Hukum Merayakan Hari Kelahiran dan Sejenisnya

HUKUM MERAYAKAN HARI KELAHIRAN DAN SEJENISNYA

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian masyayikh ada yang mengadakan perayaan-perayaan yang saya tidak tahu dasarnya dalam syari’at, seperti perayaan maulid (hari kelahiran) Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, malam isra’ mi’raj dan hijrah nabawiyah (tahun baru Islam). Kami mohon perkenan Syaikh untuk menjelaskan kepada kami apa yang ditunjukkan oleh syari’at dalam masalah ini sehingga kami bisa mengetahuinya dengan jelas.

Jawaban
Tidak diragukan lagi bahwa Allah telah menyempurnakan untuk umat ini agamanya dan menyempurnakan nikmatNya, sebagaimana firmanNya,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. [al-Ma’idah/5:3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkan NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau menyampaikan semuanya dengan jelas dan Allah telah menyempurnakan hukum-hukum agama ini, maka tidak ada seorang pun yang boleh mengada-adakan sesuatu yang baru yang tidak disyari’atkan Allah dalam agamaNya, sebagaimana disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.”‘[1][Hadits ini disepakati keshahihannya, dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha]

Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan pula, dari Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.”[2]

Makna maka ia tertolak di sini adalah ditolak, tidak boleh dilakukan, karena hal itu merupakan penambahan dalam agama yang tidak diizinkan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingkari orang yang melakukannya, sebagaimana firmanNya dalam surat Asy-Syura.

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’ atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” [Asy-Syura/42 :21]

Disebutkan pula dalam Shahih Muslim, dari Jabir Radhiyallahu ‘anha, bahwa dalam salah satu khutbah Jum’at beliau mengatakan.

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat.[3]

Baca Juga  Hukum Perkawinan Dengan Ahlul Bid'ah

Dan masih banyak lagi hadits-hadits dan atas-atsar yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkannya. Pada kesempatan ini tidak cukup untuk menyebutkan semuanya.

Perayaan-perayaan yang disebutkan dalam pertanyaan tadi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau adalah manusia yang paling loyal dan paling mengetahui tentang syari’at Allah serta paling antusias untuk menunjuki dan membimbing umat ini kepada hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dan mendatangkan keridhaan Rabbnya, dan tidak pernah juga dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum padahal mereka adalah golongan manusia terbaik dan paling mengetahui setelah para nabi serta paling antusias untuk melakukan setiap kebaikan. Juga tidak pernah dilakukan oleh para imamul huda pada abad-abad pertama yang diutamakan.

Semua itu dilakukan oleh sebagian muta’akhirin, sebagian mereka berpatokan pada ijtihad dan menganggap baik tapi tanpa hujjah, dan mayoritas mereka hanya meniru pada pendahulunya dalam melaksanakan perayaan-perayaan tersebut. Yang wajib atas semua kaum muslimin adalah menempuh jalan yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum serta mewaspadai setiap hal baru dalam agama Allah yang diada-adakan oleh manusia setelah mereka. Inilah jalan yang lurus dan manhaj yang benar, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” [al-An’am/6 :153]

Disebutkan dalam hadits shahih, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata.

خَطَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ ، ثُمَّ قَالَ : ” هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ مُسْتَقِيمًا ” ، قَالَ : ثُمَّ خَطَّ عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ ، ثُمَّ قَالَ : ” هَذِهِ السُّبُلُ ، وَلَيْسَ مِنْهَا سَبِيلٌ إِلَّا عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ

Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuatkan suatu garis pada kami, lalu beliau mengatakan, ‘Ini jalan Allah.’ Kemudian beliau membuat lagi garis-garis lain disebelah kanan dan kirinya, lalu mengatakan, ”Jalan-jalan ini, di atas setiap jalan ini ada setan yang mengajak kepadanya[4]

Kemudian beliau membacakan ayat ini, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya.” [al-An’am/6 : 153]. Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Baca Juga  Sisi Perbedaan Antara Bid'ah Dengan Maksiat

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya” [al-Hasyr/59:7]

Dari dali-dalil yang kami sebutkan tadi, jelaslah bagi kita, bahwa perayaan perayaan tersebut semuanya bid’ah, kaum muslimin wajib meninggalkannya dan mewaspadainya. Dan yang disyari’atkan bagi kaum muslimin adalah berusaha memahami agamanya, mempelajari peri kehidupan Nabi dan melaksanakannya di semua masa, tidak hanya pada hari kelahirannya saja. Apa yang telah ditetapkan Allah sudah cukup, tidak perlu ada penambahan hal-hal yang baru.

Mengenai peringatan isra’ mi’raj, yang benar menurut para ahli ilmu bahwa hal itu tidak diketahui. Adapun riwayat yang menyatakannya semuanya merupakan hadits hadits lemah yang tidak benar berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang mengatakan bahwa isra’ mi’raj itu pada malam 27 Rajab, ia keliru, karena tidak ada hujjah syari’iyah yang menguatkannya. Kalaupun misalnya tanggal itu diketahui, tapi merayakannya (memperingatinya) merupakan perbuatan bid’ah, karena merupakan tambahan dalam agama yang tidak diizinkan Allah. Seandainya itu disyari’atkan, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum sudah lebih dulu melaksanakannya dan lebih antusias daripada orang-orang setelah mereka. Demikian juga peringatan hijrah (tahun baru), seandainya perayaannya disyari’atkan, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sudah lebih dulu melaksanakan, dan seandainya mereka melaksanakan, tentu beritanya sampai pula kepada kita. Tapi karena tidak ada berita tersebut, berarti perayaan itu perbuatan bid’ah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbaiki kondisi kaum muslimin, menganugerahi mereka pemahaman dalam agama serta melindungi kami, anda sekalian dan mereka dari semua bid’ah dan semua perakara yang diada-adakan. Semoga semuanya dibimbing untuk meniti jalanNya yang lurus. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta yang mengikuti jejak langkah mereka dengan kebaikan hingga hari berbangkit.

At-Tahdzir Minal Bida’, hal. 46 – 49, Syaikh Ibnu Baz

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).
[2] Al-Bukhari menganggapnya mu’allaq dalam Al-Buyu’ dan Al-I’tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[3] HR. Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[4] Ahmad (4131. Ad-Darimi dalam Al-Muqadimah (202).

  1. Home
  2. /
  3. B1. Topik Bahasan1 Tahlilan...
  4. /
  5. Hukum Merayakan Hari Kelahiran...