Jalan yang Menyimpang dari Ahlus Sunnah

JALAN YANG MENYIMPANG DARI AHLUS SUNNAH

Jalan yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah nama-nama Allâh Azza wa Jalla dan sifat-sifat-Nya adalah:

  1. Mengimani semua yang ditetapkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya untuk diri Allâh dan menetapkannya dengan bentuk yang sesuai dengan keagungan-Nya
  2. Meniadakan apa yang ditiadakan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dari diri-Nya, dengan meyakini kesempurnaan lawan sifat yang ditiadakan itu.
  3. Meyakini bahwa semua sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla itu adalah sifat yang hakiki, bukan majaz (kiasan).

Akan tetapi sebagian manusia mengikuti jalan-jalan yang menyimpang dalam masalah ini. Maka tulisan berikut ini adalah penjelasan tentang jalan-jalan yang menyimpang dari jalan yang haq tersebut.

TAHRIF
Tahrîf artinya merubah. Maksudnya merubah lafazh nash atau maknanya. Berdasarkan ini, tahrîf dibagi menjadi dua:

1, Tahrîful Lafzhi
Yaitu merubah lafazh nash, dengan cara merubah kata, huruf atau merubah harakat.

Merubah harakat bisa merubah makna, seperti yang dilakukan sebagian orang menyimpang yang merubah firman Allâh Azza wa Jalla:

كَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا

Dan Allâh telah berbicara kepada Musa dengan langsung. [An-Nisa’/4: 164]

Lafazh “Allâhu” yang berarti Allâh sebagai subyek yang berbicara, dirubah menjadi “Allâha” yang berarti Allâh sebagai obyek yang mendengar pembicaraan dari Nabi Musa Alaihissallam.

Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah menerangkan bahwa sebagian ahli bid’ah di zamannya merubah firman Allâh Azza wa Jalla :

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. [An-Nûr/24:35]

Mereka merubahnya menjadi:

اللَّهُ نَوَّرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ

Allâh menerangi langit dan bumi.

Lalu beliau menulis surat nasehat kepadanya dan mengantarkan surat itu bersama sebagian sahabatnya. Setelah itu, beliau mendengar berita bahwa ahli bid’ah itu bertaubat[1].

2. Tahrîful Makna (merubah makna nash).
Yaitu memalingkan makna lafazh dari makna zhahirnya tanpa dalil, seperti:

Merubah makna “yadullâh” yang seharusnya “tangan Allâh” dirubah menjadi kekuatan atau nikmat.

Merubah makna “istiwa’ Allâh” yang seharusnya “Allâh Azza wa Jalla bersemayam” dirubah menjadi istila’ Allâh (Allâh menguasai).

Merubah makna “tertawa Allâh” dengan pahala.

Dan lainnya, sebagaimana dilakukan oleh golongan Asy’ariyyah dan lainnya. Ini semua merupakan ilhâd (penyelewengan) terhadap ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla . Yang benar adalah menetap sifat-sifat Allâh dengan tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk.

Mereka menyebut perbuatan mereka yang merubah makna ini dengan istilah ta’wîl (memalingkan makna rajih kepada makna marjuh), tetapi sebenarnya perbuatan mereka ini adalah tahrîf (melakukan perubahan) terhadap ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla .

Karena ta’wîl yang benar harus ada dalil siyaq (petunjuk rangkaian kalimat) atau qarînah (tanda atau indikasi) yang mengharuskannya. Kalâmullâh adalah petunjuk, maka jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala menghendaki maksud perkataan yang tidak sama dengan zhahirnya, pasti ada tanda-tanda yang menunjukkan makna yang berbeda dengan zhahirnya. Jika tidak, maka akan menjerumuskan pendengar kepada kerancuan dan kesalahan.

Ta’wil yang benar adalah memberitakan maksud pembicara, bukan membuat kalimat baru! Jika dikatakan “makna kalimat ini adalah demikian”, padahal kenyataan tidak sebagaimana yang dikatakan, maka ini merupakan penyelewengan terhadap maksud perkataan pembicara. Ini adalah kesalahan nyata.

Semua bentuk tahrîf merupakan kesesatan, karena Allâh Azza wa Jalla mencela perbuatan ahlul kitab yang melakukan tahrîf (perubahan) terhadap kitab mereka. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ

Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. [An-Nisa’/4: 46]

Ketika Allâh Azza wa Jalla memerintahkan Bani Israil untuk memasuki Palestina dengan mengatakan “hith-thah” (artinya: Ampunlah kami), kemudian mereka melakukan tahrîf (perubahan) dengan menambah huruf nun, sehingga menjadi “hinthah” (artinya sebiji gandum), maka Allâh Azza wa Jalla pun menghukum mereka. Allâh Azza wa Jalla  berfirman:

فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنْزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

Lalu orang-orang yang zhalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zhalim itu dari langit, karena mereka berbuat fasik.[Al-Baqarah/2: 59]

TA’THIL
Ta’thîl secara bahasa artinya: mengosongkan, meniadakan, membiarkan. Adapun secara istilah, ta’thîl adalah mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allâh, baik mengingkari sebagian atau seluruhnya. Ta’thîl terbagi menjadi dua:

  1. Ta’thîl kulliy yaitu mengingkari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allâh, seperti ta’thîl yang dilakukan golongan Jahmiyah.
  2. Ta’thîl juz’iy, yaitu mengingkari dan menta’wil (merubah makna) sebagian sifat-sifat Allâh, seperti yang dilakukan golongan Asy’ariyyah. Golongan Asy’ariyah ini menetapkan sebagian sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Sifat-sifat yang mereka tetapkan awalnya ada tujuh, yaitu: qudrah (berkuasa), irâdah (berkehendak), ilmu, hayat (hidup), sama’ (mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara). Kemudian sebagian mereka menambahkan enam sifat lagi, yaitu: wujud (ada), qidam (ada sejak dahulu), baqa’ (kekal), mukhâlafatu lil hawâdits (berbeda dengan makhluk), qiyâmuhu bi nafsihi (berdiri sendiri), dan wahdaniyah (esa). Sehingga berjumlah 13 sifat, yang disebut dengan istilah 13 sifat wajib bagi Allâh Azza wa Jalla . Kemudian sebagian mereka menambah lagi dengan tujuh dari makna tujuh sifat yang pertama itu, sehingga sebagian mereka meyakininya dan menamainya dengan istilah sifat dua puluh Allâh. Semua ini ditetapkan berdasarkan akal. Karenanya, metode ini menyelisihi jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menetapkan sifat-sifat Allâh berdasarkan wahyu.
Baca Juga  Jalan Menuju Kebangkitan Kaum Muslimin

Pertama kali yang dikenal melakukan ta’thîl dari umat ini adalah Ja’ad bin Dirham, kemudian diikuti oleh orang-orang setelahnya.

Perbuatan ta’thîl ini merupakan kesesatan, karena tidak mengimani perkara yang diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Padahal Allâh Azza wa Jalla yang paling mengetahui tentang diri-Nya sendiri, dan perkataan Allâh adalah perkataan yang paling benar dan paling baik dibandingkan perkataan makhluk-Nya.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا

Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allâh? [An-Nisa’/4: 87]

Kalau demikian, maka bagaimana perkataan Allâh dan RasulNya diingkari?[2]

TAKYIF
Takyîf artinya menceritakan bentuk sifat Allâh Azza wa Jalla . Seperti perkataan orang, “Bentuk tangan Allâh adalah demikian” atau saat menjelaskan tentang Allâh Azza wa Jalla itu turun, “Cara turun Allâh ke langit dunia adalah demikian”. Maha Suci Allâh dari perkataan mereka.

Takyîf ini adalah usaha yang dilakukan untuk menggambarkan hakekat sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Perbuatan ini tidak benar, karena akal manusia tidak mungkin memahami hakekat sifat Allâh dengan sempurna, yang dipahami hanyalah makna sifat, hanya Allâh yang mengetahui hakekat dari sifat-sifat-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyâbihât untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allâh. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. [Ali ‘Imrân/3: 7]

Ayat yang muhkamât ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan mutasyâbihât yaitu ayat-ayat mutasyâbihât yaitu ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allâh Azza wa Jalla yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang perkara-perkara ghaib, misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

Sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla termasuk perkara ghaib, maka yang mengetahui hakekatnya hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sehingga manusia tidak boleh menggambarkan hakekat sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla .

Jika ada orang bertanya:

  1. Bagaimana cara Allâh istiwa’ (berada) di atas arsy?
  2. Bagaimana bentuk wajah Allâh?
  3. Bagaimana bentuk tangan Allâh?
  4. Bagaimana cara Allâh berbicara?

Dan pertanyaan-pertanyaan yang sejenis, maka tidak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Karena semua yang ditanyakan di atas termasuk perkara ghaib yang tidak mungkin diketahui kecuali oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ 

dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allâh melainkan apa yang dikehendaki-Nya. [Al-Baqarah/2:255][3]

TAMTSIL
Tamtsîl (tasybîh) artinya menyerupakan sifat Allâh Azza wa Jalla dengan sifat makhluk. Seperti mengatakan, “Tangan Allâh seperti tangan manusia”, Maha Suci Allâh dari perkataan mereka.

Banyak nash yang menolak keserupaan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya yang dengan tegas menyatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak sama dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, kita wajib menetapkan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla dengan tidak menyerupakan dengan sifat makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [Asy-Syûra/42: 11]

 Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. [Al-Ikhlâs/112: 4]

فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ  إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh. Sesungguhnya Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. [An-Nahl/16: 74]

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ  هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? [Maryam/19: 65]

Baca Juga  Siapakah Ahlus Sunnah wal Jama'ah?

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah/2: 22]

Semua dalil di atas menunjukkan bahwa tidak ada apapun atau siapapun yang menyamai Allâh Azza wa Jalla , baik pada dzat-Nya, nama-Nya, sifat-Nya atau perbuatan-Nya.

TAWFIDH
Tafwîdh secara bahasa artinya menyerahkan.  Tafwîdh ada dua:

1. Tafwîdhul kaif
yaitu  menyerahkan hakekat sifat kepada Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah jalan Ahlus Sunnah. Ini adalah tafwîdh yang terpuji, sebagaimana telah masyhur perkataan imam Malik rahimahullah :

الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

Istiwa’ (berada di atas) maknanya telah diketahui, kaifiyahnya (hakekatnya) tidak bisa dinalar, beriman kepadanya merupakan kewajiban, dan bertanya tentangnya merupakan bid’ah.[4]

Perkataan “Istiwa’ (berada di atas) maknanya telah diketahui”, ini menunjukkan keimanan dan penetapan sifat Allâh Azza wa Jalla .

Perkataan “kaifiyahnya (hakekatnya) tidak dapat dinalar”, ini menolak tamtsîl (menyamakan sifat Allâh dengan makhluk), dan menyerahkan hakekat sifat Allâh kepada-Nya. Ini tafwidh yang terpuji.

2. Tafwîdhul makna
Yaitu  menyerahkan makna sifat kepada Allâh Azza wa Jalla dan menganggap bahwa yang mengetahui makna sifat Allâh Azza wa Jalla hanya Allâh. Sehingga orang yang berpemahaman tafwîdh ini tidak menetapkan adanya sifat bagi Allâh Azza wa Jalla .

Sebagian orang menyangka bahwa jalan Salaf adalah tafwîdhul makna. Ini tidak benar. Barangsiapa menisbatkan tafwîdh ini kepada Salaf, maka hakekatnya adalah tajhîl (menisbatkan kebodohan) kepada Salaf. Ini merupakan perkara yang sangat serius.

Syaikhul Islam rahimahullah menjelaskan bahwa di antara orang-orang yang menyelisihi jalan Muhajirin dan Anshâr adalah ahlut tajhîl. Beliau rahimahullah menyatakan, “Ahlut tajhîl banyak berasal dari kalangan orang-orang yang menisbatkan kepada Sunnah dan mengikuti Salaf. Mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam tidak mengetahui makna-makna ayat-ayat sifat yang diturunkan oleh Allâh kepada Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam , Jibril juga tidak mengetahui makna-makna ayat-ayat sifat itu, juga orang-orang yang pertama-tama masuk Islam juga tidak mengetahuinya’. Perkataan mereka terhadap hadits-hadits sifat juga seperti itu, “Sesungguhnya tidak ada yang mengetahui maknanya selain Allâh”. Padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam yang membicarakan pertama kali, maka berdasarkan perkataan mereka, Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam telah berbicara dengan perkataan yang beliau tidak mengetahui maknanya!”[5]

Oleh karena itu Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Mereka keliru dalam menisbatkan kebodohan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam dan Salaf”.[6]

Sesungguhnya para Sahabat Nabi memahami makna ayat-ayat al-Qur’an yang memberitakan tentang sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Makna ayat itu diketahui dengan gamblang, karena al-Qur’an adalah perkataan Allâh dengan bahasa Arab yang fashîh (jelas maknanya), orang yang mendengarnya bisa memahaminya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا أَعْجَمِيًّا لَقَالُوا لَوْلَا فُصِّلَتْ آيَاتُهُ ۖ أَأَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ

Dan jikalau Kami jadikan al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut al-Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? [Fushshilat/41: 44]

Allâh tidak berbicara kepada kita dengan perkataan yang tidak bisa diPahami, bahkan perkataan merupakan petunjuk dan penjelasan segala perkara yang dibutuhkan oleh manusia. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang yang tidak memahami makna-makna Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allâh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An-Nisa’/4: 82]

Setelah kita memahami jalan Ahlus Sunnah dan jalan-jalan yang menyimpang, maka semoga Allâh selalu mengokohkan kita di atas jalan kebenaran dan menyelamatkan kita dari jalan-jalan kesesatan. Aamiin.

(Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 96-100, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin dan beberapa rujkan yang lain).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Kitab at-Tauhîd, 1/78-79, karya imam Ibnu Khuzaimah
[2] Lihat Syarah al-Aqîdah al-Wâsithiyah, hlm. 18, Syaikh al-Barrak
[3] Lihat Syarah al-Aqîdah al-Wâsithiyah, 2/8, Syaikh Khalid al-Mushlih
[4] Lihat Majmû’ Fatâwâ, 5/41, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
[5] Majmû’ Fatâwâ, 5/34
[6] Majmû’ Fatâwâ, 5/38

  1. Home
  2. /
  3. A3. Konsisten Diatas Manhaj...
  4. /
  5. Jalan yang Menyimpang dari...