Perbedaan Mathla’ Dalam Tinjauan Syari’at
PERBEDAAN MATHLA’ DALAM TINJAUAN SYARI’AT
Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al Atsari
Masalah klasik yang acap kali mencuat setiap menjelang Ramadhan dan akhir Ramadhan, yaitu berkaitan dengan penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan. Sampai sekarang, masalah ini masih terus dibicarakan oleh para ulama. Perbedaan pendapat dalam masalah ini sudah dikenal luas di kalangan ulama maupun para penuntut ilmu. Pada edisi kali ini, kami mencoba mengangkat kembali pembahasan masalah ini. Mudah-mudahan berguna bagi para pembaca, dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan.
Syari’at telah menjadikan tanda-tanda alam, seperti: hilal, bulan, bintang, matahari dan lainnya sebagai batas waktu penetapan ibadah dan hukum muamalah. Sebagai contoh, misalnya waktu shalat, puasa, haji, masa iddah dan lainnya. Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfirman dalam kitabNya:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji“. [al Baqarah/2:189]
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah telah menjadikan bulan sabit (hilal) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka berpuasalah karena melihatnya, dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”[1]
Termasuk di dalamnya, yaitu ibadah puasa pada bulan Ramadhan, Allah mengaitkannya dengan hilal.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka (wajiblah baginya bershiyam)“. [al Baqarah/2:185].
Hanya saja, kemudian timbul pertanyaan, bila Hilal telah terlihat di suatu negeri, apakah wajib bagi negeri yang lain untuk mengikutinya? Ataukah setiap negeri harus melihat hilal di tempatnya sendiri? Cukupkah dengan melihat hilal di satu negeri saja, atau tiap-tiap negeri harus melihat hilal di tempatnya masing-masing? Inilah yang menjadi persoalan. Karena itulah para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini.
Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini, sebagai berikut:
1. Jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa.
Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, pendapat Laits bin Sa’ad, pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah, pendapat Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: “Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk satu negeri, maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa. Ini adalah pendapat Al-Laits dan sebagian rekan Asy Syafi’i.”
Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
a. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya“. [Hadits riwayat Al Bukhaari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
b. Juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban“.
2. Setiap negeri melihat hilal di tempat masing-masing. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi’iyyah.
3. Hampir sama dengan pendapat yang kedua, yaitu negeri yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing, tidak untuk negeri yang berdekatan.
Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: “Sebagian ulama mengatakan, kalau kedua negeri itu jaraknya berdekatan, maka mathla’ hilalnya tidak ada perbedaan (satu mathla’), seperti kota Baghdad dan Bashrah. Penduduk dua kota ini, wajib berpuasa bila hilal telah terlihat di salah satu dari kedua kota tersebut. Jika jarak kedua negeri itu berjauhan, seperti: Iraq, Hijaz dan Syam, maka setiap negeri melihat hilalnya masing-masing”. Diriwayatkan dari Ikrimah, bahwa beliau berkata: “Setiap penduduk negeri wajib melihat hilalnya masing-masing.” Ini merupakan Madzhab Al-Qasim, Salim dan Ishaq. Diantara para ulama mutaakhirin yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.[2]
Akan tetapi mereka berselisih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Ada yang mengatakan apabila berita terlihatnya hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga. Dan pendapat lainnya.
Dalil mereka adalah hadits Kuraib yang diutus oleh Ummul Fadhl binti Al Harits untuk menemui Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Aku tiba di Syam, dan aku laksanakan perintah Ummul Fadhl. Bertepatan munculnya hilal bulan Ramadhan, ketika aku berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma bertanya kepadaku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya,”Bilakah kalian melihat hilal?” Aku menjawab,”Kami melihatnya pada malam Jum’at!” Tanya beliau lagi,”Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku,”Ya. Orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah turut berpuasa!” Abdullah bin Abbas berkata,”Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata,”Tidak cukupkah kita mengikuti ru’yat hilal Mu’awiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab,”Tidak! Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami.” [Hadits riwayat Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad. At Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih gharib.”]
4. Kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri mereka masing-masing. Jika pemerintah telah mengumumkan berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa.
Dalil mereka adalah hadits Abu Hurairah yang kami sebutkan di atas, yaitu :
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban“.
Dari keempat pendapat tersebut, yang terpilih adalah pendapat pertama. Yaitu, jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa. Pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas ulama dahulu dan sekarang, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[3], Asy Syaukani[4], Syaikh Al Albani[5] dan ulama lainnya. Inilah pendapat yang paling selaras dengan dalil-dalil yang ada, sebagaimana yang telah kami sebutkan di depan, diantaranya hadits:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari.
Dan hadits:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban“.
Dan pendapat ini, juga selaras dengan kaidah umum syari’at yang menganjurkan kaum muslimin agar bersatu dan tidak berpecah-belah.
Akan tetapi timbul pertanyaan : Bagaimanakah caranya menerapkan pendapat yang pertama ini?
Untuk sekarang ini, pendapat pertama sulit diterapkan. Karena realitanya, negeri kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa negara. Tiap-tiap negara memiliki kebijaksanaan dan kewenangan terhadap rakyatnya, dan tidak tunduk kepada kebijaksanaan negara lain. Termasuk dalam menetapkan awal Ramadhan dan dua Hari Raya, yakni ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Kecuali bila ada kesepakatan diantara negara-negara Islam tersebut. Namun kenyataannya, sampai hari ini kesepakatan itu tidak ada.
Realitanya, sampai sekarang masih terjadi perbedaan kebijaksanaan masing-masing negara tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Jika pendapat ini dipaksakan untuk diterapkan sekarang ini, maka akan terjadi perselisihan kaum muslimin di satu negara. Ada yang berpuasa dan berhari raya bersama pemerintahnya, sedangkan yang lain berpuasa dan berhari raya mengikuti kebijaksanaan negara lain. Tentu saja perselisihan semacam ini tidak dibenarkan.
Jadi, melihat kondisi kaum muslimin dan negara-negara Islam sekarang ini, maka alternatif satu-satunya adalah menerapkan pendapat keempat. Yaitu, kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri masing-masing. Sampai nantinya kaum muslimin berada di bawah satu pemerintahan, atau negara-negara Islam saling berkonsolidasi dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Sehingga tercapailah kesepakatan dan kesatuan kalimat kaum muslimin dimanapun mereka berada.
Inilah kesimpulan yang dipilih oleh Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitab Tamamul Minnah (hlm. 398) sebagai berikut: “Sampai nanti negara-negara Islam mencapai kesepakatan dalam masalah ini. Maka menurutku, setiap orang harus berpuasa mengikuti kebijaksanaan pemerintah negaranya. Janganlah ia terpisah seorang diri. Sebagian orang berpuasa bersama pemerintahnya dan sebagian lain berpuasa bersama negara lain. Baik penetapan dari pemerintahnya itu maju sehari atau mundur sehari. Karena hal itu dapat meluaskan perselisihan dalam satu negara. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara-negara Arab semenjak beberapa tahun belakangan ini. Wallahul musta’an“.
Demikian pula beliau menjelaskan dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah (VI/253-254).
Demikian pula kesimpulan yang diambil oleh Syaikh Al Faqih Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam kitab Syarah Mumti’ (VI/322) sebagai berikut: “Inilah –yaitu berpuasa bersama negara masing-masing- yang dipraktekkan oleh kaum muslimin sekarang ini. Yaitu apabila telah ditetapkan oleh waliyul amri (pemerintah), maka wajib bagi kaum muslimin yang berada di bawah kekuasaannya untuk berpuasa atau berhari raya. Kalau dilihat dari efek sosiologisnya, pendapat ini sangat kuat, meskipun kita memilih pendapat kedua yang kita ambil yaitu perbedaan mathla’, wajib bagi orang yang berpendapat bahwa masalah penetapan puasa didasarkan atas perbedaan mathla’ untuk tidak menampakkan perbedaannya dengan orang banyak.”
Demikian pula Lajnah Daimah Dan Majelis Tinggi Ulama Dan Lembaga Fatwa Dan Riset Saudi Arabia, telah mengeluarkan fatwa yang senada dengan pendapat yang keempat ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya sebagai berikut:
وَسُئِلَ قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ عَنْ رَجُلٍ رَأَى الْهِلَالَ وَحْدَهُ وَتَحَقَّقَ الرُّؤْيَةَ : فَهَلْ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ وَحْدَهُ ؟ أَوْ يَصُومَ وَحْدَهُ ؟ أَوْ مَعَ جُمْهُورِ النَّاسِ ؟
Beliau ditanya –semoga Allah menyucikan ruh beliau- tentang seorang lelaki yang melihat hilal seorang diri dan ia benar-benar telah melihatnya. Apakah ia boleh berhari raya sendiri atau berpuasa sendiri? Ataukah ia harus berpuasa bersama orang banyak?
Beliau menjawab: “Alhamdulillah, jika ia melihat hilal Ramadhan seorang diri atau hilal Syawal seorang diri, apakah ia harus berpuasa karena ru’yatnya itu? Atau apakah ia harus berhari raya dengan ru’yatnya itu? Atau ia tidak boleh berpuasa dan berhari raya, kecuali bersama orang banyak?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama, dan merupakan tiga pendapat yang dinukil dari Imam Ahmad.
- Ia harus berpuasa dan berhari raya sembunyi-sembunyi. Ini adalah madzhab Asy Syafi’i.
- Ia wajib berpuasa namun tidak wajib berhari raya, kecuali bersama orang banyak. Ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad, Malik dan Abu Hanifah.
- Ia wajib berpuasa dan berhari raya bersama orang banyak. Ini merupakan pendapat yang paling tepat. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban“.
Hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan ia berkata,”Hasan gharib.” Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Dan dalam riwayatnya hanya disebutkan ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha saja. At Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Abdullah bin Ja’far dari Utsman bin Muhammad dari Al Maqburi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطَرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa kamu adalah hari berpuasa orang banyak. Hari ‘Idul Fithri kamu adalah hari orang banyak ber’idul fithri. Dan hari ‘Idul Adha kamu adalah hari orang banyak ber’idul adha.”
At Tirmidzi berkata,”Hadits ini hasan gharib.” Kemudian ia berkata,”Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini. Mereka mengatakan, maknanya adalah berpuasa dan berhari raya bersama jama’ah dan orang banyak.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang lain. Dia berkata: Muhammad bin Ubaid telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad bin Zaid Bin Dirham telah menceritakan kepada kami dari Ayyub dari Muhammad bin Al Munkadiri dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ . وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ . وَكُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ وَكُلُّ مِنًى مَنْحَرٌ وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحَرٌ وَكُلُّ جَمْعٍ مَوْقِفٌ
“Hari ‘Idul Fithri kamu adalah hari kamu semua ber’idul fithri. Dan hari ‘Idul Adha kamu adalah hari kamu semua ber’idul adha. Dan seluruh wilayah Arafah adalah tempat wuquf. Seluruh wilayah Mina adalah tempat penyembelihan hewan kurban. Seluruh jalan-jalan di Makkah adalah tempat penyembelihan hewan kurban. Dan seluruh wilayah Muzdalifah adalah tempat bermalam (mabit)“.
Karena kalau ia melihat hilal, pastilah akan diketahui oleh orang banyak. Hilal adalah ungkapan untuk sesuatu yang diketahui orang banyak. Maka dari itu, Allah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia dan penetapan waktu untuk haji. Dan itu terjadi, bila orang-orang mengetahuinya secara luas.
Penetapan bulan adalah perkara yang jelas. Jika tidak ada hilal tentu tidak ada pula bulan baru. Dasar masalah ini, adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaitkan sejumlah hukum syar’i dengan hilal dan bulan. Misalnya, seperti ibadah puasa, ‘Idul Fithri, ‘Idul Adha.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji“. [al Baqarah/2 :189]
Allah Subhanhu wa Ta’ala menjelaskan, hilal adalah tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ -إلَى قَوْلِهِ – شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ
“Diwajibkan atas kamu berpuasa…. Sampai firman Allah: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia.” [al Baqarah/2:183-185].
Allah telah mewajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan. Masalah ini telah disepakati oleh segenap kaum muslimin. Namun yang diperselisihkan oleh mereka adalah tentang hilal, apakah istilah untuk bulan sabit yang muncul di langit? Meskipun manusia tidak mengetahuinya? Dan dengan kemunculannya, sebagai pertanda masuknya bulan baru? Ataukah hilal bermakna nama bagi sesuatu yang diketahui orang banyak, dan bulan adalah sesuatu yang dikenal diantara mereka? Dalam masalah ini ada dua pendapat.
Bagi yang memilih pendapat pertama mengatakan: Barangsiapa melihat hilal seorang diri, maka ia telah masuk waktu berpuasa dan telah masuk bulan Ramadhan bagi dirinya. Malam itu bagi dirinya termasuk bulan Ramadhan, meskipun orang lain tidak mengetahuinya. Bagi yang tidak melihatnya, jika telah nyata baginya bahwa hilal telah muncul, maka ia wajib mengqadha’ puasa. Demikian pula qiyasnya dengan ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Akan tetapi berkaitan dengan bulan haji, setahuku belum ada orang yang mengatakan bahwa barangsiapa melihat hilal, maka ia wuquf sendiri (berdasarkan ru’yatnya sendiri) tidak bersama jama’ah haji lainnya, ia menyembelih hewan kurban di hari berikutnya dan melempar jumrah Aqabah dan bertahallul sendiri tidak bersama jama’ah haji lainnya.
Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang ‘Idul Fithri. Mayoritas ulama menyamakannya dengan Hari Raya Kurban. Mereka mengatakan, ia tidak boleh berhari raya, kecuali bersama kaum muslimin. Sementara yang lain mengatakan, ia harus berhari raya seperti halnya puasa, Allah tidak memerintahkan hambaNya berpuasa tiga puluh satu hari.
Kontroversi pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar, adalah masalah puasa Ramadhan dan ‘Idul Fithri sama seperti haji pada bulan Dzulhijjah. Jadi, syarat hilal dan bulan adalah pengenalan orang banyak terhadapnya dan pengetahuan mereka tentangnya. Sehingga, apabila sepuluh orang telah melihat hilal, namun tidak diketahui secara luas oleh mayoritas penduduk negeri, bisa jadi karena persaksian sepuluh orang ini tertolak, atau karena mayoritas penduduk negeri belum menyaksikannya. Maka, hukum sepuluh orang ini, sama seperti hukum mayoritas kaum muslimin lainnya (yakni belum wajib berpuasa meskipun telah melihat hilal dengan mata kepala mereka sendiri –pent). Sebagaimana halnya mereka tidak boleh wuquf, menyembelih kurban dan mengerjakan shalat ‘Id, kecuali bersama kaum muslimin. Demikian pula ia tidak boleh memulai berpuasa Ramadhan, kecuali bersama kaum muslimin. Inilah makna dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban“.
Oleh karena itu, Imam Ahmad menjelaskan dalam sebuah riwayat dari beliau: “Ia harus berpuasa bersama imam (penguasa, pemerintah) dan jama’ah kaum muslimin, baik pada saat cuaca cerah[6] maupun mendung”[7].
Imam Ahmad mengatakan:
يَدُ اللَّه عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah bersama jama’ah.”
Seperti yang kita ketahui, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang berpendapat ittihadul mathla’ (satu mathla’) untuk semua. Akan tetapi, beliau mengambil kesimpulan seperti yang telah kami nukil di atas tadi. Demikian pula Imam Ahmad, seperti yang dinukil oleh Ibnu Taimiyah dari beliau. Terutama pada saat negeri kaum muslimin terpecah menjadi beberapa negeri. Masing-masing negeri memiliki kebijakan yang terpisah dengan negeri lainnya. Kecuali kalau ada koordinasi dan kesepakatan dari masing-masing negeri untuk menetapkan satu kebijaksanaan dalam penetapan hari-hari besar Islam ini.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa seorang muslim tidak boleh memulai puasa Ramadhan dan berhari raya seorang diri atau menyempal dari kaum muslimin yang lainnya. Dia harus mengikuti jama’ah dan imam atau pemimpinnya. Dari situ, barangkali dapat kita tafsirkan hadits Kuraib, bahwa pemerintahan di Syam tidak tunduk kepada kebijaksanaan pemerintahan di Madinah. Sehingga tiap-tiap negeri memiliki kebijaksanaan dan ketetapan masing-masing yang terpisah. Dan bagi tiap-tiap penduduk negeri mengikuti kebijaksanaan pemerintahnya. Sehingga dengan demikian, kalimat kaum muslimin dapat disatukan, khususnya dalam ibadah dan perayaan terbesar bagi kaum muslimin. Tentu saja, yang kita harapkan negeri-negeri Islam dapat bersatu dalam menetapkan hari besar mereka. Itu harapan kita, seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Silakan lihat kembali uraian beliau di atas.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin, sehingga tidak ada perselisihan tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Semoga!
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1] Tafsir Ibnu Katsir (I/281).
[2] Silakan lihat Syarah Al Mumti’ (VI/322) dan Fiqhun Nawazil, tulisan Dr. Bakar bin Abdillah Abu Zaid (II/222-223).
[3] Silakan lihat Majmu’ Fatawa (XXV/105).
[4] Silakan lihat Nailul Authar (IV/203-210).
[5] Silakan lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah (VI/235) dan Tamamul Minnah (hlm. 397 dan 398).
[6] Yakni hilal kemungkinan bisa terlihat oleh siapa saja, Pent
[7] Yakni hilal kemungkinan tidak bisa terlihat, Pent.
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah5 Puasa
- /
- Perbedaan Mathla’ Dalam Tinjauan...