Pembatasan Harga Menurut Syariat

PEMBATASAN HARGA MENURUT SYARIAT

Oleh
Ustadz Khalid Syamhudi Lc

Kenaikan harga BBM dan pembatasan harga oleh pihak otoritas negara ini sempat membuat polemik di masyarakat kita. Pro dan kontra pun bermunculan merespon kebijaksanaan itu, bahkan ada yang lebih ekstrim lagi dengan menyalahkan pemerintah yang campur tangan menentukan harganya. Mereka menyerukan dan mengumandangkan bahwa pembatasan harga itu terlarang dalam Islam dengan beberapa argumen yang ada di zaman Nabi Shallaallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu bagaimana sesungguhnya syriat Islam memandang pembatasan harga atau tas’îr dan yang dikenal dengan istilah price fixing.

Pengertian Tas’îr Dalam Syariat
Untuk mengetahui hukum syariat atas masalah price fixing (pembatasan harga) ini, maka perlu kita membandingkan pengertian yang ada dengan definisi para ahli fikih. Kemudian diterapkan dalam permasalahan yang ada, sehingga hukumnya sejalan dengan masalah. Oleh karena ini Ulama syariat sangat memperhatikan hal ini agar bisa menjadi solusi dan ada kesesuaian hukum tersebut.

Para Ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan tas’îr dalam beberapa definisi, namun yang rajih insya Allâh adalah definisi yang disampaikan imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani rahimahulllah yaitu, “Pemerintah atau perwakilannya atau semua wali amr kaum Muslimin memerintahkan satu perintah kepada pedagang untuk tidak menjual barang dagangannya kecuali dengan harga tertentu, lalu melarang lebih dan kurang dari harga tersebut untuk satu kemaslahatan”. [1]

Atau dalam ungkapan lain, tas’îr (price fixing) yaitu intervensi otoritas dalam pengendalian dan pematokan harga (price fixing). Hal ini dengan memaksa transaksi jual beli dengan harga tertentu dan tidak boleh dilanggar.[2]

Hukum Tas’îr (Price Fixing).
Para Ulama ahli fikih berbeda pendapat dalam masalah ini dalam banyak pendapat, namun dapat diringkas dalam dua pendapat; pendapat yang melarang dan pendapat yang membolehkan.

Argumentasi yang melarang
Pendapat yang melarang berdalil dengan dalil-dalil dibawah ini :

Dari al-Qur`an :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.[an-Nisâ’/4:29]

Sementara tas’îr ini menurut mereka tidak dapat mewujudkan taradhi (saling ridha). Karena pihak penjual terpaksa menjualnya harga yang sudah ditetapkan pemerintah.

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah menyatakan, “Semua orang berkuasa atas harta mereka dan tidak boleh ada orang lain mengambilnya atau mengambil sebagiannya tanpa ada keridhaan dari si pemilik kecuali dalam beberapa keadaan yang menyebabkan hartanya harus diambil dan ini bukan darinya.[3]

Sedangkan dari sunah Rasûlullâh Shallaallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ لَنَا  فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ 

Harga-harga barang mahal di zaman Nabi Shallaallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka berkata, ‘Wahaia Rasûlullâh Shallaallahu ‘alaihi wa sallam patoklah harga untuk kami !’ Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Sesungguhnya Allâhlah pematok harga yang menyempitkan dan melapangkan serta maha pemberi rezeki dan sungguh aku berharap menjumpai Rabbku dalam keadaan tidak ada seorangpun dari kalian yang menuntutkan dengan sebab kedzaliman dalam darah dan harta. [HR Abu Daud]

Dalam hadits ini ada larangan price fixing dari dua sisi :

  1. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan price fixing padahal sudah diminta, seandainya boleh tentulah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menerima permintaan tersebut.
  2. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan alasan tidak mau melakukan price fixing karena berisi kezhaliman dan kezhaliman hukumnya haram. [4]

Alasan lain yang dikemukakan oleh para Ulama yang berpendapat price fixing itu terlarang adalah price fixing menyebabkan terjadinya kenaikan harga, karena orang-orang yang mengambil barang dari produsen apabila sampai pada mereka price fixing ini, maka mereka akan menahan barang dagangannya karena enggan menjualnya. Demikian juga orang yang sudah memiliki barang akan menyimpan dan enggan menjualnya. Padahal orang yang butuh akan mencarinya dan tidak mendapatkan kecuali sedikit. Hal ini mengakibatkan kenaikan harga yang tinggi sehingga menimbulkan kemudharatan bagi dua sisi; Yang pertama pada pemilik barang yang tidak menjual barang miliknya dan sisi kedua pembeli yang tidak bisa mendapatkan barang yang diinginkannya, sehingga menjadi haram. [5]

Argmentasi yang membolehkan
Pendapat yang membolehkan berdalil dengan dalil berikut:

Dari al-Qur`an yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا 

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allâh adalah Maha Penyayang kepadamu.[an-Nisâ’/4:29]

Mereka menyatakan bahwa jual beli barang dengan tambahan khusus dalam penjualan, sementara si pembeli terpaksa membelinya termasuk memakan harta orang dengan cara bathil, padahal perdagangan yang syar’i tidak boleh ada unsur perampasan hak-hak dan pemanfaatan kebutuhan orang.

Baca Juga  Bertransaksi Jual Beli Setelah Adzan Shalat Jum'at

Sedangkan sabda Rasûlullâh Shallaallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي عَبْدٍ فَكَانَ لَهُ مَالٌ يَبْلُغُ ثَمَنَ الْعَبْدِ قُوِّمَ الْعَبْدُ عَلَيْهِ قِيمَةَ عَدْلٍ فَأَعْطَى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ وَعَتَقَ عَلَيْهِ الْعَبْدُ وَإِلَّا فَقَدْ عَتَقَ مِنْهُ مَا عَتَقَ

Siapa yang membebaskan bagiannya pada seorang hamba (budak), lalu ia memiliki harta senilai harga budak tersebut, maka harga budak harus ditentukan dengan harga yang adil (harga saat itu-red) lalu dia serahkan pembayaran itu kepada sekutunya sesuai dengan kadar kepemilikan mereka. Dengan demikian budak itu bebas, jika tidak berarti dia hanya membebaskan apa yang menjadi bagiannya saja [Muttafaqun ‘Alaihi]

Artinya, apabila ada dua orang berserikat dalam kepemilikan seorang budak, lalu salah satunya berkeinginan membebaskan budak tersebut. Jika yang berkeinginan ini memiliki uang yang cukup, maka ia harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar bagian teman serikatnya itu. Nilai yang harus dibayarkan ditetapkan dengan harga standar saat itu, bukan berdasarkan permintaan teman serikatnya dalam budak itu. Ini menunjukkan adanya tas’îr.

Saat menjelaskan hadits di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Apabila Pembuat syariat (Allâh Azza wa Jalla ) mewajibkan pengeluaran sesuatu dari kepemilikan sang pemilik dengan ganti harga umum (standar) untuk maslahat supaya budak itu benar-benar bebas dan tidak memberikan kesempatan kepada pemilik untuk meminta tambahan harga, maka bagaimana apabila kebutuhan manusia kepada pemilikan sesuatu lebih besar dan mereka lebih besar madharatnya (bila tidak dapatkan) ? Seperti kebutuhan orang yang kelaparan kepada makan, minum, pakaian dan selainnya. Inilah yang diperintahkan Nabi Shallaallahu ‘alaihi wa sallam dari memberikan harga semuanya dengan harga umum dan ini adalah hakikat tas’îr (price fixing). [6]

Pendapat yang Rajih
Melihat dan memperhatikan dalil-dalil yang disampaikan oleh para Ulama yang berpendapat tas’îr itu terlarang, nampak semuanya tidak menunjukkan larangan pembatasan harga sebagai kaedah umum dalam setiap situasi dan kondisi. Namun menunjukkan larangan pembatasan harga dalam keadaan normal, dimana pembatasan harga (price fixing) akan merugikan penjual atau pihak-pihak yang sudah melaksanakan kewajibannya yang berupa tidak menimbun barang atau bersepakat untuk menaikkan harga yang tinggi. Hal ini karena larangan pembatasan harga datang disertai dengan penjelasan sebab larangan tersebut.  Padahal sudah dimaklumi bersama bahwa hukum itu berlaku atau tidaknya terkait dengan ada dan tidak adanya sebab.

Hadits yang mulia yang disampaikan golongan yang berpendapat bahwa tas’îr itu terlarang menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallaallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkenan melakukan pembatasan harga melihat adanya kezhaliman di sana. Karena saat itu, tidak ada faktor yang mengharuskan adanya penetapan price fixing. Sebabnya kenaikan harga bukan karena tingkah polah pedagang dan penimbunan barang (ihtikâr), namun itu muncul akibat sebab-sebab lain yang bukan dari campur tangan mereka.

Syaikul Islam ibnu Taimiyah membantah argumentasi mereka dengan hadits ini dan menjelaskan sebab Nabi Shallaallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan pembatasan harga dalam hadits tersebut dengan menyatakan, “Tidak terjadi price fixing di zaman Nabi Shallaallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah hanya karena mereka tidak memiliki orang yang menumbuk dan membuat roti dengan diupah dan tidak ada juga yang menjual tepung dan roti. Mereka dahulu membeli langsung biji dan menumbuk jadi tepung serta membuatnya menjadi roti dirumah-rumah mereka. Dahulu orang yang datang membawa biji gandum tidak ada yang mencegat dijalan untuk dijual lagi (talaqqi); bahkan orang-orang membeli langsung dari orang-orang yang membawanya (dari luar kota Madinah (edit)). Oleh karena itu ada hadits yang berbunyi:

الْجَالِبُ مَرْزُوْقٌ، وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُوْنٌ

Yang membawa barang dapatkan rezeqi dan yang menimbun dilaknat.[7]

Demikian juga tidak ada dikota Madinah waktu itu penjahit, namun datang orang membawa pakaian dari syam dan yaman serta kota lainnya lalu mereka membeli dan menggunakannya. [8]

Beliaupun menjawab bahwa hadits ini hanyalah satu kejadian dan tidak bisa dibuat pengertiannya umum. [9]

Pernyataan imam asy-Syafi’i rahimahullah, “Semua orang berkuasa atas harta mereka dan tidak boleh seorang  pun mengambilnya atau mengambil sebagiannya tanpa ada keridhaan darinya kecuali dalam beberapa keadan yang menyebabkan hartanya harus diambil paksa dan ini bukan darinya”.

Dijawab dengan menyatakan bahwa itu benar namun tidak bersifat mutlak. Karena ada kaidah-kaidah lainnya yang mengatur dasar ini, seperti kaidah yang menyatakan wajibnya menghilangkan kemudharatan. Juga kaidah wajibnya mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi. Sebagaimana juga keridhaan itu tidak dianggap pada sebagian keadaan yang bertentangan dengan maslahat umum. Dengan demikian pembatasan harga (price fixing) tidak menyelisihi surat an-Nisâ’ ayat ke-29.

Dengan ini jelaslah bahwa price fixing tidak menyelisihi al-Qur`an dan hadits yang disampaikan oleh para Ulama yang berpendapat itu terlarang. Apalagi jika ditambah adanya kemaslahatan yang menuntut adanya tas’îr (price fixing). Dengan demikian ada kompromi yang jelas antara yang melarang dan membolehkan ; karena price fixing dilarang dan tidak boleh dilakukan, apabila berisi kezhaliman dan tidak dibutuhkan masyarakat. Apabila ada kemaslahatan dan untuk menghilangkan kemudharatan dari masyarakat umum maka diperbolehkan bagi pemerintah atau pihak otoritas untuk melakukannya; bahkan bisa wajib apabila itu satu-satunya jalan mendapatkan kemaslahatan umum.

Baca Juga  Jual Beli Dengan Mengambil Uang Muka

Inilah yang di rajihkan Imam ibnul Qayyim setelah beliau menyampaikan dalil dan pendapat para ulama dalam kitab beliau at-Thuruq al-Hukmiyah Fi as-Siyaasah asy-Syar’iyah. Beliau rahimahullah berkata, “Adapun price fixing, ada yang haram dan ada yang adil dan boleh. Apabila mengandung kezhaliman pada manusia dan pemaksaan mereka tanpa alasan hak untuk jual beli dengan harga yang tidak diinginkan mereka atau melarang mereka sesuatu yang Allâh halalkan maka itu haram hukumnya.  Apabila mengandung keadilan antara manusia, seperti memaksa mereka melaksanakan kewajiban berupa bisnis dengan harga umum dan mencegah mereka dari yang diharamkan berupa mengambil tambahan lebih dari kompensasi umum, maka ini boleh bahkan wajib hukumnya. [10]

Demikianlah hukum asal price fixing ada yang haram dan ada yang halal. Pemerintah diperbolehkan melakukan tas’îr ini secara adil dalam keadaan berikut :

  1. Saat masyarakat umum sangat membutuhkan barang tertentu dan kondisi ini dimanfaatkan oleh para pedagang untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dan menaikkan harga setinggi mungkin.
  2. Ada ihtikâr (penimbunan) secara haram oleh produsen atau pedagang pada sebagian barang pokok yang sangat dibutuhkan. Mereka tidak mau menjualnya kecuali dengan harga selangit.
  3. Penjualan terbatas milik sekelompok orang saja, karena pemberian hak istimewa dalam perdagangan barang tersebut, seperti PLN, yang diberi hak istimewa mengelola listrik, PERTAMINA yang diberi hak istimewa mengelola jual beli minyak dll.
  4. Krisis ekonomi yang parah yang menyebabkan harga-harga barang kebutuhan asasi.
  5. sebagian barang kebutuhan asasi yang diberikan subsidi oleh negara atau pemberian keringanan bebas pajak bea dan cukai dengan tujuan untuk meringankan beban kelompok fakir miskin.
  6. Adanya kesepakatan para pedagang untuk menahan turunnya harga dengan tidak benar dan kesepakatan konsumen untuk merugikan sebagian produk dagang.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Sesungguhnya waliyul amr (pemerintah/pihak otoritas) apabila memaksa para pengusaha industri (ahli ash-shina’ât) untuk memenuhi kebutuhan manusia (rakyat) berupa hasil produksi mereka seperti alat pertanian, alat jahit dan alat bangunan , maka pihak otoritas harus menentukan gaji umum/harga umum, sehingga tidak memberikan kesempatan pengguna (konsumen) mengurangi biaya produksi dan tidak memberikan kesempatan kepada pihak pabrik dari tuntutan lebih banyak dari hal itu, dimana ia harus menjadi pembuatnya. Ini termasuk tas’îr yang wajib. Demikian juga apabila manusia (orang-orang) membutuhkan orang yang membuatkan (memprodusi) untuk mereka alat-alat jihad berupa senjata, jembatan untuk perang dan selainnya, maka di berikan upah umumnya pekerja. Tidak memberikan  kesempatan para konsumen untuk menzholimi mereka dan para pekerja dari tuntutan melebihi hak mereka dengan sebab kebutuhan orang atas mereka. Ini termasuk tas’îr dalam pekerjaan.[11]

Beliau juga menyatakan, “al-Muhtakir (penimbun barang) yang menjadi sandaran dalam penjualan kebutuhan orang banyak berupa bahan makanan, lalu menimbun barang tersebut dan ingin menaikkan harga atas mereka. Para penimbun barang ini menzhalimi para pembeli (konsumen).  Oleh karena itu pihak otoritas memaksa mereka untuk menjual yang dimilikinya dengan harga umum ketika orang banyak sangat mendesak kebutuhannya terhadap barang tersebut.[12]

Lebih lanjut syaikhul islam menyatakan, “Lebih-lebih lagi bila orang-orang berkomitmen tidak menjual bahan makanan atau selainnya kecuali kepada individu tertentu saja, tidak menjual barang kecuali kepada mereka saja, kemudian mereka ini menjualnya secara monopoli, sehingga bila ada selain mereka menjualnya maka dilarang, secara zhalim karena kedudukan  yang diambil dari penjual atau lainnya. Maka disini diwajibkan tas’îr (price fixing) pada mereka. Dimana mereka tidak boleh menjualnya kecuali dengan harga umum yang ditentukan dan tidaklah membeli harta manusia kecuali dengan harga umum. Hal ini wajib tanpa ada kebimbangan sama sekali pada para ulama apabila orang lain dilarang menjuak jenis tersebut atau membelinya. Seandainya dibolehkan mereka menjual sesuka hati mereka maka itu adalah kezhaliman dari dua sisi :

  1. Kezhaliman kepada para penjual yang mereka inginkan menjual barangnya
  2. Kezhaliman terhadap pembeli dari mereka. [13]

dengan demikian jelaslah bahwa pembatasan harga atau price fixing kembali kepada kebijakan pemerintah untuk mewujudkan keadilan yang merata diantara rakyatnya.

Semoga Allâh menganugerahkan kita para pemimpin yang adil yang senantiasa berbuat adil dan menciptakan keadilan yang merata pada masyarakat dan negara ini.

Wabillahittaufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Nail al-Authâr 5/355).
[2]  Lihat Mathâlib Uli an-Nuhâ, ar-Rahibâni 4/64
[3] (Thuruq al-Hukmiyah, Ibnu al-Qayyim, hlm. 300)
[4] al-Mughni, Ibnu Qudamah 4/240 dan lihat juga Subulussalam 3/32).
[5] al-Mughni, Ibnu Qudamah 4/240).
[6] al-Hisbah, Ibnu taimiyah hlm 70 dan at-Thuruq al-Hukmiyah, Ibnu al-Qayyim hlm 259).
[7]  HR Ibnu Majah 2/728 dihukumi sebagai hadits lemah oleh syaikh al-Albani dalam al-Misykah no. 2892 dan Dha’îf Sunan Ibnu Mâjah no 2153)
[8] Lihat Thuruq Hukmiyah 253-254)
[9] lihat at-Thuruq al-Hukmiyah, hlm 258)
[10] at-Thuruq al-Hukmiyah hlm 244).
[11]  al-Hisbah hlm. 34
[12]  al-Hisbah hlm. 24
[13]  al-Hisbah hlm. 25-26

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Muamalah2 Jual...
  4. /
  5. Pembatasan Harga Menurut Syariat