Pengertian Bid’ah Menurut Syari’at

PENGERTIAN BID’AH MENURUT SYARI’AT

Oleh
Muhammad bin Husain Al-Jizani

Banyak sekali hadits-hadits nabawi yang mengisyaratkan makna syar’i dari kata bid’ah, di antaranya:

1. Hadits Al Irbadh Ibnu Sariyah, di dalam hadits ini ada perkataan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa sallam:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ, فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةً ضَلاَلَةٌ.

Jauhilah hal-hal yang baru (muhdatsat), karena setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”[1]

2. Hadits Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa sallam pernah berkata dalam khuthbahnya:

ﻓَﺈِﻥَّ ﺃَﺻْﺪَﻕَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﻬَﺪﻱِ ﻫَﺪْﻱُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻭَﺷَﺮَّ ﺍﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻣُﺤَﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ، ﻭَﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟﺔٍ ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ.

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebagus-bagusnya tuntunan adalah tuntunan Muhammad dan urusan yang paling jelek adalah sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap yang diada-adakan (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.”[2]

Dan jika telah jelas dengan kedua hadits ini, bahwa bid’ah itu adalah al-mubdatsah (sesuatu yang diada-adakan dalam agama), maka hal ini menuntut (kita) untuk meneliti makna ibda’ (mengada-adakan dalam agama) di dalam sunnah, dan ini akan dijelaskan dalam hadits-badits berikut:

3. Hadits Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengada-ada (sesuatu) dalam urusan (agama) kami ini, padahal bukan termasuk bagian di dalamnya, maka dia itu tertolak.” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 5/301 no. 2697, Muslim 12/61 dan lafadz ini milik Muslim]

4. Dalam Riwayat Lain:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengamalkan amalan yang tidak ada dasarnya dalam urusan(agama) kami, maka dia akan tertolak.” [Hadits Riwayat. Muslim 12/16]

Keempat hadits di atas, jika diteliti secara seksama, maka kita akan mendapatkan bahwa semuanya menunjukkan batasan dan hakikat bid’ah menurut syari’at. Maka dari itu bid’ah syar’iyyah memiliki tiga batasan (syarat) yang khusus. Dan sesuatu tidak bisa dikatakan bid’ah menurut syari’at, kecuali jika memenuhi tiga syarat, yaitu:

  • Al-Ihdaats (mengada-adakan)
  • Mengada-adakan ini disandarkan kepada agama
  • Hal yang diada-adakan ini tidak berpijak pada dasar syari’at, baik secara khusus maupun umum.

1. Al-Ihdats (Mengada-ada) Sesuatu yang Baru
Dalil syarat ini adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا

Barang siapa mengada-ada (sesuatu yang baru).”

Dan sabdanya:

وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ

Dan setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah.”

Jadi yang dimaksud al-ihdaats adalah mendatangkan sesuatu yang baru, dibuat-buat, dan tidak ada contoh sebelumnya.[3]

Maka masuk di dalamnya: segala sesuatu yang diada-adakan, baik yang tercela maupun yang terpuji, baik dalam agama atau bukan.

Dan dengan batasan ini maka yang tidak diada-adakan tidak dapat disebut bid’ah misalnya melaksanakan semua syi’ar agama seperti shalat fardlu, puasa ramadlan, dan melakukan hal-hal yang sifatnya duniawi seperti makan, pakaian dan lain-lain. Karena hal yang baru itu bisa terjadi dalam urusan duniawi dan urusan agama (dien) untuk itu perlu adanya pembatasan dalam dua batasan berikut ini:

Baca Juga  Menyikapi Wafatnya Ahlul Bida' dan Kesesatan Secara Hukum Syar'i

2. Sesuatu Yang Baru Itu Disandarkan Kepada Agama
Dalil batasan ini adalah sabda Rasuhdlah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam:

فِيْ أَمْرِنَا

Dalam urusan (agama) kami ini.”

Dan yang dimaksud dengan urusan nabi di sini adalah agama dan syari’atnya. [Lihat Jami’ul Uluum wal Hikam 1/177]

Maka makna yang dimaksud dalam bid’ah itu adalah bahwa sesuatu yang baru itu disandarkan kepada syari’at dan dihubungkan dengan agama dalam satu sisi dari sisi-sisi yang ada, dan makna ini bisa tercapai bila mengandung salah satu dari tiga unsur berikut ini:

  • Mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan.
  • Keluar menentang (aturan) agama.
  • Yaitu hal-hal yang bisa menggiring kepada bid’ah.

Dengan batasan (syarat) yang ke dua ini, maka hal-hal yang baru dalam masalah-masalah materi dan urusan-urusan dunia tidak termasuk dalam pengertian bid’ah, begitu juga perbuatan-perbuatan maksiat dan kemungkaran yang baru, yang belum pernah terjadi pada masa dahulu, semua itu bukan termasuk bid’ah, kecuali jika hal-hal itu dilakukan dengan cara yang menyerupai taqarrub (kepada Allah) atau ketika melakukannya bisa menyebabkan adanya anggapan bahwa hal itu termasuk bagian agama.

3. Hal yang Baru Ini Tidak Berlandaskan Syari’at, Baik Secara Khusus Maupun Umum.
Dalil batasan (syarat) ini adalah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam: “Sesuatu yang bukan darinya.” Dan sabdanya: “Yang tidak ada dasarnya dalam urusan kami.”

Dengan batasan ini, maka keluar dari pengertian bid’ah hal-hal baru yang berhubungan dengan agama, tapi mempunyai landasan syar’i yang umum ataupun khusus.

Di antara sesuatu yang baru dalam agama ini tapi masih berlandaskan pada dalil syar’i yang umum adalah hal-hal yang ditetapkan melalui al-mashalih al-mursalah, seperti pengumpulan Al Qur’an oleh para sahabat, adapun contoh yang khusus adalah pelaksanaan shalat tarawih secara berjama’ah pada zaman Umar bin Khaththab.

Dengan melihat makna lughawi (bahasa) untuk kata al-ihdats, maka hal-hal yang berlandaskan kepada dalil syar’i dapat dinamakan muhdatsat, karena hal-hal syar’i ini dilakukan kedua kalinya setelah ditinggalkan dan dilupakan (orang), ini adalah ihdats nisbiy (pengada-adaan yang relatif).

Sudah dimaklumi bahwa setiap hal yang baru keabsahannya telah ditunjukan oleh dalil syar’i, maka hal ini tidak dinamakan -dalam kacamata syariat- sebagai bentuk ibtida’ (mendatangkan bid’ah), karena ibtida’ menurut pandangan syariat- hanya dikaitkan dengan sesuatu yang tidak mempunyai dalil.

Supaya lebih jelas dan lebih yakin tentang tiga batasan itu, berikut kita simak ungkapan para ulama berikut ini:

Ibnu Rajab berkata: “Setiap orang yang mengada-ada sesuatu yang baru dan menisbatkannya kepada agama, padahal tidak ada landasan yang bisa dijadikan rujukan, maka hal semacam ini adalah sesat dan agama lepas darinya.” [Jamiul Ulum wal Hikam 2/128]

Beliau juga berkata : “Dan yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yaug diada-ada yang sama sekali tidak mempunyai dasar tujukan dalam syariat”.

Adapun sesuatu yang mempunyai dasar rujukan dari syariat, maka tidak dinamai bid’ah, meskipun secara bahasa masih dikatakan bid’ah.” [Jamiul Ulum wal Hikam 2/128]

Baca Juga  Menyiapkan Makanan Rajab, Nisyfu Sya'ban Dan Asyura

Ibnu Hajar berkata: “Dan yang dimaksud sabda nabi “Setiap bid’ah itu adalah sesat“, yaitu sesuatu yang diada-adakan, sedangkan dia tidak mempunyai dalil syar’i, baik dalil khusus maupun umum.” [Fathul Bari 13/253]

Beliau juga berkata: “Dan hadits ini (yaitu hadits : Barangsiapa mengada-ada sesuatu dalam urusan agama kami ini yang padahal bukan termasuk bagian di dalamnya, maka di tertolak) termasuk kaidah yang utama dalam agama Islam, karena sesungguhnya orang yang mendatangkan sesuatu yang baru dalam agama ini, padahal tidak termasuk dalam salah satu pokok (ajaran Islam), maka dia akan tertolak.” [Fathul Bari 5/302, lihat juga Ma’arijul Qabuul 2/426 dan Syarhu Lu’matul I’tiqad 23]

Definisi Bid’ah dalam Syari’at
Dari uraian di atas, maka kita bisa menentukan pengertian bid’ah secara syari’at, yaitu hal-hal yang memenuhi tiga batasan di atas, oleh sebab itu definisi bid’ab syar’iyyah secara komprehensif adalah:

Setiap hal yang diada-ada dalam agama Allah yang sama sekali tidak mempunyai landasan dalil, baik dalil yang umum ataupun yang khusus.”

Atau dengan ungkapan yang lebih ringkas:

Setiap hal yang diada-ada dalam agama Allah tanpa landasan dalil.

[Disalin dari kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjmeah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juni 2001]
________
Footnote
[1] Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan teksnya milik Abu Dawud 4/201 no. 4608, Rmu Majah 1/15 No. 42, At-Tirmidzi 5/44 no. 2676 dan beliau berkata bahwa ini hadits hasan shahih dan hadits ini dishahihkan oleh Al Albaniy dalam Dhilaalul Jannah fii Takhriijissunnah karya lbnu Abi Ashim: no. 27
[2] Dikeluarkan dengan lafadz ini oleh An- Nasa’i dalam As-Sunan 3/188 dan asal hadits dalam Shahih Muslim 3/153. Untuk menambah wawasan coba lihat kitab Khutbat Al-Haajah, karya Al-Albany
[3] Sama saja dalam hal ini sesuatu yang diada-adakan untuk pertama kali, karena tidak ada contoh sekelumnya, seperti menyembah patung berhala tatkala awal munculnya, ini adalah mengada-adakan yang mutlak ataupun sesuatu yang diada-adakan untuk kedua kalinya dan telah pernah ada contohnya, kemudian dihidupkan lagi setelah tidak ada dan tenggelam, seperti penyembahan berhala di Makkah, karena sesungguhnya Amr Ibn Luhayy-lah yang pertama kali mengada-adakannya di sana. Ini adalah mengada-adakan yang sifatnya relatif (nisbiy). Di antara hal ini juga segala sesuatu yang disandarkan kepada agama padahal bukan bagian dari agama itu, sebagaimana yang ditunjukan oleh hadits:
Barangsiapa mengada-ada sesuatu yang baru dalam urusan -agama- kami ini, padahal bukan bagian darinya, maka dia itu tertolak“.
Dinamakan sesuatu yang diada-adakan ditinjau dari segi agama saja dan hal ini terkadang tidak disebut sesuatu yang diada-adakan jika ditinjau dari selain agama.

  1. Home
  2. /
  3. A4. Sumber Bid'ah Dalam...
  4. /
  5. Pengertian Bid’ah Menurut Syari’at