Perang Uhud (2)

PERANG UHUD

Setelah bermusyawarah dengan para Sahabat, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan untuk menyambut serangan kaum kafir Mekah dan sekitarnya di luar Madinah. Sebelum berangkat, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi tiga regu dan masing-masing diberi bendera. Bendera regu Muhâjirîn diserahkan kepada Mush’ab bin Umair Radhiyallahu anhu yang selanjutnya diganti oleh Ali bin Abu Thâlib Radhiyallahu anhu  setelah Mush’ab Radhiyallahu anhu wafat sebagai syahid di medan tempur, bendera Aus dibawa oleh Usaid bin Hudhair Radhiyallahu anhu , dan satu bendera lagi yaitu bendera Khazraj dipercayakan kepada al-Habbâb bin al-Mundzir Radhiyallahu anhu .

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan Madinah pada hari Jum’at bersama dengan seribu pasukan. Di antara mereka ada satu orang penunggang kuda dan 100 orang yang mengenakan baju besi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pada saat itu mengenakan dua lapis baju besi.[1] Sebelum meninggalkan Madinah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan amanah kepada `Abdullâh bin Ummi Maktûm Radhiyallahu anhu untuk mengimami shalat kaum Muslimin di Madinah.

Ketika sudah melewati bukit Wadâ’, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sekelompok orang yang bersenjata lengkap. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa mereka ?” Para Sahabat menjawab, “Itu adalah `Abdullâh bin Ubay bin Salûl beserta teman-temannya orang-orang Yahudi Bani Qainuqâ’, kelompoknya `Abdullâh bin Salâm Radhiyallahu anhu yang berjumlah enam ratus.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah mereka sudah memeluk agama Islam ?” Para Sahabat menjawab, “Belum, wahai Rasulullâh.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Suruhlah mereka pulang ! kita tidak akan meminta bantuan kepada orang-orang musyrik untuk menghadapi orang-orang musyrik juga.”[2] Jika riwayat ini benar, berarti pengusiran terhadap Bani Qainuqâ’ itu terjadi setelah perang Uhud.

Selanjutnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di as-Syauth (nama tempat), tokoh munafik yang bernama `Abdullâh bin Ubay bin Salûl diikuti oleh tiga ratus munafik lainnya yang membelot, kembali dan tidak mau ikut berperang. Mereka beralasan bahwa peperangan tidak akan terjadi. Pembelotan ini juga sebagai bentuk protes terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memutuskan untuk menyambut kedatangan musuh di luar Madinah.[3] Dalam merespon tindakan buruk yang dilakukan oleh orang-orang munafik ini, para Sahabat terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok berpendapat agar kaum Muslimin menyerang dan memberi pelajaran kepada orang-orang munafik ini, sementara satu kelompok lagi memandang tidak perlu menyerang mereka. lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :

فَمَا لَكُمْ فِى الْمُنٰفِقِيْنَ فِئَتَيْنِ وَاللّٰهُ اَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوْا

Maka mengapa kalian (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? [an-Nisâ’/4:88][4]

Baca Juga  Peran Para Pendahulu Islam

Menyaksikan pembelotan `Abdullâh bin Ubay bin Salûl ini, `Abdullâh bin ‘Amr bin Harâm Radhiyallahu anhu menyusul mereka dan mengingatkan mereka agar kembali dan bergabung dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun upaya ini gagal dan mereka tetap menolak. Akhirnya, `Abdullâh bin ‘Amr bin Harâm Radhiyallahu anhu geram dan mengatakan, “Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhkan kalian dari rahmat-Nya, wahai musuh-musuh Allah ! Allah Azza wa Jalla pasti akan menjadikan Nabi-Nya tidak butuh pada kalian.” Isyarat tentang dialog ini terdapat dalam firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَا أَصَابَكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ﴿١٦٦﴾وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ نَافَقُوا ۚ وَقِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوِ ادْفَعُوا ۖ قَالُوا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمْ ۗ هُمْ لِلْكُفْرِ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْإِيمَانِ ۚ يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۗ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ

Dan apa yang menimpa kalian pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman. Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan, “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)”. Mereka berkata, “Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu” . Pada hari itu, mereka lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. [Ali Imrân/3:166-167][5]

Ketika itu, Bani Salamah dari suku Khazraj dan Bani Hâritsah dari suku Aus hampir saja ikut mundur dan bergabung bersama orang-orang munafik, namun Allah Azza wa Jalla memberikan mereka keteguhan hati untuk tetap bertahan dengan kaum Muslimin. Tentang mereka ini, Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِذْ هَمَّتْ طَائِفَتَانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلَا وَاللَّهُ وَلِيُّهُمَا ۗ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Ketika dua golongan dari kalian ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah orang-orang Mukmin bertawakal hanya kepada Allah [Ali Imrân/3:122][6]

Rasulullâh beserta kaum Muslimin terus melanjutkan perjalanan. Ketika tiba di daerah Syaikhân, mereka beristirahat dan bermalam di sana. Di sinilah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada beberapa pemuda untuk kembali dan tidak memperkenankan mereka ikut terjun ke medan tempur. Hal ini disebabkan karena usia mereka yang masih terlalu muda, yaitu masih berusia empat belas tahun ke bawah. Di antara mereka yang disuruh pulang adalah `Abdullâh bin Umar, Zaid bin Tsâbit, Usâmah bin Zaid, Nu’mân bin Basyîr, Zaid bin Arqam, Barrâ’ bin ‘âzib dan lain-lain g [7], termasuk di antara yang ditolak oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma [8] . Jumlah anak-anak muda yang diperintahkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kembali ini sekitar 14 orang. Pada saat yang sama, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ijin (ikut berperang) kepada Râfi’ bin Khadîj Radhiyallahu anhu karena dia ahli memanah juga memberikan ijin kepada Samurah bin Jundub karena dia lebih kuat dibandingkan Râfi’. Saat itu, usia keduanya juga sudah lima belas tahun. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ijin kepada mereka karena usia mereka yang sudah lima belas tahun, bukan karena kemampuan mereka.[9]

Baca Juga  Perang Tabûk Atau Al-'Usrah

Pada malam ini, Dzakwân bin `Abdil Qais Radhiyallahu anhu senantiasa berjaga-jaga, bahkan ada yang mengatakan, beliau Radhiyallahu anhu tidak pernah meninggalkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pelajaran dari kisah
Seorang pemimpin berhak untuk tidak memberikan ijin kepada anak-anak muda yang belum baligh dan tidak memiliki kemampuan untuk ikut berperang. Sebagaimana yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  terhadap Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dan kawan-kawan beliau yang disuruh pulang karena masih terlalu belia.[10]

Marâji :

  1. As-Sîratun Nabawiyah Fî Mashâdiril Ashliyyah DR Mahdi Rizqullâh
  2. Fiqhus Siyar Min Zâdil Ma’âd,

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam kitab Al-Mustadrak, 3/25 dan beliau rahimahullah menyatakan hadits ini shahîh. Imam Dzahabi rahimahullah menyepakati hukum beliau rahimahullah  ini. Al-Wâqidi, 1/219
[2]  Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d rahimahullah di dua tempat. Pertama pada 2/39 tanpa sanad dan kedua pada 2/48 dengan sanadnya. Riwayat kedua inilah yang kita bawakan. Namun dalam sanadnya ada beberapa catatan, karena perawinya ada yang bernama Ibnu Khadasy. Orang ini jujur, tapi terkadang salah dan Muhammad bin `Amr, orang ini jujur tapi memiliki catatan, serta Ibnul Mundzir dan orangnya maqbûl. Namun, ini diperkuat oleh riwayat-riwayat lain (syawâhid dan mutâba’at). lihat As-Sîratun Nabawiyyah Fî Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 382.
[3]  Kisah tentang orang-orang munafik yang membelot ini bisa didapatkan dalam Shahîhul Bukhâri, 15/232, hadits no. 4050.
[4] HR Imam Bukhâri, 15/232, no. 4050, lihat riwayat-riwayat tentang masalah ini dalam tafsir at-Thabari. beliau rahimahullah juga membawakan riwayat lain tentang sebab turun ini.
[5] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq secara mursal, Ibnu Hisyâm, 3/93
[6] Diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, 5/233, no. 4051 dan Imam Muslim, 4/1984, no. 2505
[7] Nama-nama mereka disebutkan oleh Ibnu Sayidin Nâs, ‘Uyûnul Atsar 2/7.
[8] HR Imam Bukhâri, 15/276, no. 4097 dan Imam Muslim, 3/1490, no. 1868
[9] Fiqhus Siyar min Zâdil Ma’âd, hlm. 179
[10] Fiqhus Siyar Min Zâdil Ma’âd, hlm. 190