al-Hamâmah al-Maghribi dalam kitab Fakku Aghrâdhi al-Bukhâri al-Mubhamah fil Jam’i bainal Hadîts wat Tarjamah
  3. Abu Abdillah ibnu Rasyid as-Sibti dalam kitab Turjamân at-Tarâjum
  4. Asy-Syâh Waliyullahi ad-Dahlawi dalam kitab Syarah Tarâjum Abwâb Shahîh al-Bukhari

Mereka yang mensyarah kitab Shahîh al-Bukhâri, diantaranya :

  1. Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Busti al-Khathâbi (wafat tahun 308 H) dalam kitab I’lâm as-Sunan
  2. Muhallab bin Abi Shafrah al-Azdi (wafat tahun 435 H) dalam kitab Syarh al-Muhallab
  3. Abu Abdillah Muhammad bin Khalaf al-Murâbith (wafat tahun 485 H) dalal kitab Mukhtashar Syarh al-Muhallab
  4. Ibnu Abdilbarr Abbu Umar Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdilbarr (Wafat tahun 463 H) dalam kitab al-Ajwibah ‘ala al-Masâ`il al-Musta’ribah Minal Bukhâri
  5. Abul Hasan Ali bin Khalaf bin Abdilmalik Ibnu Bathâl (wafat tahun 449 H) dalam Syarah Ibnu Bathâl
  6. Abu Hafsh Umar bin al-Hasan bin Umar al-‘Auzi al-Isybili (wafat tahun 460 H) dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri
  7. Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Karmâni wafat tahun 786 H dalam kitab al-Kawâkib ad-Darari
  8. Sirajuddin Umar bin Ali bin Ahmad Ibnu al-Mulaqqin wafat tahun 804 H dalam kitab Syawâhidut Taudhîh
  9. Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad al-halabi Sibthi ibni l’Ajmi wafat tahun 837 H dalam kitab at-Talqîh li Fahmil Qâri ash-Shahîh
  10. al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni wafat tahun 852 H dalam Fathul Bâri Syarhu Shahîh al-Bukhari
  11. Abul Hasan Ali bin Husein bin ‘Urwah al-Mushili wafat tahun 837 H dalam kitab al-Kawâkib as-Sâri fi Syarhil Jâmi’ ash-Shahîh lil Bukhâri
  12. Badruddin Abu Muhammad Mahmûd bin Ahmad al-‘Aini wafat tahun855 H dalam kitab ‘Umdatul Qâri
  13. Syihabudin Ahmad bin Muhammad al-Khathîb al-Qusthalâni wafat tahun 923 H dalam kitab Irsyâdus Sâri

Demikian selintas perhatian Ulama terhadap kitab Shahîh al-Bukhâri. Semoga dapat memotivasi kita untuk mengenal lebih jauh dan mempelajarinya.
Wabillahitaufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Sirah al-Imam al-Bukhâri, hlm. 159
[2] Muqaddimah ibnu Khaldun 3/1142 Dinukil dari Sirah al-Imam al-Bukhâri, hlm. 159
[3] at-Tabar al-Masbûk, hlm. 231. Lihat kitab Ibnu Hajar wa Dirasatuhu, karya DR. Syâkir Muhammad Abdulmun’im, hlm. 323
[4] al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim 1/14. Lihat Fiqhud Dakwah min Shahîh al-Bukhâri, 1/28
[5] Hâdi as-Sâri, Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489
[6] Lihat Sîratul Imâm al-Bukhâri, hlm. 163
[7] Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489
[8] Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489
[9] Muqaddimah Fathul Bâri, hlm. 489
[10] Diambil secara ringkas dari keterangan Syeikh Abdussalam al-Mubarakfuuri dalam siratul imam al-Bukhâri dari hlm 172 – 240

  1. Home
  2. /
  3. A4. Kesempurnaan Agama Islam
  4. /
  5. Shahih Al-Bukhâri Dalam Pandangan...