Larangan Meminta Jabatan

LARANGAN MEMINTA JABATAN

Oleh
al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat حفظه الله

Terhormat dan disegani adalah keinginan banyak orang. Keduanya sangat identik dengan penguasa. Mungkin karena faktor ini, sehingga banyak orang berlomba dan melakukan berbagai macam cara untuk meraih kekuasaan, tanpa peduli dengan banyaknya pengorbanan materi yang harus dikeluarkan bahkan ada yang nekat melanggar norma agama, dengan melakukan ritual tertentu di kuburan atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Terjebak dalam perbuatan bid’ah atau syirik, demi meraih kursi jabatan. Tidakkah mereka khawatir akan beban berat yang akan mereka pikul di dunia ini? Yang lebih berat lagi adalah pertanggungjawaban di hadapan Allah Azza wa Jalla ! Terlebih meminta jabatan itu sendiri adalah hal terlarang dalam Islam.

Jika meminta suatu jabatan saja sudah terlarang, lalu bagaimana dengan orang-orang yang berusaha meraih suatu jabatan dengan cara-cara yang melanggar norma-norma agama. Semoga Allah Azza wa Jalla memelihara kita dan seluruh kaum Muslimin dari jebakan-jebakan syaitan yang terus berusaha menyeret manusia dalam berbagai perbuatan maksiat.

Marilah kita perhatikan penjelasan tentang hadits “Larangan Meminta Jabatan” tulisan al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dibawah ini, -red

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ لِيْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Dari Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari Allâh). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh Azza wa Jalla) dalam melaksanakan jabatan itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu sumpah kemudian kamu melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan kerjakanlah yang lebih baik (darinya)”.

Hadits shahih. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhâri (6622, 6722, 7146, & 7147) dan Muslim (1652) dan Abu Dâwud (2929 dan 3277 diringkas hanya dengan sumpah atau bagian kedua dari hadits) dan Tirmidzi (1529) dan an-Nasâ-i (5384 dan 3782, 3783, 3784 diringkas hanya berkaitan dengan sumpah atau bagian kedua dari hadits) dan yang selai mereka.

Diantara fiqih dari hadits yang mulia ini ialah:
Larangan meminta jabatan. Jika larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini tidak dilanggar, maka akan menghasilkan kemaslahatan yang sangat besar, baik bagi yang memimpin yaitu pejabat itu sendiri maupun yang dipimpin yaitu rakyat. Karena dia akan selalu mendapat pertolongan dari Rabbul ‘alamin dalam melaksanakan tugasnya. Bentuk pertolongan dari Allah Azza wa Jalla itu bermacam-macam, misalnya:

  1. Beban yang berat menjadi terasa ringan
  2. Hal yang sulit menjadi mudah
  3. Kesempitan akan menjadi lapang
  4. Teguran, koreksi dan perbaikan dari kesalahan yang dia lakukan, sehingga dia tetap berada di jalan yang benar dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin tertinggi, wakil, sebagai menteri, sebagai gubernur dan seterusnya.
Baca Juga  Penguasa yang Tidak Berhukum Kepada Kitabullah

Namun, apabila larangan Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dilanggar, pasti akan menimbulkan bahaya dan beban yang sangat besar bagi pemimpin dan yang dipimpin.

Perhatikanlah!
Sesungguhnya sabda yang agung ini keluar dari mata air nabawiyyah yang merupakan salah satu asas kepemimpinan dan kerakyatan, yang semuanya berujung kepada kemashlahatan bersama.

Kemudian… Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika mensyarahkan (menjelaskan) hadits ini dalam kitab beliau Fat-hul Bâri’, Syarah Shahîh al-Bukhâri di bagian Kitâbul Ahkâm, bab ke-5 dan 6 (no: 7146 dan 7147), beliau mengatakan bahwa zhahir hadits ini bertentangan dengan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dâwud dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu secara marfû’:

مَنْ طَلَبَ قَضَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ حَتَّى يَنَالَهُ ثُمَّ غَلَبَ عَدْلُهُ جَوْرَهُ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَمَنْ غَلَبَ جَوْرُهُ عَدْلَهُ فَلَهُ النَّارُ

Barangsiapa meminta menjadi qadhi (hakim) bagi kaum Muslimin sampai dia memperoleh jabatannya itu, kemudian keadilannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan kecurangannya, maka baginya adalah surga. Dan barangsiapa kecurangannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan keadilannya, maka baginya adalah neraka.

Kemudian al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mencoba untuk menjama’ (memadukan) di antara kedua hadits di atas yakni hadits Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahuanhu dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan mengatakan, “Tidak mesti orang yang meminta jabatan sampai kemudian berhasil meraihnya tidak bisa berlaku adil dengan sebab dia meminta jabatan…”

Menjama’ (memadukan) adalah salah satu cara untuk menyelesaikan (permasalahan yang muncul) di antara dua buah hadits yang zahirnya seakan-akan bertentangan dengan syarat keduanya hadits shahih. Sehubungan dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang zahirnya membolehkan meminta jabatan telah dicoba untuk dijama’ dengan hadits Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu anhu yang zhahirnya melarang meminta jabatan, apakah keduanya telah shah atau salah satunya dha’if?

Kenyataannya sanad dari Abu Hurairah dha’îf.

Sanadnya demikian:

حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ الْعَنْبَرِى حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُوْنُسَ حَدَّثَنَا مُلاَزِمُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنِى مُوْسَى بْنُ نَجْدَةَ عَنْ جَدِّهِ يَزِيْدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ أَبُوْ كَثِيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِى أَبُوْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ

Berkata Imam Abu Dawud (3575), “Telah menceritakan kepada kami al-Abbâs al ‘Anbariy (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepada kami Umar bin Yûnus (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepada kami Mulâzim bin ‘Amr (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepadaku Musa bin Najdah dari kakeknya yaitu Yazid bin Abdurrahman yaitu Abu Katsir, dia berkata, ‘Telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersaba: …. ”.

Sanad hadits ini dha’îf karena Musa bin Najdah al-Hanafiy adalah seorang rawi yang majhûl sebagaimana dikatakan sendiri oleh al-hâfizh di kitab Taqrîb-nya. Karena hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ini dha’îf, maka tidak mungkin bisa dijama’ (dipadukan) dengan hadits Samurah yang sangat shahih. Walillahil hamd.

Baca Juga  Siapakah yang Disebut Penguasa?

Adalagi hadits yang semakna dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari jalan Anas bin Mâlik yang telah dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan lain-lain tetapi juga dha’if sebagaimana telah diterangkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.

Berdasarkan uraian di atas, maka hadits Samurah di atas tetap dalam keumuman dan kemutlakkannya tentang larangan meminta jabatan.

Imam tidak mengangkat orang yang meminta jabatan

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ مِنْ قَوْمِي، فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَهُ، فَقَالَ: إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ، وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْه

Dari Abu Musa Radhiyallahu anhu dia berkata, “Saya masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dengan dua orang dari kaumku, lalu salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Jadikanlah (angkatlah) kami sebagai amir (pejabat) wahai Rasulullâh!” Kemudian yang seorang lagi juga meminta hal yang sama. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kami tidak akan mengangkat sebagai pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang tamak terhadap jabatan itu”

Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhâri (2261, 6923, 7149, 7156 & 7157) dan Abu Dâwud (2930, 3579 & 4354) dan an-Nasâ-i (5382) dan yang lainna.

Diantara Fiqih dari hadits yang mulia ini adalah:

  1. Bahwa yang mengangkat seorang sebagai pejabat adalah pemimpin tertinggi atau orang yang diizinkan dan diwakilkan oleh pemimpin tertinggi. Bukan orang banyak atau masyarakat yang beramai-ramai memilih pemimpin!!!
  2. Bahwa pemimpin tidak mengangkat orang seseorang yang meminta jabatan dan tamak akan jabatan dan kekuasaan.

Wabillahit taufiq

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVIII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]