Iman Bertambah Sempurna dan Berkurang?

IMAN BERTAMBAH SEMPURNA DAN BERKURANG?

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Permasalahan iman merupakan permasalahan terpenting seorang Muslim, sebab iman menentukan nasib seorang di dunia dan akhirat. Bahkan kebaikan dunia dan akhirat bersandar kepada iman yang benar. Dengan iman, seorang akan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat serta keselamatan dari segala keburukan dan adzab Allah Azza wa Jalla . Dengan iman, seorang akan mendapatkan pahala besar yang menjadi sebab masuk surga dan selamat dari neraka. Lebih dari itu semua, mendapatkan keridhaan Allah Azza wa Jalla yang Maha Kuasa, sehingga Dia tidak akan murka kepadanya dan dapat merasakan kelezatan melihat wajah Allah Azza wa Jalla di akhirat kelak. Dengan demikian, permasalahan ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari kita semua. Imam Ibnu al-Qayyim t menuturkan, “Hasil usaha jiwa dan kalbu yang terbaik dan penyebab seorang hamba mendapatkan ketinggian (derajat mulia) di dunia dan akhirat adalah ilmu dan iman. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menggabung keduanya dalam firman-Nya:

وَقَالَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ وَالْاِيْمَانَ لَقَدْ لَبِثْتُمْ فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ اِلٰى يَوْمِ الْبَعْثِۖ فَهٰذَا يَوْمُ الْبَعْثِ وَلٰكِنَّكُمْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan berkata (kepada orang-orang yang kafir), “Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit.” [ar-Rûm/30:56]

Dan firman Allah Azza wa Jalla :

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. [al-Mujâdilah/58:11]

Mereka inilah inti dan pilihan dari yang ada dan mereka adalah orang yang berhak mendapatkan martabat tinggi. Namun, kebanyakan manusia keliru dalam (memahami) hakekat ilmu dan iman ini, sehingga setiap kelompok menganggap ilmu dan iman yang dimilikinya satu-satunya hal yang dapat mengantarkan kepada kebahagian, padahal tidak demikian. Kebanyakan mereka tidak memiliki iman yang menyelamatkan dan ilmu yang mengangkat (kepada ketinggian derajat), bahkan mereka telah menutup untuk diri mereka sendiri jalan ilmu dan iman yang diajarkan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadi dakwah beliau kepada umat. Sedangkan yang berada di atas iman dan ilmu (yang benar) adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka di atas manhaj dan petunjuk mereka….” (Al-Fawâid hlm. 191)

Demikian pula apabila kita melihat pemahaman kaum Muslimin tentang iman, maka kita dapatkan banyak kekeliruan dan penyimpangan. Sebagai contoh, banyak kalangan kaum Muslimin ketika berbuat dosa dia menyatakan: “Yang penting kan hatinya”. Ini semua tentunya membutuhkan pelurusan dan pencerahan bagaimana sesungguhnya konsep iman yang benar tersebut.

Iman Bertambah dan Berkurang.
Sudah dimaklumi, banyak dalil dari nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah yang menjelaskan bertambah dan berkurangannya iman. Menjelaskan pemilik iman yang bertingkat-tingkat, sebagiannya lebih semurna imannya dari yang lainnya, ada di antara mereka yang disebut as-Sâbiq bil khairât, al-Muqtashid dan zhâlim linafsihi. Ada juga al-Muhsin, al-Mukmin dan al-Muslim. Semua ini menunjukkan bahwa mereka tidak berada dalam satu martabat dan iman itu bisa bertambah dan berkurang.

Di antara dalil yang menunjukkan bertambah dan berkurangan iman adalah:
1. Firman Allah Azza wa Jalla :

اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ اِيْمَانًاۖ وَّقَالُوْا حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

(yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung”. [Ali Imrân/ 3:173]

Para Ulama Ahlussunnah menjadikan ayat ini sebagai dasar mengenai bertambah dan berkurangan iman, sebagaimana pernah ditanyakan kepada Imam Sufyân bin ‘Uyainah rahimahullah, “Apakah iman itu bertambah atau berkurang? Beliau rahimahullah menjawab, “Tidakkah kalian mendengar firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, ‘Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka’”. (Ali Imrân/3:173) dan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, ‘Dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk’.(al-Kahfi/19:13) dan dalam beberapa ayat lainnya?”. Ada yang bertanya, “Bagaimana bisa berkurang?”. Beliau rahimahullah menjawab, “Tidak ada sesuatu yang bisa bertambah kecuali ia juga bisa berkurang”[1]

2. Firman Allah Azza wa Jalla :

وَيَزِيْدُ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اهْتَدَوْا هُدًىۗ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ مَّرَدًّا

Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal shaleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik kesudahannya.  [Maryam/19:76]

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini dengan menyatakan, “Terdapat dalil yang menunjukkan bertambah dan berkurangannya iman, sebagaimana pendapat para Salafush-Shâlih. Hal ini dikuatkan juga dengan firman Allah Azza wa Jalla :

وَيَزْدَادَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِيْمَانًا

Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya [al-Mudatstsir/74:31]

Dan firman Allah Azza wa Jalla :

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya). [al-Anfâl/8:2]

Juga dikuatkan dengan kenyataan bahwa iman itu adalah perkataan kalbu dan lisan, amalan kalbu, lisan dan anggota tubuh. Juga kaum Mukminin sangat bertingkat-tingkat dalam hal ini.[2]

3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يَزْنِيْ الزَّانِيْ حِيْنَ يَزْنِيْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan Mukmin dan tidaklah peminum minuman keras ketika minumnya dalam keadaan Mukmin serta tidaklah mencuri ketika mencuri dalam keadaan Mukmin [Muttafaq ‘alaihi]

Baca Juga  Waktu dan Tempat Keluarnya Dajjal

Ishâq bin Ibrâhîm an-Naisâburi rahimahullah berkata, “Abu `Abdillâh (Imam Ahmad rahimahullah) pernah ditanya tentang iman dan berkurangnya iman. Beliau rahimahullah menjawab, “Berkurangnya iman ada pada sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan Mukmin dan tidaklah mencuri dalam keadaan Mukmin. [3]

4. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنْ الطَّرِيْقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ اْلإِ يْمَانِ

Iman itu lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Yang paling utama adalah ucapan, “Lâ Ilâha Illallâh” dan yang terendah adalah membersihkan gangguan dari jalanan. Dan rasa malu itu  adalah satu cabang dari iman. [Muttafaq ‘alaihi]

Hadits yang mulia ini menjelaskan bahwa iman memiliki cabang-cabang, ada yang tertinggi dan ada yang terendah . Cabang-cabang iman ini bertingkat-tingkat dan tidak berada dalam satu derajat dalam keutamaannya, bahkan sebagiannya lebih utama dari lainnya. Oleh karena itu, Imam at-Tirmidzi memuat bab dalam sunannya, “Bab Penyempurnaan Iman, bertambah dan berkurangannya”.

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah dalam menjelaskan hadits ini menyatakan, “Ini jelas sekali menunjukkan bahwa iman itu bertambah dan berkurang sesuai dengan bertambahnya aturan syariat dan cabang-cabang iman, serta amalan hamba tersebut atau tidak mengamalkannya. Sudah dimaklumi bersama bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam hal ini. Siapa yang berpendapat bahwa iman itu tidak bertambah dan berkurang, maka telah menyelisihi realita yang nyata di samping menyelisihi nash-nash syariat sebagaimana telah diketahui.[4]

Sedangkan pendapat dan atsar Salafush-Shâlih sangat banyak sekali dalam menetapkan keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang, di antaranya:

1. Dari kalangan Sahabat  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
Suatu ketika Khalîfah ar-Rasyîd Umar bin al-Khathâb Radhiyallahu anhu pernah berkata kepada para Sahabatnya:

هَلُمُّوْا نَزْدَادُ إِيْمَانًا

Marilah kita menambah iman kita.[5]

Sahabat Abu ad-Dardâ` Uwaimir al-Anshâri Radhiyallahu anhu berkata:

الإِيْمَانُ يَزْدَادُ وَ يَنْقُصُ

Iman itu bertambah dan berkurang.[6]

2. Dari kalangan Tâbi’in, di antaranya:
Abu al-Hajjâj Mujâhid bin Jabr al-Makki (wafat tahun 104 H) menyatakan:

الإِيْمِانُ قَوْل وَ عَمَلٌ يَزِيْدُ وَ يَنْقُصُ

Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.[7]

Abu Syibl ‘Alqamah bin Qais an-Nakhâ’i (wafat setelah tahun 60 H) berkata kepada para sahabatnya:

امْشُوْا بِنَا نَزْدَدُ إِيْمَانًا

Berangkat kita menambah iman.[8]

3. Kalangan tabi’ut Tâbi’in, di antaranya:
`Abdurrahmân bin ‘Amru al-‘Auzâ’i (wafat tahun 157 H) menyatakan:

الإِيْمِانُ قَوْل وَ عَمَلٌ يَزِيْدُ وَ يَنْقُصُ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيْمِانَ لاَ يَزِيْدُ وَ لاَ يَنْقُصُ فَاحْذَرُوْه فَإِنَّهُ مُبْتَدِعٌ

Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Siapa yang menyakini iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang, maka berhati-hatilah terhadapnya karena ia adalah seorang ahli bid’ah.[9]

Beliau juga ditanya tentang iman, apakah akan bertambah? Beliau  menjawab, “Ya, hingga menjadi seperti gunung”. Beliau ditanya lagi, “Apakah akan berkurang?” Beliau rahimahullah menjawab, “Ya hingga tidak sisa sedikit pun darinya.”[10]

4. Imam Fikih yang empat (Aimmah arba’ah), di antaranya:
Muhammad bin Idris asy-Syâfi’i rahimahullah menyatakan:

الإِيْمِانُ قَوْل وَ عَمَلٌ يَزِيْدُ وَ يَنْقُصُ

Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang[11]

Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyatakan, “Iman itu sebagiannya lebih unggul dari yang lainnya, bertambah dan berkurang. Bertambah dengan beramal dan berkurang dengan meninggalkan beramal, karena perkataan adalah yang mengakuinya.[12]

Demikianlah pernyataan dan pendapat para Ulama Ahlussunnah seluruhnya, sebagaimana dijelaskan Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam pernyataan beliau, “Para Salaf telah berijmâ bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang”.

Dari sini jelaslah kesalahan orang yang menganggap masalah bertambah dan berkurangnya iman sebagai masalah khilâfiyah di antara Ulama Ahlussunnah. Wallâhu a’lam.

Sebab-sebab Bertambah dan Berkurangnya Iman.
Setelah mengetahui bahwa iman itu bertambah dan berkurang, maka mengenal sebab-sebab bertambah dan berkurangnya iman memiliki manfaat dan menjadi sangat penting sekali. Sudah sepantasnya seorang Muslim mengenal, kemudian menerapkan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, agar bertambah sempurna dan kuat imannya. Juga untuk menjauhkan diri dari lawannya yang menjadi sebab berkurangnya iman, sehingga dapat menjaga diri dan selamat di dunia dan akhirat.

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa seorang hamba yang mendapatkan taufik dari Allah Azza wa Jalla selalu berusaha melakukan dua perkara:

  1. Merealisasikan iman dan cabang-cabangnya dan menerapkannya, baik secara ilmu dan amal secara bersama.
  2. Berusaha menolak semua yang menentang dan menghapus iman atau menguranginya berupa fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi, mengobati kekurangan dari awal dan setelahnya dengan taubat nasuha serta mengetahui satu perkara sebelum hilang.[13]

Mewujudkan iman dan mengokohkannya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab bertambahnya iman kemudian melaksanakannya. Sedangkan cara menolak semua yang menghapus dan menentangnya dilakukan dengan mengenal sebab-sebab berkurangnya iman serta berhati-hati dari terjerumus padanya.

Di antara sebab-sebab bertambahnya iman yang disampaikan para Ulama adalah:

1. Belajar ilmu yang manfaat yang bersumber dari al-Qur`ân dan Sunnah. Ini merupakan sebab bertambahnya iman yang terpenting dan bermanfaat, karena ilmu menjadi sarana beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan mewujudkan tauhid dengan benar dan pas. Bertambahnya iman yang didapatkan dari ilmu biasa terjadi dari beraneka ragam sisi, di antaranya:

  • Sisi keluarnya ahli ilmu dalam mencari ilmu
  • Duduknya mereka dalam halaqah ilmu
  • Mudzâkarah (diskusi) di antara mereka dalam masalah ilmu
  • Penambahan pengetahuan terhadap Allah Azza wa Jalla dan syariat-Nya
  • Penerapan ilmu yang telah mereka pelajari
  • Tambahan pahala dari orang yang belajar dari mereka
Baca Juga  Apakah Adzab Kubur Terhadap Orang Mukmin Dapat Diringankan?

2. Merenungi ayat-ayat Allah Azza wa Jalla kauniyah. Merenungi dan meneliti keadaan dan keberadaan makhluk-makhluk Allah Azza wa Jalla yang beraneka ragam dan menakjubkan merupakan faktor pendorong yang sangat kuat untuk beriman dan mengokohkan iman.

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Di antara sebab dan faktor pendorong keimanan adalah tafakur kepada alam semesta berupa penciptaan langit dan bumi serta makhluk-makhuk penghuninya dan meneliti diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini semua adalah faktor pendorong yang kuat bagi iman”.[14]

3. Berusaha sungguh-sungguh melaksanakan amalan shalih dengan ikhlas, memperbanyak dan melaksanakannya secara rutin. Hal ini karena semua amalan syariat yang dilaksanakan dengan ikhlas akan menambah iman, sebab iman bertambah dengan pertambahan amalan ketaatan dan banyaknya ibadah. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah pernah menuturkan bahwa di antara sebab bertambahnya iman adalah melakukan ketaatan. Sebab iman akan bertambah sesuai dengan bagusnya pelaksanaan, jenis amalan dan banyaknya. Semakin baik amalan, semakin besar pula bertambah iman, dan bagusnya pelaksanaan diperoleh dengan cara ikhlas dan mutâba’ah (mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan jenis amalannya, maka yang wajib lebih utama dari yang sunnah dan sebagian amal ketaatan lebih ditekankan dan lebih utama dari yang lainnya. Semakin utama suatu ketaatan, maka semakin besar juga penambahan imannya. Adapun banyak (kuantitas) amalan, maka akan menambah keimanan, sebab amalan termasuk bagian iman, sehingga pasti iman itu bertambah dengan bertambahnya amalan”[15]

Adapun sebab-sebab berkurangnya iman ada yang berasal dari dalam diri manusia sendiri (intern) dan ada yang berupa faktor luar (ekstern).

Di antara faktor internal manusia sendiri yang memiliki pengaruh besar dalam melemahkan iman adalah:

  1. Kebodohan. Ini adalah sebab terbesar berkurang iman, sebagaimana ilmu adalah sebab terbesar bertambahnya iman.
  2. Kelalaian, sikap berpaling dari kebenaran dan lupa. Tiga perkara ini adalah salah satu sebab penting berkurangnya iman.
  3. Perbuatan maksiat dan dosa. Jelas, kemaksiatan dan dosa sangat merugikan dan memiliki pengaruh jelek terhadap iman. Sebagaimana pelaksanaan perintah Allah Azza wa Jalla bisa menambah keimanan, demikian juga pelanggaran atas larangan Allah Azza wa Jalla , bisa mengurangi keimanan. Namun tentunya dosa dan kemaksiatan bertingkat-tingkat derajat, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya, sebagaimana disampaikan Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam ungkapan beliau, “Sudah pasti kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal shaleh pun berderajat-derajat”.[16]
  4. Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammarat bissu’). Inilah nafsu yang ada pada manusia dan tercela. Nafsu ini mengajak kepada keburukan dan kebinasaan, sebagaimana Allah Azza wa Jalla jelaskan dalam menceritakan istri al-Azîz :

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Yûsuf/13:53]

Nafsu ini menyeret manusia kepada kemaksiatan dan kehancuran iman, sehingga wajib bagi kita berlindung kepada Allah Azza wa Jalla darinya dan berusaha bermuhasabah sebelum beramal dan setelahnya.

Sedangkan di antara faktor eksternal adalah :

  1. Setan, musuh abadi manusia yang merupakan satu sebab eksternal penting yang mempengaruhi iman dan mengurangi kekokohannya.
  2. Dunia dan fitnahnya. Menyibukkan diri dengan dunia dan perhiasannya termasuk sebab yang dapat mengurangi keimanan, sebab semakin besar semangat manusia memiliki dunia dan keridhaannya terhadap dunia, maka semakin memberatkan dirinya berbuat ketaatan dan mencari kebahagian akhirat, sebagaimana dituturkan Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah.
  3. Teman bergaul yang jelek. Teman yang jelek dan jahat menjadi sesuatu yang sangat berbahaya bagi keimanan, akhlak dan agamanya. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari hal ini dalam sabda beliau:

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seorang itu berada di atas agama kekasihnya, maka hendaknya salah seorang kalian melihat siapa yang menjadi kekasihnya.[17]

Demikianlah perkara yang harus diperhatikan dalam keimanan, mudah-mudahan hal ini dapat menggerakkan kita untuk lebih mengokohkan iman dan menyempurnakannya.

Wabillâhi taufîq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Kisah ini Diriwayatkan oleh al-Ajûri dalam kitab Asy-Syari’at hlm. 117
[2] Tafsir As-Sa’di 5/33
[3] Diriwayatkan oleh al-Khalâl dalam kitab As-Sunnah no. 1045
[4] At-Taudhîh Wal-Bayân Lis Syajarât al-Imân hlm. 14
[5] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al- Mushannaf 11/26 dengan sanad shahîh
[6] Diriwayatkan oleh `Abdullâh bin Ahmad dalam kitab As-Sunnah 1/314
[7] Diriwayatkan oleh `Abdullâh bin Ahmad dalam kitab As-Sunnah 1/335
[8] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 11/25 dan dinilai hasan oleh al-Albâni rahimahullah dalam komentar beliau terhadap kitab Al-Imân karya Ibnu Abi Syaibah.
[9]  Diriwayatkan oleh al-Ajûri rahimahullah dalam kitab Asy-Syarî’at hlm. 117.
[10] Diriwayatkan oleh al-Lâlikâi dalam Ushûl I’tiqâd 5/959.
[11] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 10/115
[12] Diriwayatkan oleh al-Khalâl dalam kitab As-Sunnah 2/678
[13] At-Taudhîh Wal-Bayân Lis Syajarât al-Imân hlm. 38
[14] Ibid hlm. 31
[15] Fathu Rabbil-Bariyyah hlm. 65
[16] Ighâtsatul-Lahafân 2/142
[17] HR at-Tirmidzi 4/589 dan dinilai hasan oleh Iman al-Albâni rahimahullah.

  1. Home
  2. /
  3. A3. Aqidah Iman dan...
  4. /
  5. Iman Bertambah Sempurna dan...