Bagaimana Menjama’ Shalat dan Menjama Shalat Karena Pekerjaan
BAGAIMANA MENJAMA’ SHALAT
Pertanyaan.
Menjama’ shalat berarti menggabung dua shalat seperti shalat Zhuhur dengan shalat Ashar atau shalat Maghrib dan shalat Isyâ. Yang saya tanyakan, bagaimana cara pelaksanaannya ? Apakah dilaksanakan shalat Zhuhur empat raka’at dan shalat Ashar juga empat raka’at ataukah dua raka’at dua raka’at ?
Jawaban.
Menjama’ shalat adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu. Seperti melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu dinamakan jama’ taqdîm, atau dilaksanakan pada waktu shalat Ashar dan ini yang dinamakan jama’ ta’khîr. Atau menggabung pelaksanaan shalat Maghrib dan shalat Isya’ di waktu Maghrib atau melaksanakannya di waktu Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya, tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.
Sedangkan masalah cara pelaksanaannya, maka kedua shalat yang dijama’ itu dilaksanakan sesuai dengan raka’at biasanya tanpa dikurangi. Misalnya, shalat Zhuhur dan shalat Ashar yang dijama’, maka shalat dikerjakan empat raka’at, begitu juga dengan shalat Ashar.
Ada lagi istilah yang terkenal dan kadang dianggap sama atau identik dengan jama’ yaitu qashar. Kedua istilah ini terkadang dianggap sama oleh sebagian kaum Muslimin, padahal keduanya berbeda. Qashar shalat, sebagaimana didefinisikan para Ulama yaitu meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang Muslim untuk bolak-balik ke masjid. Dalam kondisi-kondisi ini, kita diperbolehkan menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya’ di Madinah.
Imam Muslim menambahkan :
فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ
Bukan karena takut, hujan dan musafir.”
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Mayoritas Ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikannya sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat serupa juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq al-Marwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma ketika mendengarkan hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
Seseorang yang menjama’ shalat karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur dua rakaat pada waktu Zhuhur dan shalat Ashar dua rakaat pada waktu Ashar. Semoga keterangan ini bisa menjelaskan permasalahan saudara.
Wabillah taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1431H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
MENJAMA’ SHALAT KARENA PEKERJAAN
Pertanyaan.
Ustadz, teman saya mau bertanya. Dia bekerja di sebuah bengkel, tiap hari dia tidak bisa mengerjakan shalat Ashar tepat pada waktunya karena situasi dan kondisinya tidak memungkinkan. Juga bosnya tidak memberikan ijin karena masih jam kerja. Apakah shalat Asharnya boleh dijamak dengan shalat Dzuhur?
Jawaban.
Menjama’ shalat adalah menggabungkan dua shalat (Zhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan ‘Isya’) dan dikerjakan pada salah satu waktu shalat tersebut. Seseorang boleh melakukan jama’ taqdîm dan jama’ ta’khîr.[1]
Jama’ taqdîm adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan pada waktu shalat pertama, yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan pada waktu shalat Zhuhur; Shalat Maghrib dan shalat ‘Isya’ dikerjakan pada waktu shalat Maghrib. Jama’ taqdîm harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun jama’ ta’khîr adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan pada waktu shalat kedua, yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan pada waktu Ashar; Shalat Maghrib dan shalat ‘Isya’ dikerjakan dalam waktu shalat Isya’. Jama’ ta’khîr boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[2]
Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya – baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur. Artinya boleh dilakukan ketika diperlukan saja.[3]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sebagian imam (Ulama) berpendapat bahwa seorang yang muqim (tidak sedang bepergian) boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asal tidak dijadikan kebiasaan.”[4]
Ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍقِيْلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan hujan.” Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Agar tidak memberatkan ummatnya.”[5]
Dengan demikian, kita tahu bahwa pensyari’atan jama’ dalam shalat bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada umat ini dalam masalah-masalah yang menyusahkan mereka.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa para pekerja industri dan petani apabila pada waktu tertentu mengalami kesulitan (masyaqqah) , seperti lokasi air yang jauh dari tempat pelaksanaan shalat, sehingga jika mereka pergi ke lokasi air dan bersuci bisa mengakibatkan hilangnya pekerjaan yang dibutuhkan. Jika demikian kondisinya, maka mereka boleh shalat di waktu musytarak[6] lalu menjama’ (menggabungkan) dua shalat.[7]
Berdasarkan ini, maka teman saudara boleh menjama’ shalat bila diperlukan dan tidak dijadikan sebagai rutinitas sehari-hari.
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317.
[2] Lihat Fatâwâ Muhimmah, Syaikh Bin Bâz, hlm. 93-94; Kitab as-Shalah, Prof.Dr. Abdullah ath-Thayyâr, hlm. 177
[3] Lihat Taudhîhul Ahkâm, al-Bassâm, 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah, 1/316-317.
[4] Lihat Syarh Muslim, Imam Nawawi 5/219 dan al-Wajîz fi Fiqhis Sunnah wal Kitâbil Azîz, hlm. 141.
[5] HR. Muslim dan lain-lain. Lihat Sahîhul Jâmi’, no. 1070.
[6] Maksudnya waktu yang diperbolehkan dua shalat dilaksanakan padanya.
[7] Majmû’ al-Fatâwâ, 21/458.
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah3 Shalat...
- /
- Bagaimana Menjama’ Shalat dan...