Sunnah-Sunnah Perbuatan

TATA CARA SHALAT

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

2. Sunnah-Sunnah Perbuatan:
a. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram
Begitupula ketika ruku’, i’tidal, serta bangkit dari tasyahhud awal.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma : “Ketika memulai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya setinggi bahu, begitupula saat takbir hendak ruku’. Beliau juga mengangkat keduanya saat mengangkat kepala dari ruku’.”[1]

Juga dari Nafi’: “Jika Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma memulai shalat, dia bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Jika hendak ruku’, dia angkat kedua tangannya. Dan saat mengucapkan: “سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ” dia angkat kedua tangannya. Dan jika bangkit dari dua raka’at, dia angkat kedua tangannya. Dia menisbatkannya kepada Nabi Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[2]

Disunnahkan mengangkat kedua tangan secara kadang-kadang ketika turun dan bangkit.

Berdasarkan hadits Malik bin al-Huwairits: “Dia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dalam shalat ketika ruku’, ketika mengangkat kepala dari ruku’, ketika sujud, dan ketika mengangkat kepala dari sujud. Hingga beliau menyejajarkan kedua tangannya dengan bagian atas telinganya.”[3]

b. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dada
Dari Sahl bin Sa’d, dia berkata, “Dulu orang-orang diperintahkan agar masing-masing mereka meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat.” Abu Hazim berkata, “Aku tidak mengetahui melainkan hal itu dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[4]

Juga dari Wa-il bin Hujr, dia berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dada.”[5]

c. Melihat ke tempat sujud
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Ka’bah, tidaklah pandangannya bergeser dari tempat sujudnya. Hingga beliau keluar darinya.”[6]

d. Melakukan perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini ketika ruku’
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ruku’, beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak pula merundukkannya. Akan tetapi di antara keduanya.”[7]

Dan dari Abu Humaid ketika menggambarkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, “Jika ruku’, beliau tekankan kedua tangannya pada kedua lutut. Kemudian beliau rentangkan punggungnya dengan lurus.”[8]

Juga dari Wa-il bin Hujr, “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ruku’, beliau rentangkan jari-jemarinya.”[9]

Dari Abu Humaid: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ruku’, beliau letakkan kedua tangannya di atas lututnya seakan-akan mengenggamnya. Kemudian beliau merenggangkan (sedikit membengkokkan) kedua tangannya dan menjauhkannya dari lambung.”[10]

e. Mendahulukan kedua tangan daripada kedua lutut ketika turun sujud
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.

Jika salah seorang dari kalian sujud, maka janganlah men-derum sebagaimana menderumnya unta. Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”[11]

f. Melakukan perbuatan sebagaimana yang disebut dalam hadits-hadits berikut ini ketika sujud
Dari Abu Humaid ketika menggambarkan shalat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata: “Jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menggelarnya (di atas lantai) dan tidak pula menggenggamnya. Beliau hadapkan ujung jari-jemari kedua kakinya ke arah kiblat.”[12]

Dari al-Bara’, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ.

Jika engkau sujud, maka letakkanlah kedua telapak tanganmu. Dan angkatlah kedua siku tanganmu.[13]

Dari ‘Abdullah bin Malik bin Buhainah Radhiyallahu anhu, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat, beliau rentangkan kedua tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya.”[14]

Baca Juga  Rukun-Rukun Shalat

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku mencari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tadi bersamaku di ranjang. Lalu aku mendapatkannya sedang sujud sambil menggabungkan (merapatkan) kedua tumitnya dan menghadapkan jari-jemarinya ke kiblat.”[15]

Dari Wa-il bin Hujr Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku datang ke Madinah dan berkata, “Sungguh aku akan melihat shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Dia kemudian menyebutkan beberapa hadits dan berkata, “Kemudian beliau menyungkur sujud dan kepalanya berada di antara kedua telapak tangannya…”[16]

Dari Wa-il bin Hujr Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud, beliau rapatkan jari-jemarinya.”[17]

Dari al-Barra’, dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm sujud dan meletakkan kedua tangannya di atas lantai, beliau hadapkan kedua telapak tangan dan jari-jemarinya ke kiblat.”[18]

g. Melakukan perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini ketika duduk di antara dua sujud
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Beliau menggelar (membentangkan) kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.”[19]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ahuma, dia berkata, “Termasuk sunnah shalat adalah menegakkan kaki kanan dan menghadapkan jari-jemarinya ke kiblat serta duduk di atas kaki kiri.”[20]

Dari Thawus rahimahullah, dia berkata, “Kami berkata kepada Ibnu ‘Abbas tentang duduk di atas kedua telapak kaki.” Dia berkata, “Itu termasuk sunnah.” Kami berkata padanya, “Tetapi kami memandangnya tidak pantas bagi laki-laki.” Ibnu ‘Abbas lalu berkata, “Bahkan, itulah sunnah Nabimu.”[21]

h. Tidak bangkit dari sujud melainkan setelah duduk tegak
Dari Abu Qilabah, dia mengatakan bahwa kami diberitahu Malik bin al-Huwairits al-Laitsi, “Dia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat. Jika beliau berada pada raka’at ganjil dari shalatnya, beliau tidak bangkit melainkan setelah duduk tegak.”[22]

i. Bertumpu pada lantai ketika berdiri dari sebuah raka’at
Dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dia berkata, “Malik bin al-Huwairits mendatangi kami. Lalu dia mengimami kami shalat dalam masjid kami ini. Lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya aku tidak ingin mengimami kalian dan tidak ingin shalat. Akan tetapi aku ingin menunjukkan pada kalian bagaimana aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.’ Ayyub berkata, “Aku berkata pada Abu Qilabah, “Bagaimanakah shalat beliau?” Dia berkata, “Seperti shalat syaikh kita ini, yaitu ‘Amr bin Salamah.” Ayyub berkata, “‘Amr bin Salamah menyempurnakan takbir. Jika mengangkat kepalanya dari sujud kedua, dia duduk dan bertumpu pada lantai kemudian berdiri.”[23]

j. Melakukan duduk pada dua tasyahhud sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini.
Dari Abu Humaid, dia berbicara tentang cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika duduk pada dua raka’at, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Dan jika duduk pada raka’at terakhir, beliau masukkan kaki kirinya, menegakkan kaki yang satunya, dan duduk di atas pantatnya.”[24]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma : “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dalam shalat, beliau letakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya. Beliau genggam semua jari-jemarinya dan menunjuk dengan jari yang dekat ibu jari (jari telunjuk). Dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya.”[25]

Dari Nafi’, dia berkata: “Jika ‘Abdullah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma duduk dalam shalat, dia letakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Dia menunjuk dengan jarinya dan mengikutinya dengan pandangannya. Kemudian dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَهِيَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيْدِ.

Bagi syaitan, ia memiliki pengaruh yang lebih dahsyat dari-pada besi.”

Maksudnya jari telunjuk.[26]

Dzikir dan Do’a yang Disyariatkan Setelah Shalat

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/218 no. 735)], Shahiih Muslim (I/292 no. 390 (22)), Sunan at-Tirmidzi (I/161 no. 255), dan Sunan an-Nasa-i (II/122).
[2] Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 663)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/222 no. 739), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/439 no. 727).
[3] Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 104)], Sunan an-Nasa-i (II/206), dan Ahmad (al-Fat-hur Rabbaanii) (III/168 no. 493).
[4] Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 402)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/224 no. 740), dan Muwaththa’ Malik (CXI/376).
[5] Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (hal. 352)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (I/243 no. 479).
[6] Shahih: [Shifatush Shalaah (hal. 69)] dan Mustadrak al-Hakim (I/479).
[7] Shahih: [Shifatush Shalaah (111)], Shahiih Muslim (I/357/498), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/489/768).
[8] Shahih: [Shifatush Shalaah (no. 110)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/305/ 828), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/427 no. 717)
[9] Shahih: [Shifatush Shalaah (no. 110)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (I/301/594).
[10] Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 214)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/429/720), dan Sunan at-Tirmidzi (I/163 no. 259).
[11] Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 746)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/70 no. 825), Sunan an-Nasa-i (II/207), dan Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (III/276 no. 656).
[12] Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 672)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/305 no. 828), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/427/718).
[13] Shahih: [Shifatush Shalaah hal. 126] dan Shahiih Muslim (I/356 no. 494).
[14] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/294 no. 807)], Shahiih Muslim (I/356 no. 495), dan Sunan an-Nasa-i (II/212)
[15] Shahih: [Shifatush Shalaah hal. 126], Shahiih Ibni Khuzaimah (I/328 no. 654), dan al-Baihaqi (II/116).
[16] Sanadnya Shahih: [Shahiih Ibni Khuzaimah (I/323 no. 641).
[17] Shahih: [Shifatush Shalaah hal. 23], Shahiih Ibni Khuzaimah (I/324 no. 642), dan al-Baihaqi (II/112)
[18] Sanadnya Shahih: [Shifatush Shalaah hal. 123] dan al-Baihaqi (II/113).
[19] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 302)], Shahiih Muslim (I/357 no. 498), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/489 no. 768).
[20] Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1109)] dan Sunan an-Nasa-i (II/236).
[21] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 303)], Shahiih Muslim (I/380 no. 536), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/79 no. 830), dan Sunan at-Tirmidzi (I/175 no. 282).
[22] Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 437)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/302 no. 823), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/78 no. 829).
[23] Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 437)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/303 no. 824), al-Baihaqi (II/123), dan asy-Syafi’i (al-Umm) (I/116). Asy-Syafi’i berkata, “Inilah yang kami ambil. Kami menyuruh orang yang bangkit dari sujud atau duduk dalam shalat agar bertumpu pada lantai dengan kedua tangannya bersama-sama, karena mengikuti sunnah. Sebab, hal itu lebih menyerupai ketawadhu’an dan lebih mudah bagi orang yang shalat. Selain itu juga lebih pas agar tidak terjungkal ke belakang atau hampir ter-jungkal. Kami membenci model bangkit mana saja selain itu. Namun dia tidak wajib mengulang dan tidak pula sujud sahwi.” Al-Umm (I/117).
[24] Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 448)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/305 no. 828).
[25] Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 851)], Shahiih al-Imam Muslim (I/408 no. 580 (116)) dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/277/972).
[26] Hasan: [Shifatush Shalaah hal. 140] dan Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (IV/15 no. 721).

Baca Juga  Waktu-Waktu Shalat
  1. Home
  2. /
  3. A9. Alwajiz2 Kitab Shalat
  4. /
  5. Sunnah-Sunnah Perbuatan